Nah, solusinya adalah feedback yang konstruktif, kalau memang ada yang perlu dievaluasi ya diterapkan dengan bijak, jangan semenjana mengkritik habis itu muncul punishment. Tentu saja suasananya akan semakin kisruh.Â
Jadi iya itu tadi, feedback yang konstruktif yang diterapkan, sehingga gen z justru semakin aware dengan dirinya sendiri dalam bekerja.
Keempat, fleksibilitas lingkungan kerja.
Nah, kekakuan fleksibilitas lingkungan kerja inilah yang juga perlu jadi perhatian. Lingkungan kerja jangan kaku-kaku amat, izin susah misalnya, cuti susah misalnya, teralu birokratif misalnya, micro managing misalnya.
Lebih baik fleksibel saja, menerapkan kolaboratif yang membangun. Sehingga etos kerja gen z jadi terpacu untuk lebih bekerja dengan optimal.
Kelima, jangan abaikan kesehatan mental.
Kesehatan mental dalam lingkungan dan budaya kerja itu memang penting dan memang tidak bisa diabaikan. Sebab ini berdampak pada kejiwaan.
Dimana bila suatu kantor itu lingkungannya dan budaya kerjanya berdampak buruk pada kesehatan mental gen z maka siap-siap ditinggal gen z.Â
Kesehatan mental tidak bisa dianggap sepele, kita saja kalau tertekan kesehatan mentalnya sangat terasa sekali rasanya pada mental dan kejiwaan, begitu juga kepada gen z. Oleh karenanya, kesehatan mental ini haruslah jadi bagian penting dalam membina gen z.Â
Nah, itu sih yang berlaku di kantor saya dan menurut saya yang bisa saya sharing.
"Baiklah Git, saya coba pertimbangkan untuk saya terapkan di kantor." Kata kawan saya.