Jujurly, saya pernah tenggelam berkecimpung pada masa-masa hustle culture, yang mana ketika itu saya merasa flow state banget dengan kerjaan sampai dibilang saya hobi kerja.
Lembur dalam keseharian dinamika kerja sudah jadi rutinitas saya, bahkan kadang saat waktu libur dan weekend pun saya masih berkutat dengan kerjaan kantor.
Termasuk jadi kurang olahraga dan berkurangnya waktu untuk keluarga, bahkan yang aneh itu kok saya malah merasa bersalah ketika istirahat dari kerja ini. Loh kok bisa ya, pikir saya saat itu.
Memang sih tidak dimungkiri, metode pendekatan secara hustle culture ini membuat saya mencapai beberapa torehan prestasi dan kemajuan dalam perkembangan karier.
Namun, lama-lama saya menyadari seperti ada sesuatu yang hilang dan hampa, bahkan saya pernah tersentak menyadari bahwa selama ini saya sangat merasa terisolasi dan kesepian ditengah hustle culture.
Dampak yang paling saya rasakan yang pada akhirnya juga berpengaruh signifikan adalah pada kesehatan mental saya, sehingga saya sampai harus berobat ke dokter spesialis kejiwaan. Karena pada akhirnya saya kena other anxiety disorder.
Kenapa kesehatan mental saya akhirnya sampai kena?
Ya, tentu saja ini karena saya mengakomodir hustle culture tadi, karena hustle culture saya jadi burn out, stres, kesepian dan terisolasi tanpa sadar, kurang piknik karena taunya kerja, kerja, dan kerja tapi mengabaikan dampak buruknya.