Memang namanya kalau sudah rezeki itu enggak akan tertukar, tapi bagaimana kalau nasibnya seperti keponakan saya ini, rezekinya ditukar orang lain atau tertukar dengan orang lain secara tidak fair, kalah karena privilese.Â
Bukankah kalau yang begini ini adalah privilese yang salah kaprah.
Ya, privilese sejatinya boleh saja diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti privilese pelayanan publik bagi penyandang disabilitas misalnya, privilese pelayanan publik bagi ibu hamil misalnya, privilese nasabah prioritas pada suatu bank misalnya dan privilese bijak yang lainnya.
Privilese itu sejatinya diterapapkan atas nama empati, simpati, dan kebijakan pemerioritasan suatu kegiatan.Â
Tapi begitulah, privilese malah sering disalah artikan dan disalah gunakan sehingga malah menimbulkan ketidak adilan dan ketidak setaraaan serta membentuk stratifikasi sosial antara orang istimewa dan orang biasa.
Setiap individu memang punya privilese, tapi haruslah bijak dan tetap mengedepankan empati dalam menerapkannya, jangan seperti kasus yang terjadi pada keponakan saya tadi di atas, rezekinya ditukar orang lain atas nama privilese yang tidak pada tempatnya.
Yang jelas, kalau privilese ini diterapkan dengan picik maka akan dapat menyebabkan Sense of Entitlement, yaitu akan membuat kecenderungan seseorang lebih mementingkan dirinya sendiri.Â
Mereka mengira bisa melakukan apa pun seenak udelnya atas nama privilese ini, nah tentunya kalau hal ini juga akan berdampak pada anak juga kalau orangtua salah kaprah mengedukasi privilese ini kepada anak.
Karena bisa dibayangkan kalau sedari kecil anak sudah dibiasakan diprivilese yang salah dalam berbagai hal misalnya, maka anak akan terdidik selalu ingin merasa dispesialkan dan diistimewakan dalam hal apapun.
Sehingga anak akan tidak peduli mana yang salah dan benar, dan enggan menjadi orang yang lebih baik. Mereka merasa punya hak istimewa yang tidak dimiliki orang lain, sehingga berhak mendapatkan lebih dan hidup nyaman.Â