Yang jelas, biar bagaimanapun kantor itu pasti lebih mengutamakan visi dan misinya, sehingga karyawan lah yang seharusnya fleksibel dan adaptif dengan visi dan misi kantor.
Nah, daripada kamu mengharap dapat perhatian dari kantor dengan cara quiet quitting tapi hasilnya juga enggak sesuai ekspektasi kamu, ya sudahlah buat apa kamu bertahan dengan quiet quitting. Itu hanyalah kepercumaan belaka, nah sebagai jalan keluarnya adalah, ya kamu terbuka saja mengeluarkan pendapat atau kamu resign saja.Â
Daripada kamu makin tertutup dan akhirnya di quiet firing oleh kantor karena kantor tahu ternyata kamu sedang quiet quitting kepada kantor, ya sudah resign saja.Â
Ketiga, ada yang perlu jadi catatan penting buat karyawan. Bahwasanya suatu kantor itu tidak akan ada ruginya sama sekali ketika kamu berperilaku quiet quitting.
Yang rugi justru karyawan sendiri, apalagi ketika kantor tahu kamu sedang quiet quitting, justru kantor akan semakin nyuekin kamu dengan memberlakukan quiet firing.
Bahkan kalau kamu resign pun, enggak ada pengaruhnya bagi kantor, atau kamu akhirnya dipecat pun ya enggak ada ruginya juga buat kantor.
Karena apa, ya terang saja kantor tinggal cari karyawan baru lagi kan, gampang urusannya kan, enggak ada ruginya kan kantor.
Jadi, di sini tinggal bagaimana kamu saja, mau terus spartan, militan, dan ajeg menunjukan dan mempertahankan kinerja kamu serta tetap loyal dengan kantor atau justru sebaliknya, ya terserah saja.
Yang jelas, kantor itu tidaklah mungkin mendiamkan karyawannya kalau karyawannya memang bermutu dan berkualitas, pasti kantor akan memperhatikan bagaimana perkembangan karier karyawannya termasuk kesejahteraan karyawannya.
Yang pasti, kalau karyawannya memang dinilai layak untuk itu, kenapa tidak. Tapi semua itu perlu proses kan, untuk kesananya perlu dasar penilaian mutu dan kualitas.
B. Solusi bagi Kantor yang Memberlakukan Quiet Firing.