Ternyata ada bermacam-macam pemaknaan tentang quiet quitting ini. Pada generasi milenial dan para generasi Z atau para Zilenial misalnya, quiet quitting banyak dimaknai sebagi perilaku berhenti diam-diam.
Latar belakang alasan untuk berperilaku quiet quitting pada umumnya karena kantor enggak care dengan karyawan, seperti di antaranya;
Soal perkembangan karier, apresiasi kinerja, hingga soal besaran penghasilan, insentif, lembur, jam kerja, culture hustle, kultur kantor, aturan dan SOP kantor dan lain sebagainya yang kaitannya dengan kesejahteraan karyawan dan pekerjaan.
Sementara itu, pemaknaan quiet quitting ini ada juga ternyata yang mendeklarasikannya sebagai hal yang positif untuk lebih profesional dalam bekerja, untuk lebih punya waktu luang, untuk worklife balance, dan sebagainya.
Ya tentu boleh saja kalau dimaknai seperti ini. Tapi secara simultan kedepan justru nanti akan terlihat pada akhirnya quiet quitting ini akan berujung juga pada demotivasi kerja.
Nah, ternyata juga dengan semakin menjamurnya perilaku quiet quitting dikalangan pekerja ini kekinian, pihak kantor tak mau kalah untuk mengambil sikap.
Ya, pada akhirnya banyak juga kantor yang justru membalas perilaku quiet quitting dikalangan pekerja ini dengan memberlakukan quiet firing atau memberhentikan karyawan secara diam-diam.
Kantor sengaja enggak care dengan karyawannya sendiri, atau sengaja dibuat enggak betah sampai akhirnya karyawannya resign dengan sendirinya.
Karyawan atau para pekerja berperilaku quiet quitting, dibalas oleh kantor dengan cara quiet firing. Begitulah akhirnya yang berlaku dalam dinamika dunia kerja kekinian sekarang ini.
Tentu kalau begini yang berlaku, maka jelaslah sudah, baik itu karyawan dan kantor sudahlah tidak ada lagi kesepahaman dan kesatuan visi mupun misi, dan jelas situasional ini adalah situasi yang tidak sehat atau tidak kondusif.