Sindrom quiet quitting masih jadi trending di kalangan pekerja, khususnya pada kalangan pekerja generasi Z atau para Zilenial kekinian.
Berbagai pembenaran ini dan itu terkait kultur dan situasional suatu kantor jadi latar belakang alasan para pekerja (Generasi Z) untuk memberlakukan quiet quitting yang salah kaprah.
Padahal yang namanya dinamika kerja di suatu kantor itu selalu bergerak dinamis dan perubahan lah sebenarnya yang selalu konstan dalam dunia kerja.
Ya, penulis yang juga sebagai pekerja tapi juga merangkap sebagai pengusaha merasakan benar bagaimana mengalami konstannya perubahan itu dalam dunia kerja.
Yang jelas, untuk sukses dalam meniti karier itu enggak bisa instan, butuh merintis dari bawah dan prosesnya yang tidak sebentar, ada syarat serta prasyarat untuk mencapai goal yang diinginkan. Dan semua itu tergantung bagaimana kekuatan mental yang dimiliki dalam diri.
Seperti halnya pengalaman penulis sebagai PNS, dengan pencapaian yang kekinian sudah menduduki posisi jabatan Kepala Bagian di kantor tidaklah instan.
Pencapaian itu penulis rintis dari bawah, dari anak baru kemarin sore hingga sampailah pada tingkatan leader dan prosesnya butuh waktu kurang lebih 19 tahun lamanya untuk sampai pada posisi tersebut.
Tentunya juga dalam jangka waktu 19 tahun tersebut, berbagai tantangan dan ujian mulai dari yang biasa hingga yang terberat sekalipun pernah penulis alami.
Bagaimana tekanan pekerjaan, ketatnya persaingan dalam peningkatan karier, bagaimana perlakuan kantor sudah pernah penulis alami dan memang kekuatan mental lah yang paling menentukan untuk sejauh mana bisa tetap endurance dalam bekerja.
Ya, jadi jelas di sini, bukanlah ekspektasi idealis, hingga perfrksionisme dan mental cemen yang penulis kedepankan, tapi mental baja lah yang penulis kedepankan, mungkin kalau penulis mengakomodir mental cemen dan ekspektasi idealis serta perfeksionisme diri, bisa jadi penulis akan kena sindrom demotivasi kerja, bahkan turut salah kaprah soal quiet quitting.