Ya. Karya sastra puisi Bung Chairil Anwar memang benar-benar bagus, pemilihan dan pemilikan katanya juga bagus, dan tidaklah sekedar berdampak biasa saja, ada kekhasan tersendiri yang sulit untuk dijelaskan, karakteristiknya khusus, berdampak pada jiwa, berdampak pada lingkungan, keadaan realita dan fakta, kejuangan dan perjuangan, ada kritikan perlawanan yang logis dan wajar, ada kekritisan, nasionalisme, patriotisme, hingga humanisme.
Namun satu yang paling hakiki menurut penulis pribadi itu adalah, ada ruang keabadian dari hasil karya sastra Bung Chairil Anwar, atau dengan kata lain karya sastranya tak lekang oleh waktu dan abadi sepanjang masa.
Sehingga, ketika dibaca 100 tahun sebelumnya, dibaca untuk 100 tahun kekinian, 100 tahun kedepan atau mungkin 100 tahun lagi ke depan, atau bahkan ribuan tahun ke depan, maka tetap saja karya sastranya dari generasi ke generasi akan hidup sesuai dengan masanya saat itu.
Artinya juga, meskipun Bung Chairil Anwar telah tiada, maka beliau tetaplah akan hidup sepanjang masa melalui tinta emas sejarah yang ditorehkan melalui karya sastra sejatinya yang abadi.
Begitulah kiranya penulis memaknai Bung Chairil Anwar ini yang tentunya juga dengan karya-karya sastranya yang kalau boleh penulis nobatkan karyanya akanlah abadi sepanjang masa.
Demikianlah kiranya yang bisa penulis persembahkan dalam rangka mengenang 100 tahun Chairil Anwar ini, semoga apa yang sudah penulis tuliskan ini juga menjadi bagian dari keabadian yang mengiringi sejarah karya-karya sastra Bung Chairil Anwar.
Oiya, Izinkan juga penulis menurut sertakan dua karya puisi Chairil Anwar yang menjadi puisi terfavorit penulis yang juga menjadi sejarah perdana penulis ketika membawakannya pada parade puisi hari nasional beberapa puluh tahun silam.
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau