Sejatinya kalau mau mencari ujung pangkal terkait terjadinya terorisme di Indonesia bisa dilihat juga dari adanya persoalan-persoalan kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memunculkan prakondisi dan katalisatornya.
Beberapa faktor prakondisi tersebut di antaranya bisa dimungkinkan karena, adanya modernisasi informasi dan teknologi, problematika sosial ekonomi, sistem politik, dan pemerintahan.
Sedangkan dari faktor katalisator bisa dimungkin karena, adanya rasa diskriminasi keadilan, baik itu karena tersumbatnya saluran partisipasi politik, sosial, budaya, hingga memang karena adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai.
Sehingga dengan melihat adanya berbagai persoalan kompleks dari kemungkinan adanya faktor prakondisi dan katalisator inilah, akhirnya jadi sangat dimanfaatkan oleh user ataupun para aktor di balik layar tindak terorisme yang intinya ingin menghancurkan Indonesia.
Jadi tidaklah mengherankan, kalau mereka memainkan strategi isu yang paling sensitif dan paling mudah dikonsumsi dalam masyarakat Indonesia yang sering sekali selalu berkaitan dengan Ideologi dan SARA, khususnya dalam hal Agama.
Bahkan sering sekali isu sensitif di atas dikombinasikan dengan strategi doktrinisasi logical fallacy atau kecohan dan bujuk rayu, untuk membuat suatu kesesatan berpikir atas keyakinan dan penalaran beragama menjadi semu, keliru, atas latar belakang prasangka, emosi, perasaan subyektif dan tidak valid, baik itu pada perhubungannya antara keyakinan diri dan dalam lingkungan kehidupannya.
Dan pada akhirnya terjadilah yang namanya brain washing atau cuci otak yang berdampak pada terjadinya pemahaman radikalisme beragama yang biasanya menyasar kepada entitas-entitas yang memang sangat rentan dalam beragama.
Sebab dari faktanya, banyak dari para teroris yang tertangkap mengatakan, bahwa orang-orang diluar dari orang golongannya adalah kafir dan halal untuk dibunuh, pemerintah adalah togut dan sebagainya.
Artinya, setiap pelaku terorisme adalah orang-orang yang memang sudah berhasil di doktrin mindset-nya secara logical fallacy, mereka yang memang sudah sesat pikir, tercuci otaknya, hingga jadi terpapar radikalisme dalam beragama.
Yang jadi saangat memprihatinkan adalah, ketika telah terjadi aksi terorisme, para user ataupun aktor di balik layarnya ternyata berhasil juga memberi dampak simultan terkait generalisasi pada suatu Agama tertentu.
Alhasil, ketika terjadi aksi terorisme justru menyebabkan dampak signifikan juga di masyarakat, yaitu terjadinya logical fallacy masayarakat untuk mengeneralisasi agama tertentu yang terkait dengan aksi terorisme hingga akhirnya konstruksi logika generalisasi yang sengaja di bentuk melalui aksi terorisme tersebut, mengalami kesesatan berpikir saat menarik kesimpulan.