Namun tidak dimungkiri juga penyebab KKN ini adalah dari sifat alami manusia itu sendiri, sehingga istilah "tidak ada manusia yang sempurna" mungkin memang benar adanya, bahwa biar bagaimana pun sejujur-jujurnya manusia, pasti pernah mengalami khilaf atau kesalahan, bahwa semua manusia memiliki potensi untuk melakukan khilaf berupa kesalahan ataupun kejahatan.
Akan tetapi juga, tidaklah menutup fakta, bahwa white collar crime disebabkan karena memang dari manusianya sendiri yang rakus dan serakah, karena orientasinya yang tidak akan pernah berhenti dan tidak akan ada rasa puas serta tak pernah bersyukur.
Selain itu, faktor pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian internal masih dirasa sangat lemah, sehingga membuat celah yang dapat dimanfaatkan para oknum di dalam birokrasi dan korporasi yang pada akhirnya justru para "kerah putih" dapat bebas mengintervensi perangkat internal, seperti pihak Inspektorat misalnya, pihak Bawasda misalnya, pihak Auditor misalnya, dan lain lainnya dalam lingkup birokrasi dan korporasi.
Tidak kalah ketinggalan adalah, "taring" hukum terkait hukum pidana terhadap koruptor masih sangat tumpul, tidak menimbulkan efek jera, bahkan hukum malah sering berlaku tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, hukum di negeri ini terkesan semakin kehilangan harga dirinya ketika harus berhadapan dengan kasus besar yang melibatkan orang yang besar atau pejabat.
Nah, begitulah kira-kiranya terkait kejahatan korupsi dengan tipologi white collar crime ini, dan memang untuk memberantasnya cukuplah sulit, karena perlu penanganan khusus yang terintegrasi.
Seperti halnya juga dalam kasus Nurdin Abdullah Cs, Edhi Prabowo Cs, dan Juliar Batubara Cs ini misalnya, yang terkait tender ataupun proyek antara birokrasi dan korporasi sesuai kepentingan dan motifnya masing-masing.
Sejatinya, langkah pencegahan ataupun preventif adalah merupakan salah satu solusi dalam rangka mengatasi kejahatan korupsi dengan cara white collar crime ini.
Seperti misal, melakukan kerja sama menyeluruh dan terintegrasi dari semua sub-sistem hukum, baik itu antara masyarakat, pemerintah
dan penegak hukum, termasuk halnya menguatkan sistem Wasrikdal internal kementerian maupun lembaga.
Atau mungkin melakukan reformasi birokrasi untuk mengubah Inspektorat jadi independen seperti KPK misalnya, atau setidaknya wewenangnya dalam Wasrikdal internal ada di bawah kendali presiden langsung seperti KPK misalnya, dan sebagainya.
Tapi entahlah, karena itu semua tinggal bagaimana pemerintah saja, namun setidaknya kalau perangkat organisasi seperti Inspektorat dalam Kementerian dan Lembaga itu kuat dan ketat, minimal dapat mencegah niat atau motif untuk korupsi.