Hampir setiap hari di negeri ini, publik selalu disuguhkan episode-episode drama para elit politik dalam perjalanan demokrasi dan kancah politik.
Para pemain yang terlibat didalamnya datang silih berganti dengan cerita-cerita demokratis dan politik masing-masing.
Tidak dipungkiri, keahlian para elit politik ini sangat mumpuni dalam mengolah gaya bahasa politis yang memikat. Publik dibuat terpesona dan kadangpun terpedaya dengan apa yang dipertontonkan oleh para politisi ini.
Gaya bahasa demokratis dalam politik sering berujung pada eufimisme yaitu masih merupakan pendapat-pendapat dan ungkapan-ungkapan serta janji-janji yang masih diragukan realitanya.
Bahasa eufimisme sering berperan hanya untuk mengumbar janji, beretorika dengan gaya bahasa meyakinkan, untuk menyamarkan tujuan kepentingan politik praktis semata.
Sehingga terkadang, semakin sulit untuk membedakan yang mana benar-benar mengusung Demokrasi dengan visi dan misi sejati yang sesungguhnya dan mana yang hanya merupakan bumbu-bumbu dari manisnya silat lidah dan skenario drama para elit politik untuk menutupi sebuah kepentingan politik.
Di samping itu, seringkali publik melihat, ada para elit politik yang lantang bersuara menentang korupsi, namun terkadang beberapa waktu kemudian secara ironi tetiba ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Inilah sedikit gambaran yang terjadi pada sebagian politisi yang sering disebut-sebut sebagai politikus tersebut.
Padahal, tugas para elit politik ini bila sudah duduk di parlemen sebagai legislatif bersifat strategis, karena akan sangat menentukan masa depan Negara.
Pasalnya para legislatif, memiliki tugas pokok dan wewenang untuk, melakukan pengawasaan, mengesahkan anggaran, dan membuat peraturan dan Undang-undang.
Dalam hal ini, maka tidak dapat disangkal lagi, jika keberadaan Parpol sejatinya, kerap kali hanya  sering mencampuri kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dan sangat berpengaruh dalam terciptanya Demokrasi.
Sehingga bila tugas pokok dan wewenang tersebut disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis tak pelak lagi, legitimasi yang dihasilkan akan ditentang oleh rakyat Indonesia.