Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Warisan Leluhur Dayak "Cuping Panjang" Akankah Punah?

30 April 2019   22:09 Diperbarui: 30 April 2019   22:46 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal mulanya tradisi memanjangkan cuping pada telinga oleh etnis suku Dayak bukan hanya dilakukan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki. Di Dayak Kayaan, kuping yang panjang bagi laki-laki menunjukkan status kebangsawanan dan bagi wanitanya cuping kuping panjang juga menyimbolkan kecantikan pemiliknya.

Perempuan Dayak yang berkuping panjang dianggap sebagai perempuan yang memiliki kesabaran tinggi dan sanggup melewati penderitaan yang panjang. Sebab, hampir semua yang kupingnya dibuat panjang, selalu disertai dengan rajah atau tato baik di tangan maupun di kaki, kuping panjang, hisang dan tato adalah bagian jati diri mereka sebagai orang Dayak.

Cuping yang dipanjangkan juga menjadi identitas usia. Sebab, ada tuturan yang menyebutkan bahwa kala dulu, hisang ditambahkan pemiliknya seiring bertambah usia. Dan itu merupakan sebuah ujian, karena semakin lama semakin berat.

Tradisi ini telah diterapkan sejak bayi, yaitu setelah beberapa minggu bayi lahir telinganya dilubangi dengan bilah bambu, kemudian ranting kayu kecil dimasukan ke dalam lubang cuping telinga itu agar tidak menutup dan seiring bertambah usia, ranting kayu itu akan diganti dengan ukuran yang lebih besar, agar lubang cuping telinga ikut membesar.

Saat usia beranjak remaja, anting dari tembaga yang berbentuk bulat digantung di lubang cuping telinga itu. Dalam bahasa Dayak Bahau anting itu disebut hisang. Setiap tahun, hisang ditambahkan dengan maksud menambah berat beban di lubang cuping hingga tertarik memanjang.

Para pewaris tradisi leluhur Dayak ini dapat ditemui di berbagai tempat dari Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Barat hingga Mahakam Ulu, tak ada data angka yang pasti tentang jumlah perempuan Dayak yang masih mempertahankan tradisi cuping telinga panjang ini, karena jumlahnya makin lama makin sedikit yang tetap teguh menjalankan tradisi warisan para leluhur ini.

Di daerah pedalaman, perempuan Dayak cuping telinga panjang hanya bisa dijumpai di sub suku Dayak Bahau, Aoheng, Penihing, Kenyah, Penan, Kelabit, Sa'Ban, Kayaan, Taman dan Punan. Rata-rata usia mereka di atas 60 tahun. Beberapa diantara perempuan kuping panjang di Mahakam Ulu bahkan mendekati usia 100 tahun jumlahnya pun dikatakan tidak sampai 100 orang.

Kini di beberapa tempat, banyak perempuan Dayak yang dulunya berkuping panjang, kini kuping mereka telah normal. Banyak yang telah memotongnya, generasi Dayak saat ini. Nyaris tak ada lagi yang ingin memanjangkan cuping kuping mereka.

Perempuan dayak sudah jarang yang meneruskan tradisi cuping telinga panjang, karena dianggap ketinggalan zaman | dokumen pribadi jusuf jeka kuleh
Perempuan dayak sudah jarang yang meneruskan tradisi cuping telinga panjang, karena dianggap ketinggalan zaman | dokumen pribadi jusuf jeka kuleh
Tersisa Didesa Pampang, kampung budaya di Samarinda, yang masih bisa dikatakan teguh  mewarisi tradisi leluhur ada beberapa perempuan muda serta beberapa laki-laki memanjangkan kuping mereka di tempat ini, justru dipedalaman yang seharusnya lebih kuat akar budaya leluhur, wanita dayak cuping panjang jarang terlihat lagi.

Berbagai alasan diutarakan generasi kini yang tidak lagi memilih berkuping panjang karena dirasa sudah ketinggalan zaman, Alasan yang paling utama adalah rasa malu.

Kemajuan  zaman yang makin modern yang sudah tersebar hingga ke pedalaman, menjadi penyebab generasi Dayak masa kini memilih tidak meneruskan tradisi leluhur ini.

Seiring berjalannya waktu, tradisi leluhur ini semakin lama semakin tergerus zaman, akankah tradisi leluhur dayak ini hilang begitu saja, semoga saja kekayaan budaya nusantara ini akan tetap ada sepanjang masa.

Referensi dari berbagai sumber

Sigit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun