Pakaianya sangatlah sederhana, warna dan warninya sudahlah pudar merana, mungkin itu karna terlalu sering dicuci, setelan itu satu-satunya miliknya yang layak ia bawa kemana-mana.
Masuk kamar periksa setengah acuh saja, karna itu rutin agenda hidupnya, disela pencarian nafkahnya yang amat bersahaja, mencari obat teruntuk anak kesayangan semata wayangnya, yang telah mengaburkan harapan hari masa depan, karena derita Skizofrenia.
Anak yang dahulu dia dambakan, yang diasuhnya dengan segala curah kasih sayang, yang diajarkannya nyanyian harapan, yang di didiknya dengan semangat juang, menatap masa depan yang menjulang, yang terlahir ditanah rendah strata hidup yang terbawah.
Anakku, kau satu-satunya anakku, tak ada satupun saudaramu, ayahmu telah lama tiada, sanak familipun kita tak punya, apalagi harta karun duniawi.
Anakku kini kau mengidap sakit Skizofrenia, membuat jiwamu pecah tak utuh lagi, kemauanmu hilang entah kemana, kau murka tanpa sebab, tak ada yang lucu kau gelak tertawa, kau tangisi sesuatu tanpa sedih, kau bertutur kata entah dengan siapa, apapun giat kau abaikan, katanya kau gila.
Anakku, ujaran ku bukan benciku padamu, hanya kritikan realita, karena ibu selalu sayang padamu, karna kau mutlak darah dagingku, kasih ku padamu seutuhnya tak terbagi, lebih dari apapun yang kuberi, api jenjang enyam didikan tak mampu kulunasi.
Wejangan kearifan dan kesabaran, ketulusan dan tawakal dari tempaan derita duniawi, ibu tetap tegar menanti tunggu sembuhmu.
***
Disebuah gubuk nan sederhana, berdinding tembikar dan beralas tanah, tempat bernaung tinggal, Â seorang janda tua dengan anaknya yang sakit Skizofrenia, tegak tantang merepih semesta.
Bila malam tiba dia melelapkan anaknya yang katanya gila karena skizofrenia, ketika surya esok tiba, anaknya terbangun minta makan, kau beri makan walau hanya dari beras murah serta lauk tahu dan kecambah, lihat lahap makan anaknya rasa bahagia tak terkira,kau ujar kelirihan.
Anakku tak percuma banting tulang rapuhku dan otot kerempengku ini, demi darah dagingku, walau ku ucap lirih pedihku, tapi semangat juang tawakalku, tak buat ibu rasa derita pun putus asa walau nampak derita ini tak berujung pangkal, justru ibu ditempa tulus arif oleh-NYA
Tapi ketika hilang nafsu makanmu, gelisah bayangi diamu, ganjil tiba sikapmu, khayal sudah ucapmu, resah tampak tidurmu, itulah saat ibumu ini merisaukanmu, kasih hati nuraniku, membuncahkan tetes-tetes air mataku.
Ibu sayang padamu nak, walaupun apapun keadaanmu, kau mungkin tak bisa gantikan peran mendiang ayahmu, secara lahirmu sesungguhnya kau beban hidupku, tapi nanti hakikimu siapalah yang tau, tapi ibu rela nak, justru bersyukur karena semakin dekatku pada-NYA.
Anakku lihat ibu nak, walau dengan otot dan tulang menua, ibu semangat nak bekerja mengais sisa sisa rezeki walaupun keringat yang kering kuperas lagi, ini demi kau nak, lihat nak, kedekatanku pada-NYA, ibu terus bersujud memuji, melepas beban beban ini, munajat pada Ilahi untuk kehidupan kita dan harap sembuhmu.
***
Masya Allah, sebuah alunan hidup yang membuat saya terhenyak dan tersentak dalam diam, kehadiran janda tua itu dilintas hidupku, menyadarkanku seolah mencubit hatiku dan mengejeku, tiada terbandingkan deritanya dengan segala rezeki yang sudah dicurahkan padaku.
Ibu janda tua itu mungkin dimata manusia, rendah tak dihiraukan, tak ada harta dan kuasa, serta berbagai atribut keduniawian, tapi disisi Ilahi begitu dimulyakan.
Wahai ibu janda tua dan anakmu yang skizofrenia, sabar ya bu, semoga ibu diberi kekuatan, Insya Allah ibu akan mendapatkan kebahagian kekal, ibu tidak memiliki apa yang dimiliki kebanyakan orang, namun ibu memiliki apa yang tidak dimiliki kebanyakan orang.
Kuselipkan uang seratus ribuan untuknya bukan untuk ada apa apanya, tapi bentuk hadir imanku karnanya, yang tersadar karena hadirnya, yang hadir layaknya reinkarnasi para wali.
***
Salam 51
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H