Mohon tunggu...
Sigit Pristiyanto
Sigit Pristiyanto Mohon Tunggu... Berbagi sudut pandang

Mulai kembali aktif menulis fiksi dan esai setelah lepas dari pekerjaan kantoran. Menyukai seri cerita misteri atau detektif terutama dari Jepang. Puisi dan karya ilmiah dapat ditemui di beberapa media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ronda

22 April 2025   21:31 Diperbarui: 22 April 2025   21:31 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ronda

Malam semakin larut, di balik belukar sepasang mata mengawasi dengan seksama. Pandangannya memburu empat bapak-bapak duduk melingkar yang sedang asyik membanting kartu remi di tengah lingkaran. Dering ponsel memecah kekhusyukan. Tetapi si empunya ponsel hanya memandanginya sesaat, mematikan deringnya dan melemparkan[SP1] ponselnya begitu saja ke tempat yang agak jauh dari ia duduk. Ia yang bersembunyi dalam belukar memaki lirih, "malam ini akan sangat panjang".

Ia berusaha menyelaraskan deru nafasnya dengan suara jangkrik dan daun-daun yang diterpa angin. Ia juga berusaha menahan gatal gigitan nyamuk yang menyarang di sekujur tubuhnya, padahal ia ingat telah mengoles losion anti nyamuk. Ia mengumpat kepada nyamuk-nyamuk dan kepada para lelaki dengan sarung yang melingkar di pinggang mereka, dengan segala kehangatan dengan kopi dan camilan di sana. Para bapak-bapak itulah yang membuyarkan rencananya. Perhitunganya salah, biasanya jam satu dini hari adalah jam maksimal mereka berkumpul, tetapi sampai jam dua ini, mereka tidak kunjung pergi juga. Ia bingung, mengapa mereka lebih memilih udara dingin dari pada bergumul dengan istri-istri mereka di rumah. Setelah sesaat ia berfikir, mungkin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Bedanya, mereka memilih menghabiskan malam bermain kartu dan meluapkan emosi di sana, sementara, ia berencana akan menghabiskan malam dengan gelora yang dipendamnya sejak lama. Ia mengutuk keadaan ini tetapi tidak mau menyerah dan pulang. Sudah kepalang sampai ubun-ubun rasanya.

Satu jam ia sudah menunggu, dari satu jam itu juga ia sudah mengenal hampir semua warga rt delapan dari obrolan di sela-sela bantingan kartu. Contohnya, pak Jun yang rumahnya dekat dengan rumah pak dukuh, pak Jun selalu berbicara manis di jika ada pak dukuh di sana, tetapi jika tidak ada yang bersangkutan, pak Jun bak mahasiswa yang kritis akan pembangunan dukuhnya. Sampai-sampai pak Jun tahu sumber pemasukan lain dari pak dukuh dari mana saja, entah bersih atau kotor, siapa saja tamu yang berkunjung, kapan pak dukuh di rumah, semua data ia pegang. Atau cerita yang lebih menarik, ada pak Gun yang selalu pakai kaus kutang putih bersih saat kemana-mana. Konon kaos kutang itu tidak pernah bisa kotor karena pak Gun mempunyai jimat anti kotor, tetapi orang yang lebih rasional akan menganggap kalau pak Gun setiap hari memakai kaus kutang baru, tetapi jika ditelaah oleh bapak-bapak yang melingkar di sana, pendapat itu sama tidak rasionalnya.

Semakin malam, omongan para bapak-bapak di seberang sana semakin tidak masuk akal pikirnya, seperti dugaan pesugihan yang dilakukan oleh mas Roni. Mas Roni adalah pendatang, mondok di rumah sewaan milik haji Abdulah juragan kambing. Pondokan itu dianggap sangat mahal bagi warga setempat dan dirasa harganya tidak masuk akal. Baru beberapa bulan mondok di sana, mas Roni sudah membawa Avanza tahun 2015. Motornya Nmax tapi kini jarang dipakai sekarang semenjak punya mobil. Mas Roni selalu terlihat memakai kalung emas bertengger di leher dan jam tangan mewah di pergelangan tangan kanan. Hampir setiap hari datang kurir paket dan kurir makanan yang dipesan online, hal yang jarang dilakukan oleh penduduk setempat. Tidak hanya itu, mas Roni dan istri jarang kelihatan batang hidungnya di acara warga padahal hampir sesalu tidak keluar rumah. Katanya sih kerja online di rumah, tapi warga tidak ada yang paham kerja apa itu, pilihanya tinggal pelihara tuyul, itu yang paling masuk akal. Atau jika ia boleh berpendapat, pasti ada jimat tertentu yang dimiliki mas Roni.

Ia abu-abu perkara takhayul akhir-akhir ini, ragu antara benar dan tidak, sekaligus jika benar, apakah asli atau tidak. Ada kejadian sekitar seminggu yang lalu, ia ingat betul nama laki-laki itu Parno, orang yang menghebohkan warga desa. Jam sepuluh malam ia kepergok warga sedang menenteng satu ekor kambing milik haji Abdulah. Warga langsung tau itu adalah kambing milik haji Abdulah karena ditandai logam kuning di setiap kupingnya. Parno melengang begitu saja di depan pos ronda. Setelah diusut, Parno mengaku memiliki jimat kasat mata dari dukun sakti Kota B yang sudah terkenal seantero jagad perdukunan. Keterangan saksi yang mempercayai takhayul, ia melihat ada kambing berjalan sendiri malam-malam sementara yang lain bilang jimat itu tidak manjur karena mencuri kambingnya seorang haji makanya Parno dan kambingnya kelihatan oleh warga, atau saksi lain berkata jika jimatnya hanya berefek untuk Parno, tidak untuk kambingnya, karena pasti dijual terpisah. Tetapi warga yang rasional mengungkap jika Parno saat itu memakai setelan serba hitam, jadi kurang terlihat di kegelapan dan hanya terlihat kambingnya saja yang berjalan sendiri. Kebetulan lampu depan pos ronda memang temaram dan belum sempat diganti. Ingin sekali rasanya ia menyanggah orang rasional itu, bahwa hal-hal seperti jimat itu memang benar adanya, tetapi sejak kejadian itu, ia menjadi ragu.

Jika diingat-ingat, ia hampir lupa tujuanya di sana jika tidak ada yang bangun di balik celananya. Ia mulai mengantuk, tadi ia hanya meminum segelas jamu dengan bahan utama ginseng dan pasak bumi. Jika ia pulang sekarang, kesempatan lain belum tentu akan datang. Ia sudah membayangkan Warti, idaman masa kecilnya yang menunggunya di rumah paling ujung dengan pagar hijau yang tidak di kunci, menantinya dengan gelora yang sama dengan apa yang ia rasakan. Ia merasa tumbuh bunga di dalam retakan rumah tangganya ketika tidak sengaja menghubungi Warti sebulan lalu, dan malam inilah hari yang ditunggu-tunggu. Tetapi tujuanya tidak akan tercapai jika penghuni pos ronda itu masih ada di sana, karena itu adalah jalan satu-satunya menuju rumah Warti. Ia memaki dalam hati, ragu jimat yang ia bawa berfungsi dengan baik. Jika saja ia tidak mendengar berita tentang Parno, ia sudah melewati pos ronda itu dengan berlenggang tangan tanpa ragu.

Jam tiga lebih tiga puluh malam menjelang subuh, sudah ada tanda-tanda permainan kartu itu akan berakhir. Kartu-kartu yang berserakan sudah disatukan kembali ke dalam kotaknya, seperti harapannya dengan semua bentol-bentol yang ditanggungnya akhirnya akan terwujud. Ia paham betul apa konsekuensi jika ia ketahuan oleh peronda itu. Hanya bentol-bentol saja tidak ada apa-apanya. Tiga bulan lalu sepasang orang di rt 8 selingkuh di grebek dan di arak dari rumah hingga ke balai desa, tentunya dengan telanjang dan lebih parahnya di rekam, serta beberapa orang akan menyarangkan lebam di tubuh si laki-laki sembari berteriak untuk menghormati norma-norma yang berlaku. Ya, norma-norma yang berlaku. Ia paham betul semua itu adalah resiko yang juga harus ditanggungnya jika ia kepergok, tetapi cinta atau nafsu entah yang mana, mengobarkan semangatnya. Apalagi malam ini adalah saat suami Warti sedang keluar kota dan akan kembali dua hari lagi. Waktu yang cukup untuk bergumul dalam asmara, melepaskan hasrat dan penat yang sudah membebani jiwanya, itupun jika ia bisa menyelinap sekarang. Jika saja ia bisa mengajaknya pergi ke hotel, semua akan menjadi lebih mudah.

Peronda sudah mulai meninggalkan posnya, tetapi salah satu peronda lupa dan meninggalkan ponselnya yang ia lemparkan tadi. Besar rasanya ia ingin berteriak mengingatkan si empu ponsel itu. Kelegaan hatinya berubah menjadi kegelisahan. Jika ia muncul sekarang dan tiba-tiba si empu ponsel itu teringat dan kembali, tamatlah riwayatnya. Kesabaranya sudah di ujung tanduk. Tetapi ingatan tentang persekusi kembali dan menggetarkan jantungnya. Akhirnya biarlah ia membuang waktu barang sepuluh menit lagi dengan nyamuk dan belukar, agar paling tidak si empu ponsel sudah jauh jika ia berniat kembali.

Dalam keheningan malam, ia melihat seekor kambing dengan tanda logam kuning di kuping berjalan sendiri. Ia gosok-gosok matanya dengan punggung tangan, siapa tahu kantuk telah menyerang kesadaranya. Tetapi apa yang dilihatnya tidak menghilang. Si Parno sialan, berarti jimatnya palsu, pikirnya. Ia memaki-maki mengapa ia tidak menggunakan jimatnya dari tadi. Ia ke luar dari belukar yang sudah mengurung jiwanya dan berlenggang tangan menuju rumah Warti. Ia sempat melongok ke belakang dan terkejut saat si empu ponsel ternyata kembali untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Ia berkeringat dingin, perasaan cemas akan jimatnya yang tidak berfungsi kembali menyerang. Tetapi si empu ponsel tidak mencari barangnya, tetapi malah tidur di sana dan tidak menyadari ada seseorang di tengah jalan yang mengamatinya. Ia bernafas lega, bulir-bulir keringat yang tadi mengucur sudah dikeringkan angin malam. Pagar hijau rumah Warti sudah di depan mata, tetapi anehnya terkunci. Sialan, Warti pasti sudah menganggapnya sebagai pembohong karena membiarkanya menunggu berjam-jam. Jika saja Warti tau apaa saja yang sudah ia alami. Jika saja ia juga membeli jimat penenang wanita yang sedang marah, itupun jika ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun