Mohon tunggu...
Sigit Widodo
Sigit Widodo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Partai Rakyat: Mungkin Nggak, Ya?

26 Desember 2008   14:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:22 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ANDA malas membaca judul tulisan saya?

Terus terang kalau saya ada di posisi Anda, saya juga tidak bakal tertarik membaca tulisan semacam ini. Jadi saya tidak akan kecewa atau sebal kalau Anda sekarang menempelkan punggung tangan ke dahi dan berkata, “Capek, deh!

Okelah, lain kali kita berbincang tentang fenomena Blackberry, akses Internet 3,5 G yang makin murah, masalah cinta, hubungan antar-manusia atau film “Twilight” yang menurut kaum hawa, pemeran Edward Cullen-nya “keren abis”. Namun kali ini saya ingin mengobrol tentang partai politik. Lembaga yang menjadi sangat kuat setelah Reformasi 1998, namun tidak pernah berhasil (karena tidak mau?) memperjuangkan kepentingan konstituennya. Boleh ya, bok? Hyuk!

Diskusi tentang partai politik memang sudah tidak lagi menarik seperti satu dasawarsa silam. Bahkan saya berani bertaruh, Pemilu 2009 akan mengalami pelonjakan jumlah golput. Melihat pilihan-pilihan yang tersedia – baik untuk Pemilu legislatif maupun Pilpres – saya sendiri tampaknya akan mengambil keputusan yang sedolar sebelas ribu rupiah. Maksud saya, yang setali tiga uang.

Pengalaman dua kali melakukan Pemilu secara demokratis justru membuat masyarakat tidak lagi percaya pada partai politik. Orang-orang dan partai-partai yang di masa akhir Orde Baru digadang-gadang dan dibela mati-matian oleh Rakyat, ternyata berbalik melawan Rakyat saat sesudah duduk di tampuk pemerintahan. Hampir semua memiliki pola yang sama: caleg membayar pada partai agar masuk pencalonan, kemudian jor-joran kampanye menghamburkan uang – baik uangnya sendiri maupun uang sponsor. Jika berhasil dipilih, yang pertama terpikir adalah  cara mengembalikan uang yang dihamburkan saat Pemilu. Kalau bisa “modal” tadi menghasilkan “profit” ratusan persen. Untuk sponsor, “pelunasan” bisa dilakukan dengan membuat Undang-undang pro-sponsor.

Pilpres? Ya, sami mawon. Untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, dibutuhkan dukungan dari parpol atau gabungan parpol dengan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara Pemilu. Jadi pilihannya, ya cuma “tokoh utama” partai atau orang yang berani bayar tinggi. Terus, uangnya dari mana, dong?

Seorang calon presiden saat ini memang harus dari kalangan berpundi-pundi besar dan didukung oleh pengusaha raksasa. Sehabis terpilih, ya mereka akan berusaha balik modal dan “bayar” biaya dukungan donor lagi. Dua presiden terakhir jelas mendapat dukungan Rakyat melalui dua Pemilu terakhir. Tapi begitu naik, semua kebijakan-kebijakan neo-liberalismenya langsung menghantam Rakyat sampai menghancurkan sumsum tulang yang paling dalam.

Kemuakan Rakyat pada partai politik di negeri ini mirip seperti kemuakan Rakyat Amerika Serikat terhadap partai politik di Film “Man of The Year” (Universal Pictures, 2006). Pada film itu, Tom Dobbs – seorang komedian politik yang diperankan dengan sangat baik oleh Robin Williams – didapuk para pemirsa acara televisinya untuk mencalonkan diri sebagai capres independen. Kalau di sini mungkin mirip seorang Butet Kartaradjasa, Kelik Pelipur Lara atau Jarwo Kwat mencalonkan diri sebagai presiden. Atau mungkin Effendi Gazali? Hus, itu dosen S2 saya di Komunikasi UI dulu. Maaf ya, Pak. Tapi sebagai akademisi, Bapak memang tergolong sangat lucu. :)

Singkat kata, Tom Dobbs berhasil meraih simpati publik yang muak pada Partai Republik maupun Demokrat. Dalam kampanyenya, Dobbs selalu mengeluarkan yel-yel “Kalian muak pada (Partai) Republik?! Kalian muak pada (Partai) Demokrat?!” yang disambut meriah oleh ribuan pendukungnya. Ya, saat dirilis pada Oktober 2006, fenomena Barack Obama memang belum muncul di negeri Abang Sam.

Dengan kejujuran dan gayanya yang blak-blakan, Dobbs menjungkir-balikkan tatanan debat capres. Saat seorang capres menyatakan mendukung mobil hidrogen yang ramah lingkungan, Dobbs langsung menyambar, “Aneh sekali, bukankah Anda disokong oleh perusahaan-perusahaan minyak?” Dobbs juga tidak canggung mengakui tentang pernikahannya yang gagal, pernah menggunakan narkoba, hingga hal-hal yang menyerempet tentang seks. Semuanya disampaikan dengan humor-humor cerdas yang sulit dibantah.

 Ndilalahnya,Dobbs akhirnya memenangi pilpres dan menjadi komedian pertama yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat? Terdengar akrab? Ya, kecuali Obama bukan komedian dan pasti tidak selucu Robin Williams. :)

Namun Dobbs akhirnya mengundurkan diri setelah mengetahui kalau kemenangannya hanya hasil dari kesalahan perhitungan komputer. Dia tidak mau melakukan hal-hal seperti politikus yang kerap disindirnya melalui tayangan komedi televisi.

Mari kembali ke dunia nyata. Ke negeri yang saat harga minyak dunia naik, harga BBM ikut naik, tapi saat harga minta dunia anjlok, harga BBM enggan turun atau turun perlahan dan malu-malu seperti anak SMP sedang jatuh cinta. Apa jadinya jika seorang calon presiden independen yang tulus seperti Dobbs, memenangi pilpres di negara ini?

Yang bisa langsung ditebak adalah resistensi dari parlemen. Tanpa dukungan partai politik di parlemen, presiden akan sulit mengesahkan Undang-undang. Mau memerintah dengan Perpu atau dengan Dekrit sekalian? Waduh, bisa-bisa jadi Gus Dur kedua.

Tanpa dukungan parlemen, seorang presiden di sebuah republik demokratis memang tidak bisa berbuat apapun. Kalau Dobbs benar-benar ada di dunia nyata, dia juga pasti akan dihadang kubu Republik maupun Demokrat di Senat maupun DPR Amerika Serikat.

Jadi petinggi-petinggi negara – atau pensiunannya – yang  ingin maju sebagai capres, saya sarankan untuk menonton film Robin Williams yang lain. Ketimbang bermimpi jadi presiden melalui jalur independen, cobalah menonton “Patch Adams”, agar tergerak mendirikan klinik kesehatan yang murah dan berkualitas untuk Rakyat. Atau tontonlah “Jacob The Liar” agar selalu bisa memberi semangat kepada masyarakat dalam keadaan seburuk apapun. Atau cobalah menonton serial lawas “Mork and Mindy” dan sadarilah kalau kelakuan kalian lebih aneh daripada seorang dari Planet Ork. “Nano-nano!

Kembali ke sistem demokrasi perwakilan. Semuak apapun kita pada partai politik, sistem demokrasi perwakilan tetap memerlukan partai politik. Masalahnya, partai-partai politik yang ada sekarang tidak pernah bisa benar-benar mewakili Rakyat dan hanya mewakili elit-elit politik belaka.

Sama seperti hubungan asmara atau pernikahan, saat pasangan selalu menyakiti, tidak lagi memperhatikan dan menyayangi kita, perlahan tapi pasti kita juga akan kehilangan cinta kita pada pasangan. Ini dunia nyata, Bung! Ini bukan dongeng yang berakhir dengan “hapilly ever after” walaupun, misalnya, sang pangeran kemudian melakukan KDRT kepada sang putri atau sebaliknya sang putri hanya mau morotin sang pangeran.

Ini juga sudah bukan zamannya Rakyat mengabdi kepada penguasa dengan prinsip “pejah gesang ndherek siapapun”. 2009 akan menjadi saat yang tepat bagi Rakyat untuk menalak partai-partai politik yang cuma bisa memberikan janji-janji gombal menjelang Pemilu. Kalau perlu talak tiga sekalian.

Selesai dengan memilih menjadi golput? Tentu saja tidak. Negeri ini tidak bisa semakin kehilangan harapan dan masa depan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kita sudah sangat banyak merombak sistem pemerintahan. Diakui atau tidak, sistem yang ada sekarang sudah jauh lebih baik ketimbang satu dasawarsa silam. Artinya tidak perlu berpikir untuk kembali merombak sistem pemerintahan – apapun bentuknya, termasuk kembali ke konstitusi sebelum amandemen. Dalam sepuluh tahun kita sudah belajar sangat banyak tentang demokrasi, jangan berpikir untuk memberangus lagi kebebasan di negara ini.

Namun demokrasi sekedar untuk demokrasi, niscaya tidak akan pernah langgeng. Rakyat akan mendukung pemimpin dan sistem yang mampu menyejahterakan mereka. Apapun bentuknya, akan mereka dukung – entah demokrasi, teokrasi, junta militer atau apapun. Artinya jika eksperimen demokrasi yang kita terapkan selama ini tidak berhasil menyejahterakan Rakyat, akan ada potensi kehilangan anugerah demokrasi ini.

Untuk menciptakan kesejahteraan melalui jalur demokrasi, diperlukan satu partai yang betul-betul mau berjuang untuk Rakyat. Saya memimpikan adanya satu “Partai Rakyat” yang tidak dikuasai oleh elit-elit politik, tapi dikuasai oleh kesamaan tujuan untuk menyejahterakan Rakyat.

Partai ini harus memiliki akar ke bawah dengan menciptakan underbow organisasi massa riil di kalangan buruh – kerah biru maupun putih, petani, nelayan, mahasiswa, perempuan dan massa-massa riil lainnya. Partai Rakyat harus memiliki satu cetak biru sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan politik untuk menyejahterakan Rakyat. Partai ini harus didirikan untuk memperjuangkan cetak biru tadi dengan merebut kekuasaan di parlemen dan menaikkan calon presiden ke tampuk kekuasaan.

Demokrasi untuk Rakyat. Semuanya harus dimulai dengan niat tulus mengabdikan diri bagi kesejahteraan dan kejayaan Rakyat, bukan dengan niat memperbesar pundi-pundi pribadi, partai maupun sponsor.

Saya percaya cukup banyak anak-anak bangsa yang memiliki niat baik semacam ini. Beberapa di antaranya mungkin sudah bergabung di partai-partai politik yang terpisah dan mengikuti Pemilu 2009 sebagai caleg. Namun, tanpa satu partai yang menyatukan tujuan dan niat baik mereka, saya pesimis tujuan baik mereka akan tercapai. Satu-satunya harapan saya, jika beberapa anak bangsa tadi berhasil masuk ke parlemen melalui Pemilu 2009, mereka dapat mulai berteriak-teriak memperjuangkan keyakinannya. Tapi untuk mengubah keadaan akan sangat sulit karena mereka tetap harus tunduk pada kemauan elit-elit partai yang nggak genah itu.

Untuk mengubah keadaan, Partai Rakyat harus mulai dibentuk dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, namun lupakanlah Pemilu 2009. Rakyat sudah pasti akan “kalah” di Pemilu 2009. Tapi Rakyat harus mulai bangkit kembali di 2014 dan merebut kekuasaan di 2019.

Anda berpikir saya naif? Mungkin saja. Saya juga seringkali berpikiran begitu. Apalagi melihat pengalaman kita dalam dua Pemilu terakhir dan kemungkinan besar juga dalam Pemilu tahun depan.

Namun negeri ini tidak boleh kehilangan harapan. Demokrasi tidak boleh kehilangan harapan dan Rakyat tidak boleh kehilangan harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun