Oleh: Sigit Widodo*
Pada 19 Oktober 2010, DPR akhirnya menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Timur Pradopo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Beritanya terpinggirkan, atau memang sengaja dipinggirkan, oleh hiruk-pikuk pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional dan satu tahun pemerintahan SBY-Boediono.
Tulisan ini sebenarnya ingin saya buat pekan silam, usai Timur menjalani fit and proper test di DPR. Namun baru sekarang saya bisa menulisnya. Better late than never, kata orang Inggris. Jadi, sementara orang lain sudah pindah ke isu satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, perkenankan saya masih berkutat pada soal usang ini.
Timur Pradopo. Nama ini akan selalu terekam di benak saya dan kawan-kawan alumni Universitas Trisakti lainnya yang terlibat dalam tragedi 12 Mei 1998. Timur yang masih berpangkat Letnan Kolonel (Pol), saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat. Di dalam wilayahnya terletak Kampus A Universitas Trisakti, lokasi penembakan yang menewaskan empat orang mahasiswa teman kami.
Saya ingin mengajak Anda menyusuri kenangan kami di hari itu. Situasi Indonesia dalam keadaaan sangat tegang. Krisis menghantam ekonomi Orde Baru yang rapuh. Rupiah menjadi tak berharga, inflasi gila-gilaan, dan bisnis kolaps di mana-mana. Setelah berbulan-bulan diam, sampai-sampai senat mahasiswa kami dikirimi baju dalam wanita oleh kampus lain, mahasiswa Universitas Trisakti akhirnya memutuskan untuk menggelar mimbar bebas raksasa dan mencoba bergerak ke DPR.
Ya, mimbar bebas terbesar yang pernah digelar mahasiswa Jakarta saat itu. 6000 mahasiswa bergabung dalam aksi ini – mahasiswa kampus paling borjuis di Indonesia yang super duper apolitis sejak NKK/BKK 1978. CNN dalam laporannya melukiskan sebagai “students of Indonesia’s best families now marching on the street”.
Aksi ke DPR tidak pernah terjadi. Kami dihadang di depan kampus oleh ribuan aparat gabungan Polisi dan TNI-AD. Setelah lima jam disengat terik panas dan hujan deras berganti-gantian, kami memutuskan untuk mundur dan masuk kembali ke dalam kampus. Situasi berangsur tenang hingga menjelang petang.
Menjelang petang, kami mendengar akan ada sweeping pada sisa-sisa mahasiswa yang masih duduk-duduk di jalanan depan kampus. Kami pun bersiap-siap. Tiba-tiba terdengar tembakan dari arah kantor lama Walikota Jakarta Barat. Mahasiswa yang kebanyakan sudah menunggu kendaraan untuk pulang, berlarian masuk ke kampus. Sampai di dalam kampus, mahasiswa tetap disuguhi pelor panas. Kami berlarian di bawah desingan peluru, bersembunyi di sela-sela pepohonan. Beberapa mulai membalas melempar batu ke arah aparat. Hei, bagaimanapun ini Trisakti. “Lempar batu” sudah jadi olahraga rutin kami tiap semester, bung. ;-)
Gas air mata mulai dilemparkan ke dalam kampus. Desing peluru bercampur gas air mata menyesakkan kampus. Malam perlahan hadir, gelap mengurung kampus.
Dalam kegelapan dan pekatnya gas air mata, kami menemukan beberapa teman menjadi korban penembakan. Tak lama, darah korban memenuhi selasar kampus. Amis darah bercampur gas air mata menyesakkan paru-paru. Keheningan malam dikoyak jeritan marah mahasiswa dan tangisan panik mahasiswi. Tembakan terus diarahkan ke dalam kampus.
Kami mencoba mendobrak ruang kesehatan mahasiswa yang sudah dikunci. Tidak berhasil. Satu-satunya harapan kami adalah membawa rekan-rekan yang terluka ke Rumah Sakit Sumber Waras, sekian ratus meter di timur kampus kami. Namun itu juga bukan hal yang mudah, kampus masih dikepung oleh aparat gabungan.