MINGGU sore ini, saya menonton “Titanic” di satu kanal televisi berbayar yang khusus menyajikan tayangan film. Ingatan kembali menerawang ke sekitar dua belas tahun silam, saat film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet ini mewabah di seantero Bumi.
Saat itu saya terpaksa menonton di baris paling depan dan mendapat tempat paling pojok sebelah kiri. Padahal hampir semua studio sudah digunakan untuk memutar film itu. Setelah tiga jam 15 menit menonton di posisi itu, saya selama beberapa waktu menderita kaku di bagian leher kanan. Padahal saya masih berusia 22 tahun saat itu. Sulit menjumpai film selaris itu, termasuk “Twilight” yang harus saya tonton di baris ketiga dari depan.
Lagu “My Heart Will Go On” yang dinyanyikan oleh Celine Dion juga sempat mewabah di mana-mana. Yang selalu saya ingat adalah saat makan es krim berdua dengan sahabat saya di Haagen Dazs Plasa Senayan. Entah mengapa saat itu mereka memutar lagu yang sama berulang-ulang tanpa jeda lagu lain. Waktu itu, ya dinikmati saja. Lagunya sedang ngetop dan es krimnya belum semahal sekarang karena satu dolar masih sekitar Rp 2.400,-. Minggu lalu saya kembali makan di sana dengan sahabat yang sama dan harganya sudah naik lima kali lipatnya.
Tak lama setelah film ini di putar, ekonomi Indonesia ikut terkena demam Titanic. Ekonomi yang saat itu menjadi andalan Orde Baru, ternyata rapuh dan tak kuat menahan tabrakan dengan gunung es krisis moneter.
Tapi saya sedang tidak berminat membahas sejarah Indonesia 1997-1999 yang sekarang banyak ditulis seenak udelnya tanpa melihat fakta. Bayangkan, di salah satu buku saya menemukan tulisan tentang Resimen Mahasiswa (Menwa) yang menjaga kampus Universitas Trisakti saat peristiwa Mei 1998.Padahal saat itu Menwa sudah jadi musuh mahasiswa di kampus kami dan selama beberapa tahun sebelumnya cuma jadi bulan-bulanan anak Teknik Mesin. Yang menjaga kampus kami saat itu adalah Satuan Tugas (Satgas) mahasiswa yang terdiri dari gabungan berapa himpunan mahasiswa jurusan dan senat fakultas.
Sudahlah. Saya sedang ingin menulis tentang soal lain.
Sahabat yang dua kali makan (eskrim) di Haagen Dazs bersama saya itu punya satu teori yang menarik tentang hubungan asmara antara Jack Dawson dengan Rose DeWitt. Tidak bisa dipungkiri, dalam film itu hubungan asmara antara Jack dan Rose terasa sangat romantis. Ciuman mesra di ujung haluan kapal, ditambah erotisme saat Jack melukis Rose tanpa busana dan bercinta di dalam mobil. Hmm.. Kita belum pernah mencoba ciuman di ujung haluan kapal, cin. :)
Namun, menurut sahabat saya tadi, hubungan Jack dan Rose tidak akan tetap seromantis itu itu jika kapal Titanic tidak tenggelam. Mereka akan tiba di Amerika Serikat dan dan menikah. Kemudian apa? Kalau menurut istilah Direktur Marketing kantor lama saya, “Teruusss?”
Dalam teori sahabat saya, mereka akan menyadari kalau hidup sebenarnya tidaklah seindah itu. Akan ada masalah-masalah baru, terutama karena Jack dan Rose berasal dari kelas sosial yang sangat berbeda. Sekian tahun lalu, saya hanya bisa tersenyum mendengar teori sahabat saya itu. Namun sekarang saya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Ketika seseorang tengah dimabuk cinta, hubungan asmara tak ubahnya hubungan antara Jack dan Rose dalam film “Titanic” tadi. Perbedaan kelas sosial dan budaya, misalnya, tidak akan menjadi masalah besar. Sebagai seorang yang sejak kecil dididik menjadi nasionalis dan setelah beranjak dewasa mengakui kebenaran analisa Marx tentang kapitalisme, saya yang pertama kali mencibir kalau masalah perbedaan kelas sosial, suku bangsa, budaya – bahkan agama sekalipun – bisa memisahkan hubungan cinta antara dua anak manusia.
Namun pengalaman sekian tahun setelah film Titanic tadi – baik dari pengalaman sekian banyak teman saya maupun pengalaman saya sendiri – membuat saya berpikir agak berbeda. Apalagi ketika seorang konsultan perkawinan berkata pada saya, "Perbedaan sosial dan budaya kalian terlalu besar". Hmm.. Ada hal-hal lain yang perlu dipikirkan ketimbang kemesraan dan keintiman yang menggebu-gebu di awal percintaan.
Untuk mempertahankan cinta diperlukan persamaan-persamaan tertentu. Setidaknya persamaan tujuan dan pandangan hidup. Kelas sosial, misalnya, sebetulnya bisa saja dijembatani oleh pasangan yang memiliki tujuan dan pandangan hidup yang serupa. Namun jika kelas sosial mengakibatkan terbentuknya tujuan dan pandangan hidup yang berbeda, niscaya perbedaan di antara dua anak manusia itu akan sulit dijembatani.
Persamaan-persamaan lainnya juga dibutuhkan oleh suatu pasangan. Sahabat tercinta saya yang sedang menulis artikel sebagai kontibutor di salah satu majalah kebugaran wanita, menyebutkan ada beberapa jenis keintiman: fisik, estetik, rekreasional, intelektual, emosional, spiritual hingga seksual. Saya percaya, semakin banyak kesamaan, akan semakin banyak keintiman yang tercipta di antara pasangan tersebut.
Kembali ke kemungkinan Jack dan Roses tiba di Amerika – katakanlah karena gunung es di Atlantik Utara sudah meleleh seabad silam akibat pemanasan global yang terlalu dini – dan menikah. Mungkinkah mereka menjembatani segala perbedaan yang ada di antara mereka? Akankah Jack dan Rose tetap saling menyayangi sampai “kaken-ninen”. Ataukah Jack dan Rose akan menemukan wanita dan pria lain yang lebih memiliki banyak kesamaan? Akankah Rose memaki-maki Jack atau Jack melakukan KDRT terhadap Rose yang dituduh berselingkuh?
Entahlah. Toh James Cameron juga tidak akan memaksa membuat sekuel Titanic 2 . Jadi kita nikmati saja film ini dan tersenyum sambil berpikir, “Cinta memang indah”.
Lagipula memang indah, kok. Kata siapa, tidak indah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H