Musim ini, yang sudah (hampir) berakhir, mungkin adalah sebuah musim yang paling tidak asyik untuk seorang Rafael Benitez, dari musim-musim tidak asyik yang (mungkin) pernah dijalaninya, meski ia mengawalinya dengan, ‘hebat’.
Hebat? Tentu saja, karena ia ditunjuk untuk menangani Real Madrid di awal musim. Klub bintang lima yang bertabur bintang. Ditunjuk menangani Ronaldo cs? Bukankah itu prestise untuk seorang pelatih?
Ya, Benitez bahkan mengatakan jika ia merasa sangat emosional ketika diperkenalkan ke publik sebagai pengganti Carlo Ancelotti karena ia merasa ‘pulang ke rumah’. Klub bertabur bintang adalah garansi bahwa pelatihnya berpeluang besar mencatatkan prestasi di akhir musim. Apalagi dalam CV Benitez sendiri banyak ‘terlampir’ catatan-catatan yang meyakinkan ketika menangani Valencia, Liverpool, Chelsea, atau Napoli. Bersama Liverpool, Benitez bahkan meraih trofi impian, Liga Champion musim 2004/2005.
Meski banyak yang menanyakan keputusan Real Madrid menunjuk Benitez, faktanya banyak pula yang mendukung dan meyakini bahwa Benitez akan sukses. Maka dimulailah musim kompetisi 2015/2016 oleh seorang Rafael Benitez bersama Real Madrid.
Sayang, dalam perjalanannya, kerikil di jalan Benitez bersama El Real terlampau mengganggu kinerjanya. Kerikil itu antara lain adalah isu ketidakharmonisannya dengan beberapa pemain yang tidak menyukai metode latihannya. Beberapa kali – meski Benitez dan Kapten Sergio Ramos membantahnya – ia terlibat selisih paham dengan pemain yang membuat suasana latihan maupun suasana kamar ganti jauh dari harmonis.
Selain itu ketidakpopuleran dia di mata suporter juga mempengaruhi para petinggi klub. Isu yang paling membuat kursi Benitez akhirnya bergoyang kencang adalah ketika mereka dipermalukan Barcelona 0 – 4 dalam laga El Classico jilih satu musim ini di kandang sendiri. Suporter mengkritik keras karena Benitez dianggap membawa Real Madrid menjadi tim yang inferior di depan rival sengit mereka, Barcelona.
Tekanan dari suporter juga membuat petinggi klub menekannya pula. Kursi mulai kencang bergoyang dan isu pemecatan berhembus semakin kencang. Parahnya, mereka juga semakin tercecer dalam perburuan poin di papan klasemen karena bahkan tim sekota mereka, Atletico Madrid pun menyodok mereka dalam perburuan gelar La Liga.
Selain itu, tersingkirnya Real Madrid dari ajang Copa Del Rey juga dianggap sebagai kesalahannya karena mereka tersingkir bukan karena kalah dalam pertandingan, melainkan karena dianggap tidak fair play dengan memainkan pemain yang masih terkena akumulasi kartu dalam pertandingan.
Akhirnya, setelah tak juga mampu mengangkat performa timnya, Benitez benar-benar menemui kenyataan bahwa klub tak bisa memberinya waktu lebih banyak lagi. Ia dipecat dan klub yang dianggapnya ‘rumah sendiri’ itu benar-benar bukan rumah yang nyaman dan mengerti dirinya, karena rumah itu hanya mengijinkannya ‘pulang’ selama setengah musim saja.
Di bulan Januari, ia harus ‘angkat kaki’ dari rumahnya. Mengemasi koper dan juga mimpi-mimpinya.
Tapi ia tak terlalu lama menganggur. Pada bulan Maret, Newcastle United yang sedang berjuang menghindari degradasi dan baru saja memecat Steve McClaren karena tak juga mampu mengangkat tim dari papan bawah klasemen Liga Primer memberinya pekerjaan yang bisa disebut ‘mission impossible’. Menyelamatkan Newcastle United dari degradasi dengan 10 pertandingan sisa sementara mereka baru mengumpulkan 24 poin.