Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Mengingat Kembali Masa Kejayaan Liga Italia Serie A

8 Januari 2016   10:20 Diperbarui: 8 Januari 2016   10:30 5176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  ilustrasi

Di awal tahun 90 an hingga awal tahun 2000 an, Liga Italia Serie A adalah tayangan yang dinanti-nanti penggemar sepak bola di Indonesia, bahkan dunia. Malam senin, jam setengah sepuluh. Pada saat itu rasanya tak ada kompetisi yang menarik selain Liga Serie A Italia. Klub-klub yang akrab di telinga adalah klub-klub peserta Serie A. Kemana Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, PSG, Ajax, Manchester United, Chelsea, atau Arsenal? Tentu saja mereka ada bersama liga masing-masing, tapi karena obor liga tempat mereka menjadi peserta kalah mencorong dengan Serie A, maka nama-nama beken itu tak akrab di telinga (orang umum dan awam) sebagaimana AC Milan, Juventus, Lazio, AS Roma, Inter Milan, Fiorentina, Udinese, Sampdoria, atau Parma yang setiap pekan terdengar dari televisi. Bahkan klub-klub papan bawah seperti Cremonese, Brescia, Perugia, Genoa, Torino lebih sering terdengar di banding klub-klub top Eropa yang tidak berada di Serie A.

Dalam kejuaraan tingkat Eropa yang melibatkan beberapa klub Italia, seperti (waktu itu) Piala Champions, Piala UEFA, atau Piala Winners, pamor mentereng Serie A membuat penggemar sepak bola memavoritkan klub-klub Italia. Mungkin karena pamornya sedang mengkilap itulah makanya klub-klub Italia percaya diri dan mampu merajai Eropa.

Sebagian besar pemain sepak bola, bahkan yang belum pemain sepak bola bermimpi bisa bermain di Serie A, terutama dengan klub-klub papan atas (terutama) AC Milan, Juventus, Parma, Lazio, AS Roma, Inter Milan, Fiorentina, atau setidaknya, Sampdoria. Maka tak heran jika bintang-bintang sepak bola dunia saat itu terkonsentrasi dan ‘berkumpul’ di Serie A. Bermain di Seri A layaknya menjadi penegasan keabsahan sebagai bahwa seorang pemain sepak bola patut disebut sebagai bintang. Apalagi jika berhasil meraih gelar juara liga yang di sana disebut sebagai Scudetto dan menjuarai turnamen di tingkat Eropa. Bukan hanya ketenaran yang kemudian akan mengikuti, tapi juga kesejahteraan hidup, mengingat klub-klub di Serie A tak pernah segan mengeluarkan berapa pun jumlah uang untuk membeli jasa seorang pemain bintang.

AC Milan adalah ‘mimpi dan tujuan utama’ seorang pemain sepak bola profesional. Menjadi skuad klub itu adalah dambaan pesepakbola. Menjadi skuad Milan berarti berada dekat sekali dengan gelar juara, trofi, ketenaran, dan tentu saja, uang. Nama-nama beken yang pernah menghuni skuad, dan deretan gelar serta trofi yang diraih membuat Milan menjadi mimpi indah para pesepakbola dan serta meraih kekaguman dari dunia.

Selain Milan ada beberapa klub pesaing seperti Juventus yang prestasinya tak kalah mentereng dibanding Milan, karena meski Milan merajai Eropa, tapi gelar juara liga terbanyak adalah milik Juventus. Juventus juga merupakan klub tujuan para pesepakbola. Nama-nama bintang yang pernah berada di sana pun bukan nama sembarangan. Selain Juventus dan Milan, klub-klub seperti juga tak kalah pesonanya bagi para pesepakbola. Jadi bisa dikatakan, kalaupun tak bisa ke Milan, masih ada Juventus, Lazio, AS Roma, Parma, Inter Milan dan Fiorentina. Pokoknya di Serie A.

Penggemar sepak bola kala itu juga lebih mengenal nama-nama pemain Serie A, apalagi nama-nama ‘pemain lokal’ Italia sendiri memiliki ciri khas nama yang mudah dibaca dan mudah diingat, dan ciri khas mereka yang lain adalah, tampang mereka ganteng. Diakui atau tidak, itu juga merupakan daya tarik tersendiri, mengingat penggemar sepak bola tidak hanya kaum laki-laki, tapi juga perempuan.

Klub-klub top liga lain seperti Manchester United, Arsenal, Blackburn Rovers, Bayern Munchen, Borussia Dortmund, Real Madrid atau Barcelona bukan tak kebagian bintang saat itu, tapi penggemar sepak bola saat itu lebih familiar dengan nama-nama yang berada di klub Serie A (khususnya untuk klub-klub papan atas). Ada Eric Cantona dan Andrey Kanchielskis di MU, David Ginola di Newcastle, Alan Shearer yang bersinar bersama Blackburn Rovers, Hristo Stoichkov di Barcelona dan lain-lain. Tapi pesona Serie A membuat bintang-bintang itu hanya terkenal di lembar-lembar berita, sedang bintang Serie A lalu lalang di layar kaca setiap awal pekan dan dikenal lebih banyak penggemar.

Sejak kasus Calciopoli yang menggegerkan yang melibatkan beberapa klub top Serie A, pamor mereka yang cemerlang itu perlahan (kalau tak boleh dikatakan seketika) padam. Selera berubah mengikuti perkembang sepak bola itu sendiri. Pamor itu sudah pergi dari ranah Serie A. Kini, Serie A tak ubahnya dulu ketika sebuah TV swasta mencoba menyuguhkan tayangan Liga Belanda. Bisa diistilahkan, apa yang menarik?

Pemain top kini bertebaran di klub-klub di luar Serie A. Pesepakbola masa kini memimpikan Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Arsenal, Manchester City atau Bayern Munchen. Bukan Milan, bukan Juventus, apalagi Parma yang sekarang (kabarnya) bangkrut.

Tahun 90 an teknologi informasi belum secanggih sekarang. Informasi (untuk orang umum dan terutama awam) terbatas hanya dari televisi atau koran. Serie A berserta semua berita dan ceritanya memenuhi sarana informasi yang ada, membuatnya ibarat menguasai dunia, tapi di jaman teknologi serba canggih dan informasi bisa menyebar dalam sekejap secepat racun menjalari aliran darah Serie A kehilangan berita dan cerita untuk kembali ‘menjangkiti’ warna-warni dunia sepak bola. Mereka seperti tertinggal di masa lalu beserta ceritanya. Milan misalnya, mereka pernah punya kenangan manis di bulan Mei 1994 ketika mereka ( yang saat itu dipenuhi bintang dan mendapat julukan The Dream Team ) dengan telak mengalahkan Barcelona 4 – 0 di Athena dalam Final Piala Champions. Saat itu pamor Barcelona bukan apa-apa dibanding pamor Serie A dan Milan itu sendiri. Keadaan yang entah bagaimana andai kata final itu (misalnya) terjadi hari ini, saat kejayaan cerita Serie A dan klub-klubnya tinggal cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun