SELAMAT HARI SATWA
Hari ini (5/11), secara nasional memperingati hari cinta puspa dan satwa. Satu hari, yang didedikasikan secara khusus untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan dan rasa cinta kepada satwa khas Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah “Sudah kah kita peduli, melindungi dan memiliki rasa cinta terhadap satwa?”. Pertanyaan mendasar terkait dengan kepedulian, perlindungan dan rasa cinta terhadap satwa sudah selayaknya dilontarkan, kenapa demikian? Secara kasat mata, satwa-satwa yang terdapat di muka bumi ini sedikit banyak mengalami berbagai persoalan. Tentunya persoalan tersebut menyangkut hak-hak hidup mereka seperti layaknya manusia. Tingkat keterancaman habitat tempat mereka tinggal berupa hutan dan populasi mereka semakin menurun, semakin punah, semakin terancam, semakin langka bahkan tinggal kenangan, akibat berbagai aktivitas manusia. Nasib mereka dari hari ke hari semakin memprihatinkan dengan semakin seringnya konflik manusia vs satwa. Kepedulian, perlindungan serta rasa cinta terhadap satwa telah di mulai sejak tahun 1993, hal ini ditunjukkan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap puspa dan satwa. Dengan demikian sudah berlangsung selama 22 tahun sampai saat ini. Berbagai cara telah banyak dilakukan oleh kawan-kawan lingkungan yang peduli terhadap satwa yang dilindungi, namun kepedulian ini belum sepenuhnya mendapat dukungan dari berbagai pihak, tetapi nyatanya sangat ironis.
Kepedulian bersama terhadap satwa dilindungi yang menjadi dasar kepeduliaan, cinta terhadap satwa dilindungi cenderung semakin terabaikan khususnya dalam tindakan nyata. Hal lainnya yang mendasari semakin memperparah terancamnya satwa dan hutan di sebabkan oleh ketamakan manusia. Tidak jarang, bahwa yang selalu menjadi korban adalah satwa-satwa dilindungi dan hutan yang juga sebagai tempat berpijak bagi seluruh kehidupan di bumi semakin hari semakin terkikis dan kritis akibat adanya penebangan liar, mudahnya izin pembukaan lahan kelapa sawit, bahkan adanya kebakaran hutan besar-besaran secara nasional yang telah terjadi beberapa belakangan ini membuat kehidupan satwa semakin memprihatinkan keberadaannya. Selain itu, tingkat keterancaman habitat dan populasi satwa seperti orangutan, harimau, trenggiling, jenis-jenis burung dan satwa-satwa dilindungi lainnya akibat perburuan liar dan pemeliharaan serta masih lemahnya penanganan kasus-kasus terkait kejahatan terhadap satwa. Sebagai contohnya berdasarkan data yang pernah saya baca sebelumnya baik media cetak maupun online, sungguh tragis nasib raja hutan di rimba Sumatera. Bagai buah si malakama, hewan yang nyaris punah ini dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Bertahan dalam hutan yang penuh asap, kering, dan semakin sempit, atau keluar kawasan menghadapi manusia dengan ancaman senapan dan pembantaian.
Panther Tigris Sumatrae, merupakan harimau endemik Indonesia yang masuk klasifikasi satwa kritis, terancam punah. Berdasarkan data dari WWF, populasi Harimau Sumatera di alam liar tinggal sekira 400 ekor saja. Untuk menjaga kelestariannya, pemerintah melindunginya lewat undang-undang. Artinya, di manapun dia berada, baik di hutan atau masuk perkampungan, keselamatannya tetap harus dilindungi, tidak boleh dibunuh. Ironisnya yang membuat saya semakin nelangsa, kondisi di lapangan bertolak belakang. Nilai ekonomis yang tinggi membuat Harimau Sumatera semakin diburu. Sementara perlindungan dari pemerintah kurang maksimal. Di wilayah Sumatera Selatan, dalam dua bulan terakhir saja sedikitnya dua harimau sumatera ditembak mati. Habitat mereka rusak parah, hutan semakin gundul, ditambah kemarau panjang yang membuat persediaan air di belantara sulit didapat. Kebakaran lahan akhir-akhir ini juga membuat satwa di kawasan hutan, kelimpungan. Seperti yang terjadi di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo, Kabupaten Empat Lawan, Sumatera Selatan. Guna menyelamatkan hidup, seekor harimau jantan terpaksa keluar dari sarangnya, mencari sumber air terdekat. Naasnya, harimau yang kehausan itu masuk perangkap babi di belakang rumah warga, Kamis 10 Oktober 2015 sekira pukul 00.30 WIB. Sekira 10 jam terperangkap, harimau kelaparan itu semakin tak berdaya dan lemas. Warga sekitar dan aparat kepolisian setempat yang mengetahui kejadian itu, bukannya memberikan pertolongan, malah menembak harimau tersebut. Empat butir peluru menembus kepala, perut, badan, dan punggung Sang Raja. Seharusnya, harimau itu masih bisa diselamatkan, apalagi dalam kondisi yang kelaparan dan kelemahan. Bukan alasan tepat menembaknya karena keamanan. Bodohnya lagi, mayat harimau tersebut dijadikan objek foto selfie masyarakat sekitar.
Bahkan ada oknum dengan memegang senjata laras panjang terlihat bangga berpose menodongkan senjata ke arah harimau. Bukankah hal ini jelas pelanggaran, hak asasi hewan? Proses evakuasi juga terkesan lamban, jasad harimau baru diotopsi dua hari setelah kejadian dengan kondisi telah membusuk dan dikuburkan di Kawasan BKSDA Seksi II Kabupaten Lahat. Hal serupa juga terjadi di Hutan Rabang Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin. Harimau dewasa kembali ditembak mati karena keluar dari habitatnya yang terbakar. Kemudian kejadian di Hutan Lindung Gunung Dempo Kota Pagar Alam, kebakaran lahan yang terjadi beberapa minggu lalu, membuat satwa liar di dalamnya lari ke perkampungan. Bukan hanya harimau, babi hutan, rusa, dan sejumlah hewan liar lainnya melarikan diri turun gunung, mendekati perkampungan warga. Namunkabar baiknya, tidak berakhir kematian satwa tersebut, warga dan pemerintah setempat segera melakukan tindakan untuk menghindari konflik harimau dengan manusia. Satwa kembali masuk hutan, setelah dilakukan pemadaman.
Bagi saya, serangkaian insiden ini membuktikan keteledoran dan rendahnya perlindungan terhadap satwa dan flora oleh pemerintah dimana tempat hidup satwa dibabat habis, bukan salah mereka kalau lari ke perkampungan. Belum lagi tentang pro dan kontra tentang pengkonsumsian hewan peliharaan anjing. Kota-kota besar seperti Solo, Jakarta, Yogya dan Manado marak dengan pemotongan hewan yang biasa dikenal dengan sahabat manusia. Memang binatang cerdas yang biasa dijadikan anjing penjaga rumah dan membantu polisi dalam menangani tindakan kriminal bukan termasuk hewan yang langka seperti harimau, orang utan dan binatang langka lainnya. Namun, yang dijadikan persoalan adalah binatang setia ini dipotong dengan cara sadis dan tidak berperi kemanusiaan. Mereka diikat dalam karung, dengan mulut terikat dan batok kepala mereka dihajar dengan balok kayu tebal atau ditenggelamkan dandibakar langsung. Bagi saya, apakah hal ini pantas diperlakukan bagi hewan yang dikenal setia dan berani mati bagi majikannya? Sangatlah arif bahwa tidaklah cukup hanya menjagorkan cinta puspa dan satwa saja. Tetapi, harus ada kerja nyata untuk itu. Sudah banyak satwa di Indonesia yang masuk dalam daftar satwa dilindungi karena kelangkaanya, yang melindungi itu tidak hanya peraturan saja, melainkan seluruh manusia Indonesia keseluruhan juga yang melindungi. Hutan, tumbuh-tumbuhan dan satwa merupakan satu kesatuan makluk hidup yang tidak dapat terpisahkan di bumi ini. Selain itu, keterlibatan semua pihak untuk menumbuhkan rasa cinta, peduli dan melindungi harus ada dan kesadaran untuk saling mendukung tetap terjaga dan lestarinya satwa dan lingkungan secara berkelanjutan. Sebagai mahluk yang beradi luhung, marilah kita semua dimulai dari hal terkecil dari lingkungan sekitar kita dahulu, misalnya dengan rajin menyiram tanaman-tanaman di pekarangan rumah dan menyayangi hewan peliharaan yang ada di tempat tinggal kita.
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H