Bicara tentang kurikulum di Indonesia tidak akan lepas dengan kaitannya bagaimana cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan . Kita ketahui bahwa perubahan kurikulum sudah berkali-kali mengalami perubahan dari sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, hingga sekarang masih istiqomah dengan penerapan Kurikulum 2013, perubahan ini tentu di maksudkan agar pendidikan di Indonesia semakin baik dengan selalu melakukan inovasi menuju penyempurnaan kurikulum yang pastinya sudah menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dari masa ke masa, namun melihat realita sekarang dimana kita sudah tiga bulan hidup berdampingan dengan covid-19, membuat perilaku kehidupan dipaksa untuk berubah.
Dari yang semula leluasa beraktivitas dan berinteraksi sosial, menjadi harus beradaptasi dengan kebiasaan di rumah saja, menjaga jarak, wajib memakai masker, dan berperilaku hidup bersih. Semua dilakukan dengan siaga dan hati-hati, jika ditanya kapan berakhirnya? Maka jawabannya pun akan serentak, bahwa pandemi ini masih menjadi tanda tanya besar bahkan penuh ketidakpastian kapan berakhirnya.
Inilah yang membuat istilah “New Normal” terus digaungkan di berbagai media massa .
New Normal Era atau kehidupan normal yang baru, memiliki makna bahwa kita dapat beraktivitas secara normal seperti sebelum dilanda Covid-19, namun tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Kita harus siap siaga untuk menghadapi era normal baru, yang pastinya akan sangat berbeda dengan normal sebelumnya.
Dari yang awalnya bebas berinteraksi dengan orang, sekarang kita harus mematuhi protokol kesehatan dimanapun dan kapanpun. tentu normal saat ini memiliki nuansa dan arti yang sangat berbeda, bahkan tak dapat dipungkiri bahwa sangat mempengaruhi semua aktivitas dan sektor kehidupan masyarakat, terlebih-lebih selain perekonomian yang menjadi sorotan semua negara, yang bukan hanya menjadi momok bagi indonesia, ialah tentang keberlangsungan“ Dunia Pendidikan” pada saat masa pandemi, karena pendidikan merupakan rahim yang menetaskan para generasi cendikiawan yakni generasi emas berikutnya, sehingga mau tak mau menjadi bahasan tanpa henti para pakar pendidikan mengenai hal tersebut.
Sehingga dalam masa darurat muncullah istilah “Belajar dari Rumah” atau Learning From Home, yakni Kebijakan Pemerintah yang disampaikan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kita dipaksa untuk mampu beradaptasi dan bergerak cepat, menyesuaikan tantangan zaman, serta memaksimalkan kreativitas dan teknologi, bahkan banyak lembaga beralih fungsi dengan membangun ekosistem pendidikan berbasis teknologi, yang tiba-tiba beralih mentransfer ilmu dan bersahabat karib dengan aplikasi seperti Zoom, Google Classroom, Webex, Google meet, Whatsapp , dan lain sebagainya, dengan harapan ditengah-tengah pandemi yang berlangsung tak mengikis dan menelan dunia pendidikan akibat covid-19 yang menciptakan jarak sosial antar sesama.
Namun demikian, tak semua harapan selalu berjalan dengan lancar dan sesuai dengan keinginan karena ternyata masih banyak pula kendala dalam penerapannya, pasalnya banyak polemik yang menghantui selama penerapannya, yakni keterbatasan koneksi internet dan perangkat penunjangnya di sejumlah daerah yang masih bisa terbilang “plosok”, serta guru yang masih butuh peningkatan kompetensi dan keterampilan dalam IT, adalah sebagian dari kendala yang juga urgen dalam pendidikan kita yang perlu diperhatikan. Kenyataan ini begitu rumit sehingga kita butuh suatu kenormalan baru dengan secercah harapan dimana pendidikan tetap berjalan walau pandemi masih memeluk negara kita.
“New Normal Era” menjadi trending topic dalam berbagai media masa, banyak tuntutan kebijakan dan kekhawatiran yang melebur menjadi satu dalam penerapannya, diantaranya banyak orientasi publik pakar pendidikan yang menelisik keberlangsungan kurikulum dalam pembelajaran yang acap terlalu berat dilaksanakan pada masa pandemi ini, sehingga banyak desakan agar diadakan perubahan kurikulum, contoh kongkritnya Desakan disampaikan para pemangku kepentingan yang dihubungi secara terpisah pada akhir pekan lalu hingga Senin (8/6/2020). “Pada pandemi sekarang, sekolah memerlukan kurikulum yang lebih sederhana, membumi, dan sesuai kebutuhan serta keadaan siswa, para guru, dan orangtua”.
Dimana Kurikulum 2013 sebagai acuan pendidikan di Indonesia selama ini dinilai sudah tidak memadai untuk masa pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah didesak agar segera mengembangkan kurikulum baru yang lebih sesuai dengan kondisi, siswa, guru, dan sekolah saat masa darurat kesehatan sekarang.
Hal serupa juga di sampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi yang menilai materi kurikulum saat ini masih terlalu padat sehingga sulit diterapkan untuk pembelajaran dari rumah di era pandemi.
Perlu disusun kurikulum yang lebih praktis dan aplikatif. Target pembelajaran diatur menjadi lebih rasional.”Masa pandemi ini momentum tepat untuk mentransformasikan hal-hal besar dan mendasar terhadap kurikulum pendidikan yang sebelumnya padat konten menjadi padat literasi dan numerasi,” ujarnya.
Menurut Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti, kurikulum 2013 harus disederhanakan menjadi kurikulum darurat kesehatan. Caranya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memilih dan memilah kompetensi dasar mana saja yang penting diberikan.
”Bahkan Ketika normal baru nanti, anak-anak belajar bergantian, sistem sif demi jaga jarak, tidak ada jam istirahat, jam tatap muka diperpendek, dan sebagainya. Kalau jam belajar saja dipersingkat, kurikulumnya juga harus menyesuaikan, misalnya untuk SD dari 60 kompetensi dasar dapat dikurangi menjadi 30 kompetensi dasar,” kata Retno.
Hal ini juga menjadi dilema publik untuk menerapkan sistem New Normal dengan kurikulum yang sempurna, dimana real dan fakta dilapangan tidaklah masuk dalam kriteia normal pada masa sebelum covid-19, sehingga memang perlu adanya pembenahan kurikulum yang sesuai untuk diterapkan pada masa pandemi ini.
Yang akhirnya Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Iwan Syahril, mengatakan bahwa sekolah tidak perlu memaksakan untuk menuntaskan kurikulum dalam tahun ajaran baru ke depan. Iwan mengungkap masih ada kekhawatiran sekolah tentang tuntutan kurikulum yang mungkin dirasa harus dilaksanakan atau dituntaskan meski situasi belajar mengajar terganggu pandemi covid-19.
"Masih ada semacam beban mental untuk menghabiskan atau menuntaskan kurikulum. Ini yang mungkin menjadi sebuah catatan, bahwa kurikulum tidak perlu dituntaskan.Yang paling penting adalah bagaimana ada progres dari setiap anak sesuai dengan dimana dia berada," ujar Iwan dalam Bincang Pendidikan dan Kebudayaan secara daring, Selasa (16/6/2020).
Hal inipun menjadi respon positif bagi publik bahwa walau pembelajaran tetap berlangsung namun ada penyederhanaan kurikulum yang dilakukan dalam konteks pembelajaran nanti, Sehingga hal inipun tak menjadi kegelisahan sekolah terutama pendidik yang mempunyai tanggungan dalam tuntasnya penyampain materi berdasarkan tuntutan kurikulum. Penyederhanaan kurikulum tersebut merupakan langkah tepat, kongkrit dan proaktif dalam menyikapi pembelajaran peserta didik dalam masa kungkungan pandemi covid-19.
Walau Mendikbud Nadiem Makarim resmi memutuskan digelarnya kembali sekolah tatap muka pada masa New Normal, Khusus Zona Hijau, namun ini masih memiliki syarat, apa saja syaratnya? hal itu bisa dilakukan apabila syarat-syarat tertentu di penuhi oleh Pemerintah Daerah atau Kanwil Kementerian Agama dengan izin Satuan pendidikan tersebut siap menerapkan belajar tatap muka dengan ketentuan Orang tua memberi izin untuk belajar tatap muka.
Sedangkan proses belajar tatap muka pun dimulai secara bertahap/Perjenjang, bahkan ruang kelas hanya diisi 50%, pembelajaran dengan dua sistem shift, jam belajar sekolah dibuat lebih singkat, anak-anak harus lebih hati-hati dalam berinteraksi, sekolah menyiapkan fasilitas penunjang protokol kesehatan dan lain sebagainya.
Untuk sejauh ini mayoritas lembaga pendidikan masih belum merasa siap dengan adanya program pembelajaran tatap muka kecuali Pondok Pesantren (itupun dengan monitor yang juga ketat sesuai anjuran pemerintah dan tak lepas dari protokol kesehatan), selain persiapan alat yang sesuai dengan protokol kesehatan yang minim terpenuhi khususnya daerah terpencil, pertimbangan lain adalah takut menjadi bibit baru berkembangnya persebaran covid-19, melihat pesebaran zona hijau di Indonesia masih dikategorikan minim untuk diterapkan kelas tatap muka, khusunya untuk daerah zona hijau.
Harapan lanjut dari semua orang, pasti prioritas terpenting dari “New Normal” adalah keamanan, kesehatan, dan keselamatan. Saat ini memang belum diputuskan kapan kepastian anak-anak akan masuk sekolah.
Para pengambil kebijakan pun harus memutuskan sesuatu yang bisa menyelamatkan jiwa pelaku pendidikan, yakni guru dan siswa, karena terkait masa depan generasi bangsa. Kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi New Normal Era, harus dibuat secara cermat dan hati-hati. Hak anak harus menjadi prioritas, yakni hak mendapatkan pendidikan secara penuh, aman, dan sehat. Anak merupakan aset bangsa, pembaharu yang sangat berharga, harapan dan masa depan bangsa ada di tangan mereka.
Semoga pandemi ini segera berakhir dan mampu meninggalkan catatan dan kisah perjuangan yang baik dalam perjalanan transformasi pendidikan kita . Semoga generasi penerus bangsa segera mendapatkan pendidikan yang berkualitas secara maksimal sehingga mampu menjawab tantangan di masa kini dan masa depan, namun tetap perlu didampingi dengan inovasi, kreasi, kolaborasi, komunikasi, dan evaluasi untuk mencetak SDM yang Unggul lahir wa batiniahnya.
Oleh : Kholilatul Izzah
Mahasiswi Pasca Sarjana IAIN Jember
PP.Bahrul Ulum Tangsil Kulon Bondowoso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H