Perlu disusun kurikulum yang lebih praktis dan aplikatif. Target pembelajaran diatur menjadi lebih rasional.”Masa pandemi ini momentum tepat untuk mentransformasikan hal-hal besar dan mendasar terhadap kurikulum pendidikan yang sebelumnya padat konten menjadi padat literasi dan numerasi,” ujarnya.
Menurut Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti, kurikulum 2013 harus disederhanakan menjadi kurikulum darurat kesehatan. Caranya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memilih dan memilah kompetensi dasar mana saja yang penting diberikan.
”Bahkan Ketika normal baru nanti, anak-anak belajar bergantian, sistem sif demi jaga jarak, tidak ada jam istirahat, jam tatap muka diperpendek, dan sebagainya. Kalau jam belajar saja dipersingkat, kurikulumnya juga harus menyesuaikan, misalnya untuk SD dari 60 kompetensi dasar dapat dikurangi menjadi 30 kompetensi dasar,” kata Retno.
Hal ini juga menjadi dilema publik untuk menerapkan sistem New Normal dengan kurikulum yang sempurna, dimana real dan fakta dilapangan tidaklah masuk dalam kriteia normal pada masa sebelum covid-19, sehingga memang perlu adanya pembenahan kurikulum yang sesuai untuk diterapkan pada masa pandemi ini.
Yang akhirnya Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Iwan Syahril, mengatakan bahwa sekolah tidak perlu memaksakan untuk menuntaskan kurikulum dalam tahun ajaran baru ke depan. Iwan mengungkap masih ada kekhawatiran sekolah tentang tuntutan kurikulum yang mungkin dirasa harus dilaksanakan atau dituntaskan meski situasi belajar mengajar terganggu pandemi covid-19.
"Masih ada semacam beban mental untuk menghabiskan atau menuntaskan kurikulum. Ini yang mungkin menjadi sebuah catatan, bahwa kurikulum tidak perlu dituntaskan.Yang paling penting adalah bagaimana ada progres dari setiap anak sesuai dengan dimana dia berada," ujar Iwan dalam Bincang Pendidikan dan Kebudayaan secara daring, Selasa (16/6/2020).
Hal inipun menjadi respon positif bagi publik bahwa walau pembelajaran tetap berlangsung namun ada penyederhanaan kurikulum yang dilakukan dalam konteks pembelajaran nanti, Sehingga hal inipun tak menjadi kegelisahan sekolah terutama pendidik yang mempunyai tanggungan dalam tuntasnya penyampain materi berdasarkan tuntutan kurikulum. Penyederhanaan kurikulum tersebut merupakan langkah tepat, kongkrit dan proaktif dalam menyikapi pembelajaran peserta didik dalam masa kungkungan pandemi covid-19.
Walau Mendikbud Nadiem Makarim resmi memutuskan digelarnya kembali sekolah tatap muka pada masa New Normal, Khusus Zona Hijau, namun ini masih memiliki syarat, apa saja syaratnya? hal itu bisa dilakukan apabila syarat-syarat tertentu di penuhi oleh Pemerintah Daerah atau Kanwil Kementerian Agama dengan izin Satuan pendidikan tersebut siap menerapkan belajar tatap muka dengan ketentuan Orang tua memberi izin untuk belajar tatap muka.
Sedangkan proses belajar tatap muka pun dimulai secara bertahap/Perjenjang, bahkan ruang kelas hanya diisi 50%, pembelajaran dengan dua sistem shift, jam belajar sekolah dibuat lebih singkat, anak-anak harus lebih hati-hati dalam berinteraksi, sekolah menyiapkan fasilitas penunjang protokol kesehatan dan lain sebagainya.
Untuk sejauh ini mayoritas lembaga pendidikan masih belum merasa siap dengan adanya program pembelajaran tatap muka kecuali Pondok Pesantren (itupun dengan monitor yang juga ketat sesuai anjuran pemerintah dan tak lepas dari protokol kesehatan), selain persiapan alat yang sesuai dengan protokol kesehatan yang minim terpenuhi khususnya daerah terpencil, pertimbangan lain adalah takut menjadi bibit baru berkembangnya persebaran covid-19, melihat pesebaran zona hijau di Indonesia masih dikategorikan minim untuk diterapkan kelas tatap muka, khusunya untuk daerah zona hijau.
Harapan lanjut dari semua orang, pasti prioritas terpenting dari “New Normal” adalah keamanan, kesehatan, dan keselamatan. Saat ini memang belum diputuskan kapan kepastian anak-anak akan masuk sekolah.