Abdullah Sidiq Notonegoro, Aktivis Muhammadiyah
Bertempat di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir --- Bersama Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti --- menerima kunjungan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (akrab di sapa Gus Yahya) --- yang juga didampingi Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) dan sekaligus Ketua Pelaksana Forum Religion of Twenty (R20) Ahmad Suaedy, Minggu (4/9/2022).
Mengutip dari rilis resmi PP Muhammadiyah, Gus Yahya mengatakan bahwa ada 2 (dua) hal yang disampaikan dalam silaturahmi itu. Pertama, Gus Yahya menyampaikan mohon doa restu karena ini kali pertama berkesempatan sowan sejak sesudah Muktamar (ke-34 NU 2021.pen).  Sekaligus untuk membahas potensi ta’awun antar kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Kedua, berharap adanya kerjasama yang kian erat antara PP Muhammadiyah dan PBNU, termasuk kemungkinan kerja sama antar kelembagaan dalam mengakses berbagai masalah di tengah masyarakat.
Silaturahmi PBNU ke PP Muhammadiyah, tentu tidak bermisi basa-basi. Terlebih lagi, pada bulan Nopember mendatang Muhammadiyah sedang menghadapi gawe besar berupa Muktamar ke-48 di Surakarta. Tentu ada misi yang substantif dan strategis, yang salah satu diantarannya terpesankan dengan gamblang bahwa berharap ada kerjasama antar kelembagaan dalam mengakses berbagai persoalan di tengah masyarakat.
Secara internal, Muhammadiyah-NU masih menghadapi problem radikalisme-ekslusivisme yang meracuni kehidupan umat. Pengaruh paham-paham Islam minoritas kaku dan beku sedikit banyak mendegradasi energi paham islam moderat, inklusif dan toleran. Karena itu, tidak berlebihan bila pada kesempatan itu Haedar Nashir menyampaikan bahwa kerja-kerja pencerdasan, pencerahan dan pemberdayaan menjadi sangat penting. Ukhuwah wasathiyah pun perlu lebih diperluas dan ditingkatkan kualitasnya dalam konteks kebangsaan.
Sedang secara eksternal, berbagai faktor penyulut sikap dan tindakan radikalistik-intoleran juga disebabkan oleh sejumlah kebijakan pemerintah kurang humanis dan tepat. Radikalisme dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang bersifat multidimensi. Baik itu dimensi teologis, politis, maupun alasan-alasan yang lebih pragmatis akibat ketidak-adilan --- sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan --- yang dilakukan pemerintah (Abdul Mu’ti, 2019).
Karena itu, satu pesan untuk seluruh elit bangsa, jangan pernah bermimpi untuk merawat Indonesia dengan tanpa menjadikan Muhammadiyah dan NU sebagai kekuatan utama. Sumbangsih Muhammadiyah dan NU untuk negeri ini, jika dinilai sebagai hutang, harus diyakini bahwa tidak akan mampu terbayarkan. Jumlah lembaga filantropi Muhammadiyah dan NU, diakui atau tidak, belum dapat tersaingi oleh kekuatan mana pun di negeri ini. Termasuk kekuatan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H