[caption id="attachment_116479" align="alignleft" width="448" caption="Ilustrasi: Sengketa lahan masyarakat dan areal Kebun Sawit milik perusahaan. Foto. Dok.KPA "][/caption] Bagi sebagian petani, hidup dalam penjara ternyata tidak membuatnya jera. Bahkan sebaliknya, penjara itu justru dimaknai sebagai tempat sekolah yang dapat membina mental dan keberanian petani. Demikianlah anggapan Tumino, Ketua Kelompok Tani Karya Lestari di Desa Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuan Batu, Sumatera Utara.
Pada tahun 2006, bapak dari tiga anak ini memang pernah ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara LP Rantauprapat, Kabupaten Labuan Batu. Ia dihukum selama 1 tahun 2 bulan, setelah pengadilan negeri menjatuhkan vonis bersalah kepada Tumino yang dituduh telah melakukan pengrusakan dan menebang tanaman sawit milik PT. Sawita Ledong Jaya.
Padahal, kata Tumino, sebenarnya perusahaan itulah yang merusak dan merampas tanah perkebunan milik masyarakat. Karena, sebelum perusahaan itu datang ke desanya, tanah-tanah yang saat ini dijadikan areal perkebunan sawit PT. Sawita Ledong Jaya, sudah dikelola oleh warga secara turun-temurun.
“Saya orang Jawa yang lahir di Sumatera. Saya generasi ketiga. Sejak saya menikah dengan istri saya, istri saya sudah mengelola tanah dan lahan-lahan di Desa Sukarame,” tutur pria kelahiran 15 Desember 1970 itu.
[caption id="attachment_116485" align="alignright" width="391" caption="Tumino, Ketua Kelompok Tani Karya Lestari Desa Sukarame, Kec.Kualuh Hulu, Kab.Labuan Batu, Sumatera Utara, saat datang ke KPA, Senin (13/6/2011). Foto.dok.KPA"][/caption] Karena itu, ketika PT. Sawita Ledong Jaya datang ke desanya, pertengahan tahun 1996 dan mengklaim telah mendapat surat ijin prinsip dari Bupati untuk mengelola lahan yang sudah dikelola oleh warga, para petani pun diusir. Warga pun menolak pergi karena merasa sudah mengelola tanah itu sejak lama.
Akhibatnya, adanya perlawanan dari warga itulah, konflik pun berkepanjangan dan memaksa Ketua Kelompok Tani Karya Lestari, Tumino terpaksa harus mendekam dalam penjara setelah perusahaanitu melaporkan bahwa dirinya telah melakukan pengrusakan lahan.
“Banyak yang saya dapat dari penjara. Salah satunya, keberanian yang tidak pernah saya peroleh di luar penjara. Prinsipnya, saya benar. Saya di penjara karena berjuang untuk merebut hak saya sebagai petani agar dapat mendapatkan lahan saya kembali,” tegasnya saat datang ke Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Senin (13/6/2011) kemarin.
Kedatangan Tumino ke KPA, tidak lain hanya sekadar menggalang solidaritas dari lembaga-lembaga yang konsen dalam menangani konflik dan persoalan agraria yang sedang dihadapi oleh kaum tani. Ia berharap, KPA dapat membantunya dalam penyelesaian konflik yang sedang dihadapi warga di kampungnya. Ia datang ke Jakarta, mewakili 106 Kepala Keluarga (KK) yang tergabung dalam Kelompok Tani Karya Lestari.
Diduga Ilegal Berdasarkan penelusuran dokumen-dokumen yang ada, layak diduga kuat, kedudukan hukum PT. Sawita Ledong Jaya sebenarnya "ilegal" dan melanggar hukum. Awalnya, PT. Sawita Leidong Jaya mendapatkan izin prinsip atas lahan seluas +/- 6.500 hektar pada kawasan Hutan Register 4 KL (Kawasan Lindung) sesuai dengan Surat 593/4310/TIB/1996 tanggal 5 Juli 1996. Atas dasar izin prinsip tersebut, maka dikeluarkanlah izin lokasi dari BPN dan Pemerintah daerah untuk melakukan pembukaan lahan yang menurut RTRW merupakan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Namun, izin prinsip itu sudah dinyatakan berakhir sejak tanggal 19 april 1999. Bahkan berdasarkan hasil temuan KPA, Badan Planologi Kehutanan Jakarta pada tahun 2005, pernah mengirim surat teguran kepada Bupati Labuhan Batu yang telah mengeluarkan izin prinsip pada PT. Sawita Leidong Jaya di lokasi Hutan Lindung dan konservasi. Berdasarkan surat itu, secara jelas Badan Planologi Kehutanan menyatakan bahwa izin lokasi yang diberikan oleh Bupati telah melanggar UU 41/1999 tentang Kehutanan pasal 50 jo 78. Selain itu, masih menurut surat dari Bandan Planologi Kehutanan, pemberian izin lokasi PT. Sawita Ledong Jaya ternyata juga dianggap bertentangan dengan SKB menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No. 23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Namun, itulah hukum dan peraturan. Faktanya, toh perusahaan itu tetap masih beroprasi hingga sakarang. Sekalipun masih tetap ada perlawanan dan penentangan dari warga masyarakat disekitar kawasan tersebut. Keberadaan Tanah Masyarakat Tak dapat dipungkiri, berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Utara tahun 1996, tanah garapan masyarakat tersebut memang berada dalam Hutan Register 4 KL (Kawasan Hutan Lindung). Namun, meskipun sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung, desa Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu berikut tanah garapan masyarakatnya, tetap dapat disebut sebagai wilayah desa definitif yang dilindungi oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, jika dilihat dari jenis tanama yang ditanam masyarakat desa tersebut adalah jenis tanaman keras, seperti, tanaman karet, buah-buahan, dan kelapa yang masih memenuhi kaidah tanaman hutan lindung. Sehingga secara prinsip, seharusnya masyarakat yang mengelola lahan di kawasan hutan tersebut harus dilindungi. Karena, ikut serta menjaga dan menafaatkan hutan untuk kesejahteraan hidup masyarakat. Sebagai solusi untuk mengatasi konflik lahan tersebut yang sudah memakan korban jiwa dan korban luka-luka di pihak petani, yaitu: Desman Sianipar (17 tahun) tewas setelah dibabat pedang oleh orang tak dikenal yang diduga orang-orang suruhan PT. Sawita Ledong Jaya, Manosor Sihombing, Hotlan Manurung, dan Anju Sianipar (luka parah dan menderita cacat permanen) karena serangan dalam konflik lahan tersebut, pihak kementrian kehutanan seharusnya mengambil peran aktif. Sebab, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.18/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No.P37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, secara jelas membolehkan kawasan hutan lindung dikelola oleh masyarakat dalam status Hutan Kemasyarakatan (HKM). Selain itu, jika pemerintah belum melakukan pengukuhan atas kawasan hutan lindung tersebut melalui proses tata batas, seyogyanya pemerintah mengeluarkan Desa Sukaramai dan areal perkebunan masyarakat tersebut dari kawasan hutan. Agar BPN bisa menerbitkan sertifikat hak milik atas nama masyarakat. Namun, semua itu tatap tergantung dari pemerintah. Apakah pemerintah bersedia menyelesaikan konflik tersebut atau tidak. Satu hal pasti, saat ini masyarakat di desa tersebut sangat membutuhkan tanah dan lahan garapan untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan menyambung hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H