Mohon tunggu...
Sidik Suhada
Sidik Suhada Mohon Tunggu... -

apa adanya aja lah, nating tulus......\r\n\r\nwww.sidiksuhada.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Perpres 36, di Mana Pemerintah Berpihak?

25 April 2011   18:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_105026" align="alignleft" width="259" caption="Suasana penggusuran di Jakarta, foto diambil dari google.com"][/caption] Ada ungkapan “pengalaman adalah guru terbaik”. Namun, sayang, tidak semua orang mau belajar dari pengalaman. Sehingga kerap kali orang-orang yang tidak bersedia secara sungguh-sunggu belajar dari pengalaman, jatuh dilubang yang sama.

Belajar dari pengalaman, ketika pemerintah menerbitkan Pera­turan Presiden (Per­pres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Preaturan Presiden No­mor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangu­nan untuk Kepentingan Umum. Ternyata justru semakin menjauhkan negara dengan rakyat.

Negara yang se­harusnya melindungi rakyat justru mengata­snamakan kepentingan umum untuk menggu­sur rakyat. Inikah yang diinginkan oleh pemerintah? Sehingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melahirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan? Silahkan pembaca renungkan sendiri.

Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melindungi kepentingan pengusaha dan modal asing, barang kali mungkin memang dianggap lebih penting daripada melindungi kepentingan rakyat yang dulu memilihnya. Buktinya, meskipun pemerintah telah menerbitkanPerpres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Peraturan Presiden Nomor 36/2005, toh semua itu dianggap belum cukup kuat untuk melindungi kepentingan investasi swasta. Sehinga, pemerintah merasa perlu membuat RUU Pengadaan Tanah untuk memberikan kepastian hukum pada pengusaha.

Hanya sekadar mengingatkan. Belajar dari pengalaman paska terbitnya Perpes No. 36 Tahun 2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006, kerap kali, proyek-proyek pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum justru melahirkan duka dan derita bagi rakyat.

Di Surabaya, Jawa Timur, beberapa tahun yang lalu, atas nama pembangunan untuk kepentingan umum, sedikitnya sekitar 5.000 keluarga yang tinggal di 16 Kelurahan Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo, terpaksa kehilangan rumah dan lapak-lapak tempat usahanya. Mereka digusur tanpa kompromi dan solusi.

Masih di kota pahlawan ini. Sekitar 3.000 warga disekitar proyek Jembatan Suramadu juga kehilangan tempat tinggalnya. Rumah-rumah mereka dihancurkan tanpa solusi yang menguntungkan rakyat kecil. Ada yang mendapat ganti rugi. Namun, tak sedikit jumlahnya yang digusur tanpa kompensasi karena dianggap tidak memiliki alat bukti kepemilikan sertifikat tanah. Data ini belum termasuk ribuan warga yang digusur karena proyek pembangunan jalan tol di daerah itu.

Fenomena maraknya penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan, tentu tidak hanya terjadi di Surabaya. Mereka yang tinggal di ibu kota pun tak luput dari penggusuran. Asian Human Rights Commission (AHRC), sebuah LSM di Jakarta, mencatat data korban penggusuran di kawasan Jakarta yang diakibatkan oleh proyek pembangunan (liat tabel).

[caption id="attachment_105022" align="alignnone" width="336" caption="Data korban penggusuran, sumber AHRC"][/caption] [caption id="attachment_105023" align="alignnone" width="370" caption="Data korban penggusuran di Jakarta paska terbitnya Perpres 36/2005, sumber UPC"]

1303752466176337434
1303752466176337434
[/caption]

Sementara berdasarkan data yang berhasil dihimpun Urban Poor Consortium (UPC), setelah terbitnya Perpres 36 Tahun 2005, korban penggusuran pembangunan infrastruktur juga terus mengalami peningkatan.

Begitu juga data yang dihimpun  oleh LBH Jakarta.  Paska terbitnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 36/2005, kasus penggusuran ternyata  juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, LBH Jakarta mencatat, ada 1.883 keluarga korban penggusuran. Tahun 2007 meningkat tajam menjadi 6.000 keluarga korban penggusuran di kawasan perkotaan.

Meningkatnya korban penggusuran ini jelas menunjukan bahwa pemerintah tidak dapat memberikan jaminan hidup pada rakyat miskin. Bahkan boleh dibilang, pemerintah justru menciptakan kemiskinan baru. Lantas, bagaimana jika RUU pengadaan Tanah disahkan?

Pertama, RUU Pengadaan Tanah ini sebenarnya bentuk penyempurnaan Peraturan Presiden No. 36/2005 yang direvisi menjadi No. 65/2006 tentang penyediaan tanah untuk pembangunan. Semangatnya sama, yakni untuk melegalkan penggusuran tanah-tanah rakyat yang berkedok pembanguan untuk kepentingan umum.

Sehingga tak dapat dipungkiri, jika RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini disahkan oleh DPR-RI, fenomena penggusuran tanah-tanah rakyat akan semakin marak terjadi di negeri ini. Kondisi seperti inikah yang diinginkan Pak BeYe? Silahkan pembaca menarik kesimpulan sendiri. Satu hal pasti, saat ini pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesarRp 4,9 triliun untuk pembebasan lahan (baca dana penggusuran) periode 2008-2013.

Kedua, jika RUU Pengadaan Tanah ini disahkan, konflik agraria dan sengketa tanah juga akan semakin meningkat. Pasalnya, hingga saat ini masih banyak tanah-tanah rakyat yang belum bersertifikat.

Berdasarkan data dari BPN, tanah rakyat yang bersetifikat saat ini baru 39 juta bidang dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang dikelola masyarakat di kawasan hutan dan tanah masyarakat adat). Artinya seitar 60 % belum terlindungi secara hukum.

Sehingga jika RUU itu disahkan, tentu berpotensi melahirkan konflik agrarian. Karena, sebagian besar tanah rakyat belum bersertifikat. Padahal, bukti kepemilikan sertifikat tanah itu yang akan dijadikan dasar ganti rugi.

Karena itu, DPR sebaiknya menghentikan pembahasan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang sangat berpotensi merugikan rakyat. Sebagai gantinya, DPR sebaiknya mendorong regulasi untuk mengatur penataan struktur agraria yang timpang, menyelesaikan konflik agraria, dan memastikan penguasaan dan pemilikan rakyat atas tanah. Seperti, membuat UU Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai operasional dari UUPA 1960.

Itu jika DPR peka terhadap persoalan rakyat. Sekali lagi, "jika."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun