Tan Malaka adalah salah satu tokoh pemikir Indonesia yang pemikirannya merusak tatanan berpikir masyarakat Indonesia pada masanya. Buku berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika adalah karya besar Tan Malaka yang menandai permulaan sekaligus perubahan dalam pola berpikir masyarakat secara radikal dan masif, menggugat mistisisme yang mengooptasi cara berpikir masyarakat, menggugat pengetahuan yang keliru dan diragukan, menggugat kolonialisme Belanda hingga pendukung kemedekaan 100% Indonesia tanpa syarat. Pemikirannya yang tajam dan kritis---kerap difitnahkan sebagai korban "Westernization"---benar-benar mengacaukan mistisisme, subordinatisme, tradisionalisme, romantisme, dan alienasisme masyarakat Indonesia yang kala itu hidup dalam kebodohan dan keterbatasan. Materialisme dialektis Tan Malaka memberikan kerangka filosofis dan saintifik yang relevan untuk digunakan dalam memindai sejarah produksi pengetahuan di Indonesia (Wibawanto, 2019). Madilog inilah inspirasi bagi kemajuan cara berpikir modernisme Indonesia, yang akan diselami lebih lanjut.
Mistisisme dan Peradaban Bangsa
      Sistem, seluruh ketetapan---sejatinya tidak ada yang tetap dalam dunia yang terus bergerak---yang tidak tergoyahkan, tidak terurai, tidak teruji, tidak tersentuh, bukanlah sistem apalagi ilmu pengetahuan, tapi sebuah "firman tuhan". Tidak ada ruang untuk sesuatu yang sakral, seperti firman tuhan, untuk diuji karena itu "suci" dan "surgawi", civitas terrena menguji kebenaran tuhan adalah wujud dari pembangkangan. Pemikiran tradisional dan norma-norma yang menjadi keyakinan publik yang tidak terbantahkan ini adalah kerangka-kerangka yang coba untuk didekonstruksi, bahkan didestruksi oleh Tan Malaka. Hal itu jelas ditunjukan oleh ia dalam bukunya, Madilog. Semua itu tidak lain sebagai wujud dari revolusi ilmu pengetahuan yang berbasis ilahiah nan mistik menjadi sesuatu yang empiris-ilmiah. Kalau sistem tidak bisa diperiksa kebenarannya dan tidak bisa dikritik, maka matilah ilmu alam itu (Malaka, 2019).
      Mistisisme, dalam cara pandang kegaiban dan kehalusan dunia kuno, menurut penulis adalah kemewahan zaman dulu yang terwariskan dengan baik. Cara pandangnya dalam memandang dunia yang lebih instrinsik dan ilahiah, yang kodratnya terhubungan dengan pencipta alam atau para dewa, atau bagian dari dewa-dewa itu sendiri, atau terpisah namun terikat oleh yang kuasa, memiliki nilai positif yang mampu menjaga alam dari kehancuran alam. Tuhan dan roh sendiri abadi, kuasa atas kehancuran. Terkuasa, artinya tidak takluk kepada hukum dan sifat yang mengenai zat, rohani tidak bisa berubah, tumbuh dan susut, sakit atau senang, hidup atau mati, bersih ataupun kotor (Malaka, 2019). Bandingkan sistem liberal-kapitalisme hari ini, dengan wujud-wujud pembebasan manusia dari belenggu tuhan dan norma-norma kemasyarakatan, yang kekuatannya ditopang oleh rasionalitas dan modal-modal (utamanya ekonomi). Perwujudan kombinasi keduanya adalah kehancuran alam dan manusia secara keseluruhan. Pada saat yang sama, mistisisme lenyap seiring cara pandang dunia positivistik ala Kantianisme, mendorong kehancuran dunia.
      Penulis tidak ada masalah dengan mistisisme, selama itu dijadikan referensi bukan kebenaran tunggal. Ketika itu menjadi kebenaran tunggal yang mempersekusi ekspresi dan kebebasan orang, maka Tan Malaka hadir di sana untuk menggugurkannya. Bayangkan, semua itu terjadi di tengah Indonesia sedang terpuruk akibat penjajahan, namun semua menunggu uluran tangan tuhan semata, seorang idealis yang mengharap terwujud bukan berusaha diwujudkan dengan tangan dan kakinya dibantu pikiran. Harahap (2020) menyebutnya "Philosophy of Eastern Realism", dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, umumnya Indonesia agraris sehingga sifat pemikirannya sangat sarat dengan mistisisme atau mitos, dan; Kedua, istilah "Timur" mewakili adat istiadat, budaya, agama, dan wilayah yang khas sehingga memerlukan proses akulturasi yang kuat terhadap setiap ide, pemikiran, dan adat istiadat yang berasal dari luar.
      Sayang, mistisisme yang hidup di masyarakat Indonesia kala itu, terlebih ketika sedang besar-besarnya dibutuhkan kesadaran untuk maju melawan kolonialisme dan imperialisme, justru tidak membuat kemajuan malah kemunduran yang membuat sejarah kolonialisme bertahan hingga kemerdekaan dan dilanjut pasca kemerdekaan melalui subordinatisme. Hal ini membuat gerah Tan Malaka dan mengkritik habis cara pandang yang ia pikir "melemahkan" semangat ini. Tan Malaka (2019) sendiri memberi solusi untuk melihat sesuatu secara inderawi, kendati an sich", tidak bisa ketahui.
      Pemikiran Tan Malaka dalam filsafat, misalnya, menentukan bahwa mistisisme sudah berakhir karena tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan atas keterlambatan manusia untuk maju. Alternatif dari hal itu adalah absolute idea, ide gagasan spiritual yang mencakup segalanya, dengan pikiran sebagai yang "nyata". Bagaimana sesuatu yang tidak "nyata" dapat masuk ke alam pikiran? Mereka akan berlabuh ke spiritualitas dan itu akan berlabuh pada keyakinan, bukan ilmu pengetahuan, mungkin cukup di pengetahuan. Absolute idea itu membuat sejarah dunia, masyarakat dan negara, absolute idea itu tergambar jelas dan pasti pada filsafat (Malaka, 2019). Akhirnya, falsafah ini jadi cara pandang terlaris dan masyhur.
Madilog, Madi, dan Gagasan
      Gugatan Tan Malaka dalam Madilog akhirnya berbuah pada kritikan-kritikan dan gagasan-gagasan yang sifatnya revolusioner, setidaknya untuk masanya. Perwujudan dari pemikiran Madilog ini menjadi sebuah sentilan yang menuntut wajah Indonesia dalam bernegara di masa depan. Sebagai contoh, republikanisme yang ditekankan oleh Tan Malaka hanya bisa efektif terwujud ketika rakyatnya sendiri sudah berkesadaran dan kritis. Namun, kenyataan yang terjadi pada masa itu, membuat Tan khawatir sehingga menuntut "republik" kepada negara dan tokoh bangsa untuk dicerdaskan sebelum Indonesia terbentuk menjadi Republik Indonesia. Bukti dedikasi Tan Malaka terpampang jelas dari pemikiran dan gerakannya yang tak tergoyahkan, kemerdekaan (Setiawan, Subaryana, & Lestari, 2024). Merdeka itu penting sebagai jalan menuju perubahan dan itu dimulai dengan politik. Gerakan republikanisme, merebut politik dari pemonopoli hegemon, adalah napas utama Madilog. Merebut kekuasaan politik, maka secara tidak langsung meruntuhkan hegemoni ekonomi yang dilakukan oleh imperialis kepada bangsa Indonesia (Samidi & Suharno, 2019).
      Namun, Tan sendiri bukanlah seorang chauvinis, melainkan seorang internasionalis tangguh yang telah berkelana ke berbagai negara, dengan nama samaran dan bahasa yang juga ia kuasai sepenuhnya. Pengalaman ini, membukan pandangannya tentang dunia. Tan Malaka berpikir tentang politik dengan cara "internasionalis", karena ia percaya bahwa politik tidak dapat dipahami semata-mata pada tingkat nasional (Crawford, 2018). Hal itu membuat kita begitu yakin bahwa gagasannya yang nampak nasionalistis, justru adalah cara pandang Hak Asasi Manusia (HAM) dewasa ini yang mendunia. Bahkan, alih-alih Nasakom Soekarno yang berakhir dengan tragedi, Tan Malaka sudah merefleksikan diri sebagai seorang Islam yang komunis dengan nadi nasionalis dengan raga yang internasionalis. Itu semua karena pendidikan hidup yang diterima dan jalani. Sekaligus kita paham, mengapa pendidikan penting bagi Tan.
      Lihat, betapa Tan Malaka sangat peduli dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana ia begitu mengkritik habis-habisan mistisisme sebab menutup kemungkinan orang untuk berusaha menyelesaikan persoalan di bumi, bukan di langit. Tidak heran, Tan Malaka, seorang guru di pojok peradaban bangsa Indonesia di tengah penjajahan bangsa pintar dan cerdas muncul sebagai kontradiksi dan penentang terhadap kemapanan yang bodoh. Ia dan Che Guevara hanya dibedakan dari jasadnya, sedangkan ide untuk misi mencerdaskan kehidupan bangsanya serupa. Baginya, pendidikan adalah pembebas bagi manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan perbedaan kelas-kelas (Rokhim, Rahmat, & Surahman, 2019).