Mohon tunggu...
Sidik Permana
Sidik Permana Mohon Tunggu... Editor - Freelance

Saya hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Semenanjung Korea dan Game Theory: Damai atau Hancur

9 September 2024   19:30 Diperbarui: 9 September 2024   20:10 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

            Semenanjung Korea adalah tempat eksotis yang rentan konflik. Wilayah yang membentang 1.100 km dari utara hingga ke selatan dengan 3.200 pulau dan luas total wilayah mencakup 223.098 km2, mempertemukan negara-negara raksasa seperti Tiongkok dan Rusia di utara, Jepang di timur, Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel), dan lainnya. Satu hal, kawasan ini merupakan arena unjuk gigi kekuatan dan kemasyhuran, dominasi sektoral, keamanan nasional, dan perebutan sumber daya antar negara.

            Semenanjung Korea akan terus mengingatkan kita pada konflik Korut dan Korsel, juga intervensi dominator negara asing, seperti cawe-cawe seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, dalam konflik dua negara sebangsa, Korut-Korsel. Wilayah ini pun adalah refleksi bagi ketegangan politik global yang sangat potensial memicu eskalasi perang nuklir di masa depan. Maka, perlu kiranya mengupas ancaman ini dengan sudut pandang yang lebih fair, sehingga langkah yang diambil dapat memberikan jalan terang menuju perdamaian abadi.

Perkembangan Tensi Militer di Semenanjung Korea

            Titik balik membaranya Semenanjung Korea terjadi pada 25 Juni 1950, yaitu ketika Korut dan Korsel memutuskan berperang. Korut yang disponsori Uni Soviet dan Korsel oleh Amerika Serikat tidak bisa membendung pertentangan ideologis-politik dan pengaruh hegemoni kedua negara adidaya pemenang Perang Dunia 2. "Perang Pembebasan Tanah Air" yang diinisiasi Korut menjadi awal perang saudara dan diakhiri dengan gencatan senjata antara Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan Korut pada 27 Juli 1953. Meskipun begitu, "perang" Korut dan Korsel tidak pernah usai hingga hari ini.

            Semasa Perang Dingin, momentum Cuban Missile Crisis di tahun 1962 adalah titik balik Korut melihat negara asing sebagai ancaman keamanan nasional. Korut di bawah rezim Kim Il Sung melihat perlunya kemandirian dalam membangun kekuatan militer negara, dan mengantisipasi bila suatu saat Uni Soviet tidak bisa membantunya lagi. Nuklir menjadi pilihan rasional dalam mencapai kedaulatan keamanan dan pertahanan. Persenjataan nuklir semakin dilihat sebagai cara untuk menjamin keamanan dari Korut (Fouse, 2004).

            Perkembangan perlombaan senjata nuklir yang kian mengkhawatirkan ini mendorong berbagai negara untuk mulai membatasi produksi senjata pemusnah massal tersebut. Dimulai dari Finlandia sebagai pengusul Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yaitu perjanjian untuk membatasi jumlah senjata nuklir di dunia, dan mulai berlaku pada 5 Maret 1970 setelah diratifikasi Inggris, Uni Soviet, USA, dan 40 negara lainnya. Pada 11 Mei 1995, lebih dari 170 negara akhirnya menyepakati perjanjian ini tanpa batas waktu dan syarat, termasuk Korut.

            Sayangnya, pasca Korut tidak menyelesaikan safeguard agreement (perjanjian perlindungan) dengan International Atomic Energy Agency (IAEA), pada tanggal 10 Januari 2003, Korea Utara resmi menarik diri dari NPT. Tindakan ini membuatnya bebas dari kekuatan mengikat perjanjian itu (Winters, 2005). Kebebasan ini memungkinkan Korut untuk debut serangkaian uji coba nuklir dan di tahun 2006 mulai memicu ketegangan wilayah. Ketegangan ini mendorong sinyal dilematis keamanan (dillema security) negara-negara kawasan untuk bersiap, "hancur atau dihancurkan".

            KBS World Radio (2024) melaporkan, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengesahkan Resolusi 2321 di tahun 2016 yang berisi sanksi baru atas uji coba nuklir kelima. Masalah ini berlanjut, di mana Korut (lagi), sebagaimana dikutip dari laman Tempo.co (2023), kembali meluncurkan rudal yang mampu terbang sejauh 800 km (497 mil) dengan sasaran di laut lepas pantai timur Korea Utara, menurut laporan KCNA. Berikutnya, dilansir dari laman news.detik.com (2024), adalah kembali meluncurkan 18 rudal balistik jarak pendek dalam latihan tembak dan menyebutnya sebagai serangan pendahuluan terhadap Korea Selatan. Aksi terbaru Korut, pada 2 Juli 2024, dilansir dari laman Antara (2024), Korea Utara dilaporkan menguji coba rudal balistik taktis baru berhulu ledak besar yang diberi nama Hwasong-11Da-4.5. Tindakan provokatif tersebut disinyalir sebagai respons (dugaan) ancaman setelah Korea Selatan, USA, dan Jepang menyelesaikan latihan multi-domain "Freedom Edge" selama tiga hari dengan melibatkan kapal induk dan jet tempur USA.

Perdamaian Semenanjung Korea dan Game Theory

            Masalah kompleks Semenanjung Korea tidak bisa dinisbahkan pada satu pihak semata. Bila merefleksikan sejarah konflik Semenanjung Korea, fakta bahwa banyak pihak berkepentingan turut andil memperpanjang konflik ini. Penggambaran yang tepat tentang semua ini adalah permainan atau game theory. Teori permainan, sekumpulan pemikiran yang menguraikan strategi keputusan yang rasional dalam situasi konflik dan kompetisi, ketika masing-masing peserta atau pemain saling berusaha memperbesar keuntungan dan memperkecil kerugian (Plano & Riggs, 1973). Pihak-pihak berkepentingan cukup logis untuk tidak melepaskan hubungannya disana.

            Permainannya sederhana, "jangan ganggu atau hancur". Dalam konteks ancaman nuklir di Semenanjung Korea, sebuah alasan rasional-logis untuk tetap memiliki dan meningkatkan kualitas-kuantitas persenjataan. Standar kompetisi global fire hari ini membuat NPT nampak seperti bidah dalam tradisi perang. Keuntungan membangun kekuatan nuklir tidak hanya untuk keamanan ke dalam, tetapi juga keluar. Kedaulatan bukan tawar-menawar. Isu sentral untuk strategi nuklir adalah bagaimana memenangkan dan melancarkan perang nuklir, dibandingkan dengan hanya untuk bersiap melakukannya akan tetap menimbulkan efek jera (Peters, Anderson, & Menke, 2018). Namun, keuntungan satu negara ini akan dipandang sebagai agresivitas yang merugikan keamanan nasional negara lain, sehingga memaksa negara terancam untuk meningkatkan kapasitas diri, sebagai pertimbangan paling rasional-logis, terkecuali bila negara tersebut hendak dihancurkan terlebih dahulu dalam permainan senjata. Bagaimana pun, tugas utama pemerintah idealnya harus memberikan keamanan bagi penduduknya, tetapi malah membuat ancaman potensial terbesar bagi masyarakat dalam pembatasannya (Jackson & Sorensen, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun