Mohon tunggu...
Sidik Permana
Sidik Permana Mohon Tunggu... Editor - Freelance

Saya hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia di Persimpangan Laut China Selatan: Dominator dan Diplomator

30 Mei 2024   19:38 Diperbarui: 30 Mei 2024   19:58 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Potensi lainnya keberadaan sumber daya alam yang melimpah. Menurut data dari laporan bertajuk "Statistik Minyak dan Gas Bumi 2017" yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (2017), diketahui bahwa Blok East Natuna menyimpan kandungan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf) dan cadangan terbukti sebanyak 46 tcf, sedangkan potensi kandungan minyaknya mencapai 36 juta barel minyak. Adapun menurut informasi yang dikutip dari laman Tirto.id (2020), potensi minyak di blok itu mencapai 36 juta barel minyak, tetapi baru dimanfaatkan sekitar 25 ribu barel minyak pada saat itu.

            Antara klaim Tiongkok dengan Nine Dash Line-nya dan Laut Natuna-Laut Natuna Utara Indonesia, keduanya dibatasi oleh garis khayalan yang memisahkan antara klaim positivistik hukum dan historis. Siapa yang akan memenangkan pengaruh ini? Bukan bermaksud tidak nasionalis, namun bila eskalasi dan tensi meningkat di kawasan LCS, Indonesia akan terseret karena sudah dipastikan Laut Natuna akan menjadi medan konflik geopolitik. Tentu saja,  Tiongkok sebagai negara powerful yang ditopang dengan kekuatan ekonomi dan militernya, menjadi negara yang paling berpotensi untuk memenangkan dominasi atas LCS. Tindakan Tiongkok dalam menempatkan dan membangun instalasi militer di kepulauan-kepulauan yang berada di kawasan terlarang ini jelas menunjukan bahwa Tiongkok tidak main-main dan "bisa melampaui hukum internasional manapun".

            Bahkan, kedaulatan Indonesia pernah diuji oleh Tiongkok tatkala ia melakukan intervensi militerisme kepada bangsa Indonesia di lautnya sendiri. Seperti yang terjadi pada Desember 2019 sampai Januari 2020, kapal Coast Guard Tiongkok menghalangi kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk menindak kapal-kapal nelayan China yang masuk ke dalam Zone Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (Putra, 2023). Bila hal ini dibiarkan, lambat namun pasti, secara tidak sadar Indonesia akan kehilangan kedaulatannya pada garis terluar batas laut tersebut. Ketika hal itu terjadi Kembali nanti, bagaimana Indonesia akan menghadapinya, bahkan sekadar bertahan di rumahnya sendiri.

            Ketika banyak negara mulai memandang serius Laut China Selatan, bagaimana Indonesia akan menyambut persoalan ini? Estu Prabowo (dalam Sugianto, Agussalim, & Armawi, 2021), mengungkapkan jika keamanan LCS belum mendapat perhatian penting dari pemerintah Indonesia karena saat ini posisi Indonesia termasuk Non Claiment State, sehingga membatasi Indonesia dalam melakukan aksi pada tingkatan soft power, dengan pemikiran tentang klaim wilayah oleh China (termasuk Taiwan) berdasarkan sejarahnya, sedangkan negara claiment state menetapkan klaimnya berdasarkan batas wilayahnya sesuai hasil konvensi dan UNCLOS 1982. Artinya, kepentingan Indonesia di LCS tidak seleluasa dengan negara pengklaim karena memang sejak awal Indonesia tidak pernah mau berurusan dengan LCS lebih jauh kecuali berhubungan erat dengan kedaulatan bangsa, seperti masuknya kapal ikan asing dan mencuri ikan di Laut Natuna. Tetapi, lemahnya pertahanan di Laut Natuna, yang mana LCS di sampingnya menjadi rebutan, akan membuka pintu masuk bagi ancaman negara. Apalagi, laut Natuna cukup terbuka dengan potensi ancaman nonnegara, yang mesti dilindungi oleh personel dan sumber daya terbatas.

            Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) (2023) dalam laporannya berjudul "Laporan Deteksi & Analisis: Keamanan Laut di Wilayah Perairan dan Yurisdiksi Indonesia Periode April 2023 S.D. Januari 2024" pernah mendeteksi pergerakan dua kapal riset kelautan berbendera Tiongkok di Laut Natuna Utara (LNU) yang bernama Nan Feng dan Jia Geng. Kedua kapal periset tersebut, Nan Feng dan Jia Geng, adalah kapal riset sumber daya perikanan dan kapal Moving Vessel Profiler (MVP) yang dapat melakukan riset oseanografi perairan dalam (deep water) dengan kecepatan tinggi. Hingga akhirnya, pada tahun 2024, Pemerintah Tiongkok mengumumkan pencapaian riset selama 25 tahun terakhir ini dengan berhasil memetakan secara komprehensif informasi topografi, geologi, lapisan dan sedimentasi, jenis dan persebaran evolusi struktur geologi, sumber daya mineral dan lingkungan laut yang berbahaya (seperti, palung yang rawan longsor) di seluruh Laut Cina Selatan dan sekitarnya.

           Memangnya, keperluan apa Tiongkok memetakan laut di LCS jika bukan karena hal penting yang berhubungan dengan kepentingan strategis negara. Tentunya, hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Tiongkok memetakan potensi dan upaya preventif strategis dalam menjaga klaimnya. Terlebih ketika Tiongkok merangkak menjadi kekuatan militer dan ekonomi top dunia, dengan keperluan energi yang besar, nampaknya wajar bagi negara sebesar Tiongkok untuk mencari sumber daya. Hal ini membuat beberapa negara memutuskan untuk bekerja sama dengan negara-negara kuat---menarik negara tersebut ke pusaran konflik---seperti Amerika Serikat dan Jepang, untuk turut serta dalam kontestasi LCS. Dikutip dari laman Global Fire Power (GFP) (2024), Tiongkok berada di urutan top lima kekuatan militer dunia dengan skor kekuatan index 0.0706 atau mendekati sempurna di angka 0.0000, dengan anggaran pertahanannya mencapai 227 milyar dolar atau urutan kedua dari 145 negara. Selain itu, kebutuhan energi Tiongkok bisa mencapai 24,861 triliun dolar atau 399,889 triliun rupiah. Dengan semua tuntutan itu, tidak ada alasan bagi Tiongkok untuk mengabaikan begitu saja "harta karun" di LCS.

           Kemudian, bagaimana langkah Indonesia dalam menghadapi ancaman tersebut dan apa kepentingan Indonesia di luar batas itu? Semakin jauh zona laut tersebut dari pantai suatu negara, semakin menipis kedaulatan dan yurisdiksi yang dimiliki negara tersebut akan zona laut tersebut (Churcill, Lowe, & Sander, 2022). Menandakan bahwa batas kewenangan Indonesia atas lautnya mesti terpenuhi. Namun, bagaimana bila kemudian Tiongkok justru berjalan lebih jauh, atas dasar klaimnya, ke selatan LCS dan melakukan banyak hal di sana seolah memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut. Bahkan, secara terbuka memasuki wilayah laut Indonesia. Namun, ketika melihat hal itu tetap dilakukan, yang terbesit dalam pikiran adalah seberapa berani Tiongkok, maka semua data statistik tentang kemampuannya sudah cukup untuk menjawab semua itu. Artinya, kekuatan memungkinkan suatu negara untuk bertindak dan mendominasi kawasan, dan Indonesia belum saatnya untuk memainkan peran dominator kawasan namun sudah cukup mempertahankan kuasa atas tanah airnya. Itulah mengapa kedaulatan begitu penting bagi wibawa suatu bangsa.

 

Pentingnya Kedaulatan Bangsa

            Tatkala mendengar ungkapan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (2015), bahwa "negara kita sudah banyak dirugikan oleh praktik Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUUF). Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai 300 trilliun per tahun." Mungkin akan timbul pertanyaan dibenak kita terkait kemampuan negara dalam menghadapi ancaman kedaulatan negara dan seberapa efektif cara yang akan dan telah dilaksanakan. Sekarang, kita coba untuk melihat bahwa sekalipun Laut Natuna Utara berpapasan langsung dengan LCS, dan Indonesia berdaulat penuh atas sumber daya yang berada di dalamnya, kedaulatan Indonesia masih dengan mudahnya dirongrong oleh bangsa lain, bahkan oleh sekelompok kriminal seperti penangkap ikan ilegal. Hal itu hanya membuktikan satu hal bahwa kita memerlukan "kekuatan" lebih untuk menjaga kedaulatan laut kita. Tentunya, dengan anggaran terbatas, yang jika dibandingkan dengan Tiongkok tentu memiliki kelas yang berbeda. Bila Tiongkok saja menghabiskan milyaran dolar untuk anggaran pertahanan, kita pun bisa melakukan hal yang sama namun berada pada level yang berbeda karena perekonomian Indonesia tidak sekuat Tiongkok dalam total anggaran pertahanannya. Tapi, kita bisa berlindung dari istilah "optimalisasi".

             Kementerian Pertahanan (Kemenhan), sebagaimana dilansir dari laman Katadata.co.id (2024), menjelaskan bahwa alokasi anggaran pertahanan mencapai Rp139,26 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 atau turun sekitar 3,46% dari outlook 2023 sebesar Rp144,26 triliun dengan rincian: 1) Dukungan manajemen sebesar Rp77,56 triliun; 2) Modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarpras pertahanan sebesar Rp43,01 triliun; 3) Profesionalisme dan kesejahteraan prajurit sebesar Rp12,37 triliun; 4) Pelaksanaan tugas TNI sebesar Rp4,04 triliun; 5) Riset, industri, dan pendidikan tinggi pertahanan sebesar Rp1,65 triliun; 6) Pembinaan sumber daya pertahanan sebesar Rp597,40 miliar; dan, 7) Kebijakan dan regulasi pertahanan sebesar Rp24,7 miliar. Dalam anggaran, akan terpancar kewibawan, karena apapun dalam konteks perkembangan dan kemajuan memerlukan sejumlah modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun