Sekitar awal tahun 2008, niat untuk mengulas sebuah buku mulai muncul dalam diri saya. Niat itu muncul karena sebelumnya saya suka membuat semacam catatan reflektif setelah menonton film. Ya, karena tak tahu banyak dengan hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal teknis perfilman, sampai sekarang saya lebih suka menyebut catatan yang saya buat tentang film sebagai suatu refleksi berdasarkan film, bukan ulasan film. Melihat ulasan-ulasan di majalah film seperti Cinemags atau Movie Monthly saya yakin kalau catatan saya tentang film memang belum pas disebut ulasan film.
Nah, pada saat berhadapan dengan buku, saya tak menemukan banyak hal teknis yang terlalu membebani saya untuk mengulasnya. Kebetulan, beberapa tahun silam saya juga pernah membeli buku karya Daniel Samad yang berjudul Dasar-dasar Meresensi Buku. Setelah menemukan buku ini (kalau tidak salah sekitar tahun 2005-2006), saya pernah meresensi dua buku yaitu Di Bawah Sinar Lampu Merkuri karya Slamat P. Sinambela dan Diciptakan Seperti Sebuah Tarian karya Arie Saptaji untuk saya pajang di situs gratisan Geocities (fasilitas dari Yahoo!). Namun, saya tak banyak menekuni resensi buku. Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis renungan atau refleksi berdasarkan film.
Tak seperti film, buku membuat saya lebih nyaman menyusun sebuah ulasan. Tantangan pertama datang dari guru menulis saya, Arie Saptaji. Dia bilang kalau saya sempat, buatlah sebuah resensi untuk sebuah bukunya, Warrior: Sepatu untuk Sahabat. Selama beberapa hari kemudian saya membaca buku itu, lalu meresensinya. Saya mencoba untuk mempublikasikan resensi itu di koran, tapi gagal dimuat.
Kegagalan itu mendorong saya untuk meresensi buku lebih baik lagi. Saya akhirnya bertemu dengan tiga guru lain, para resensor, yaitu Nur Mursidi, Hernadi Tanzil, dan Iqbal Dawami. Saya membaca dan mempelajari resensi-resensi mereka di blog mereka masing-masing. Saya belajar bagaimana cara mengirimkan resensi yang baik ke koran. Saya juga belajar satu hal yang menyenangkan, yaitu bagaimana memohon kiriman buku ke penerbit untuk dikirimkan buat saya, agar saya tidak selalu membeli buku yang mau diresensi. Saya jadi lumayan sering dapat buku gratis — asyik lho!
Nah, sejak awal tahun 2008 hingga Oktober 2010, inilah buku yang pernah saya buatkan resensi. Judul-judul di bawah ini tidak saya susun berdasarkan waktu pembuatan resensi, tapi secara acak. Bila berminat membaca, semua resensi ini dapat Anda temukan di blog saya, atau silahkan googling saja.
Buku-buku Fiksi:
- Warrior, Sepatu untuk Sahabat – Arie Saptaji
- Novel Pangeran Diponegoro, Menggagas Ratu Adil – Remy Sylado
- Pria Cilik Merdeka – Terry Pratchett
- My Life as a Fake – Peter Carey
- Kembang Jepun – Remy Sylado
- Ma Yan – Sanie B. Kuncoro
- Gajah Sang Penyihir – Kate DiCamillo
- Tangan untuk Utik – Bamby Cahyadi
- Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia – Agus Noor
- Garis Perempuan – Sanie B. Kuncoro
- Kumpulan Budak Setan – Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad
- Ciuman di Bawah Hujan – Lan Fang
- Teman Empat Musim – Ida Ahdiah
- Bob Marley – Kumpulan cerita Sriti.com
- Mata Keenam – Melody Carlson
- Guardians of Ga’Hoole (Diculik!) – Kathryn Lasky
- Olenka – Budi Darma
- Rani dan Tiga Harta Peri (Tinker Bell) – Kimberly Morris
- Demi Allah, Aku Jadi Teroris – Damien Dematra
- The Highest Tide – Jim Lynch
- Life of Pi – Yann Martel
- Sang Pencerah – Akmal Nasery Basral
Buku-buku Nonfiksi:
- Pacaran Asyik dan Cerdas – Arie Saptaji
- Simply Amazing – J. Sumardianta
- I Can (Not) Hear – Feby Indriani dan San C. Wirakusuma
- Cita-cita – Iqbal Dawami
- Dari Kepompong Menjadi Kupu-kupu – H.D. Iriyanto
- Peta 50, Tempat Makan Makanan Favorit di Malang – Haryo Bagus Handoko
- Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya – Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
- Sukses Wirausaha Laundry di Rumah – Haryo Bagus Handoko
- It’s a Wonderful Life – Arie Saptaji
- Amira and Three Cups of Tea – Greg Mortenson
- Darah-Daging Sastra Indonesia – Damhuri Muhammad
- The Power of Creativity – Peng Kheng Sun
Tiap buku memiliki kekhasan masing-masing. Ada buku yang begitu menyentuh seperti I Can (Not) Hear, It’s a Wonderful Life, Teman Empat Musim, atau Garis Perempuan. Ada buku yang tegang, imajinatif, dan membuat penasaran seperti Kumpulan Budak Setan, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, Olenka, Tangan untuk Utik, atau Life of Pi. Ada yang begitu inspiratif seperti Cita-cita dan Amira and Three Cups of Tea. Ada yang begitu ringan seperti dua buku yang ditulis oleh Haryo Bagus Handoko. Ada juga yang lumayan berat dicerna dan menantang seperti Ciuman di Bawah Hujan, Darah-Daging Sastra Indonesia, atau Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya. Ada juga yang isinya campur-baur, namun tiap bagiannya memiliki keasyikan dan kenikmatan yang berbeda ketika dibaca seperti Bob Marley. Tidak bisa saya sebutkan semua kesan saya untuk semua buku di atas. Silahkan mampir ke resensi-resensi saya bila hendak tahu lebih jauh buku yang pernah saya ulas.
Masih ada enam buku, yaitu Keep Your Hand Moving karya Anwar Holid, The Ninth karya Ferenc Barnas, Beginning Theory karya Peter Barry, Bulan Celurit Api karya Benny Arnas, Musim yang Menggugurkan Daun karya Yetti A.Ka dan sebuah buku kumpulan puisi delapan penyair muda (disunting oleh Pringadi Abdi Surya) berjudul Teka-teki tentang Tubuh dan Kematian yang resensinya sudah saya buat, sedang saya buat, atau sedang saya rencanakan untuk diresensi sampai akhir Oktober. Buku yang sudah saya resensi belum bisa saya tampilkan secara online karena beberapa pertimbangan.
Dari pengalaman ini, saya beranggapan kalau meresensi buku tak selalu mudah. Kadang melelahkan. Saya mengindahkan prinsip yang dimiliki oleh Hernadi Tanzil, guru saya itu. Ia berkata suatu waktu kepada saya saat kami chatting, “Saya tidak akan meresensi buku sebelum saya selesai membacanya.” Buku yang tebalnya ratusan halaman, dibaca beberapa minggu, lalu dibuatkan resensinya, belum tentu dimuat koran. Membacanya saja kadang melalahkan bila kondisi pikiran dan tubuh lagi tak menentu. Belum lagi mendapat kenyataan kalau resensi itu ditolak. Tapi, itulah yang sering saya alami: resensi yang sudah saya buat di atas lebih banyak yang ditolak koran daripada yang dimuat. Mungkin analisis saya kurang tajam, atau bahasanya kurang mantap, atau apalah. Yang jelas dan pasti, keputusan memuat resensi ada di redaktur koran, dan mereka yang lebih tahu jawaban mengapa sebuah resensi layak dimuat atau ditolak.
Namun, terlepas dari semua penolakan yang pernah saya terima, saya menganggap meresensi buku sebagai pekerjaan yang mengasyikkan. Saya suka melakukannya di warung kopi. Ruang kamar kos saya kadang begitu tampak membosankan: empat tembok yang sama selalu saya hadapi. Di warkop ada suasana berbeda yang asyik buat meresensi buku. Nah, pekerjaan apa lagi yang dapat saya lakukan di warkop selain meresensi buku — daripada tengak-tenguk seperti orang stres?