Bayangkanlah sebuah petualangan, sendirian. Bayangkanlah alam yang luas, daerah bersalju, padang gurun, jalanan yang tak berujung. Bayangkanlah hewan-hewan liar, burung-burung di angkasa, sungai-sungai yang berair jernih. Siapa pun yang (pernah) menyukai alam, petualangan, dan segala keindahannya, akan bergairah menyaksikan tempat-tempat eksotis yang menjadi latar dalam film ini. Musik country yang dimainkan dan dinyanyikan Eddie Vedder nyaris di sepanjang film membuat suasana alam dan pedesaan makin hidup. Namun, film ini, Into the Wild, tak hanya memotret berbagai keindahan alam. Film yang diangkat dari buku nonfiksi karya Jon Krakauer ini mengisahkan pergulatan batin seorang pemuda, Christopher McCandless (Emile Hirsch), setelah ia lulus kuliah. Chris, pemuda ini, adalah seorang yang keranjingan membaca. Ia hidup “bersama” Leo Tolstoy, Jack London, Henry David Thoreau, dan lainnya. Ia tak suka dengan pesta pora dan kekayaan. Di sebuah adegan yang apik, di sebuah restoran, dengan tegas ia menolak kemauan orang tuanya membelikan sebuah mobil baru. Setelah kuliah, uang tabungan yang ia miliki hanya diambilnya beberapa dolar. Bagian yang lebih besar, 24.000 dolar, ia sumbangkan untuk anak yatim piatu. Dengan beberapa dolar yang dimilikinya, ia pun mengambil sebuah keputusan radikal: mengembara hingga ke Alaska. Keputusan ini tak diberitahukannya kepada siapa pun, bahkan kepada adik perempuannya, Carine (Jena Malone), yang sangat dekat dengannya. Film yang menggunakan alur maju-mundur ini diawali dengan catatan Chris yang ia tujukan kepada Wayne Westerberg (Vince Vaughn), seorang pria yang ia temui di South Dakota, salah satu tempat yang ia singgahi cukup lama. Saat bersamanya, Wayne mengajari Chris cara memanen gandum. Catatan itu ditulis Chris ketika baru saja tiba di Fairbanks, Alaska, tujuan akhir pengembaraannya. Kemudian, di Alaska, Chris menemukan sebuah mobil yang terdampar di tengah hutan. Ia menamai mobil itu Magic Bus. Sean Penn, sebagai penulis skenario dan sutradara, sangat rapi dan lihai menjalin potongan-potongan kisah hidup Chris dalam film ini. Ia membagi pengembaraan Chris dalam empat bagian: My Own Birth, Adolescence, Manhood, dan The Getting of Wisdom. Di masing-masing bagian ada flashback yang menggambarkan kehidupan Chris sebelum ia memutuskan hidup mengembara, meninggalkan keluarganya. Orangtua Chris kaya. Ayahnya, Walt (William Hurt), berprestasi secara membanggakan dalam pekerjaannya. Mereka berdua mencapai kesuksesan finansial. Namun, mereka tak bahagia, sering cekcok, dan hampir bercerai. Bahkan, suatu ketika Chris mendapati kenyataan bahwa ibunya, Billie (Marcia Gay Harden), adalah istri muda ayahnya. Istri pertama masih belum diceraikan. Tentang hal ini, Carine, adik Chris, menyatakan, “This fact, redefined me and Chris as bastard children.” Keberadaan Carine di dalam film ini menjadi penting karena narasi-narasinya yang disampaikan lewat voice over. Lewat narasi-narasinya, menjadi jelas sebab-musabab yang membuat Chris memilih alam liar sebagai dunianya. Namun, satu hal yang mengganggu adalah beberapa narasinya terkesan berlebihan, terlalu retoris. Bagian lain yang terkesan berlebihan adalah sebuah adegan saat Chris menggunakan kayak (perahu kecil) mengarungi arus deras sebuah sungai di dekat perbatasan Mexico. Chris, saat itu, menyebut dirinya tidak banyak berpengalaman dengan arung jeram ketika ditanyai seorang petugas yang mengurus izin arung jeram. Ia tidak diizinkan. Ia pun nekat, melakukannya tanpa izin. Kemudian, inilah yang ditampilkan di film: di sungai yang arusnya begitu deras, penuh batu, pemuda yang tak berpengalaman ini melakukan arung jeram tanpa helm pengaman. Benarkah kejadiannya seperti ini? Saya ragu. Bisa saja, ini dramatisasi yang berlebihan. Terlepas dari dua hal yang berlebihan di atas, film ini berupaya mengajak penonton menyusuri berbagai kemelut batin yang mendera jiwa seorang anak muda. Chris, dengan pemikiran-pemikirannya, hendak mengajak setiap orang yang ditemuinya dalam pengembaraannya merenungi: uang bukanlah hal yang utama bagi kehidupan, karir bukanlah segalanya, keindahan alam menjadi daya tarik yang lebih hebat dibandingkan hubungan antar manusia yang penuh dinamika. Selama mengembara, Chris menggunakan nama baru: Alexander Supertramp. Bila di dalam film Out of Africa atau The Color Purple keindahan alam dijadikan sebagai latar yang memaniskan cerita, film ini hendak menampilkan hal yang lain: alam itu sendiri penuh dengan cerita, tak sekadar latar. Ya, alam, kebebasan, dan kebergantungan hidup pada alam menjadi napas utama film ini. Nah, sampai berapa lama Chris bertahan hidup dengan alam — tanpa keluarga, sahabat, dan orang yang bisa diajak berbagi? Sampai berapa lama ia dapat menyembunyikan dirinya dari pencarian dan kesedihan kedua orangtua dan adiknya? Sampai berapa lama dendam terhadap orangtua dan ketidaksetujuannya pada hal-hal yang tak sejalan dengan idealismenya ia pertahankan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk dalam diri saya ketika menyaksikan film ini. Hingga suatu ketika Chris bertemu dengan Ron Franz (Hal Holbrook), seorang pria tua perajin kulit. Lebih dari semua orang yang ditemui Chris, saya menyukai Ron. Persahabatan yang terjalin di antara kedua pria yang pantas menjadi kakek dan cucu ini sangat mendalam. Chris bertemu dengan Ron setelah ia melalui perjalanan panjang: melewati South Dakota, sungai Colorado, Grand Canyon, Mexico, dan Salvation Mountain. Dari Ron, Chris belajar mengukir sebuah sabuk kulit, dan ia pun mengukirkan perjalanan panjangnya. Adegan yang menarik adalah saat Chris “memaksa” Ron untuk mendaki sebuah bukit kecil. Dari atas bukit itu bisa disaksikan laut Salton dan pemandangan yang indah. Ron terengah-engah ketika sampai di sana. Di atas bukit itu, terjalinlah percakapan yang indah tentang pengampunan. Di sana, Ron berkata, “When you forgive, you love. And when you love, God’s light shines on you.” Chris melanjutkan perjalanannya, ke Alaska, menuju alam liar. Chris, atau Alexander Supertramp ini, terus berjuang menembus tantangan. Kenangan tentang keluarga dan para sahabat, juga kebahagiaan yang didapatkan dari kebersamaan dengan orang lain, mulai melintas di benak Chris sang pengembara. Ia pun ingin menjadikan catatan perjalanannya sebagai buku. Saat Chris menulis catatannya di dalam Magic Bus, kehidupan Chris pun menjadi cermin bagi jiwa muda yang selalu mendambakan kedamaian. (*) Sidoarjo, 1 April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H