Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Himne Guru: Inspirasi dari Guru yang Ketiban Sial

3 Agustus 2012   02:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sidik Nugroho*) Hari masih pagi, belum pukul 07.00. Suasana tahun baru masih terasa di beberapa bagian kota Surabaya. Pagi itu, Sabtu, tanggal 14 Januari 2012, terminal bis Bungurasih di Surabaya tidak begitu ramai. Saya santai sejenak di warung kopi sebelum menumpang sebuah bis Sumber Kencono yang hendak menuju ke Madiun. Kepergian saya ke Madiun adalah untuk menemui Pak Sartono, pencipta lagu Pahlawan tanpa Tanda Jasa yang lebih dikenal sebagai himne guru. Sebelum hari itu, kami pernah bertemu dalam sebuah acara. Ibu Tiwi, pendamping Pak Sartono, yang juga adalah adik iparnya, mengisahkan masa lalu Pak Sartono sebagai guru. Pak Sartono kini sudah sering tidak fokus dalam berbicara — kadang omongannya melantur atau diulang-ulang. Ibu Tiwi menyatakan, “Tiga puluh tahun lagu himne guru diciptakan, namun baru akhir-akhir ini Pak Sartono mendapat perhatian dari banyak pihak. Pak Sartono semakin sering diundang ke sana kemari, menjadi narasumber untuk berbagai acara pendidikan. Namun, beliau ini tidak bisa berbicara dengan lancar karena faktor usia. Oleh karena itu, saya sering mendampingi beliau.” *** Perjalanan saya ke Madiun cukup lancar dari Surabaya — hampir 6 jam. Saya sampai di terminal Madiun tengah hari. Di sana saya bertemu dengan tukang ojek yang bernama Suprapto, yang biasa dipanggil Pak Prapto. Saya mengajaknya berbincang-bincang mengenai kota Madiun. Saya kemudian menjelaskan kedatangan saya, mau bertemu dengan Pak Sartono, pencipta himne guru. “Saya kelihatannya pernah tahu tentang beliau, Mas, tapi agak lupa,” kata Pak Prapto ketika saya bertanya kepadanya mengenal Pak Sartono atau tidak. Saya pun dibawa ke alamat Pak Sartono, di jalan Halmahera No. 98. Rumah Pak Sartono berada di ujung jalan itu, tak jauh dari pemakaman umum. Rumahnya sederhana, usianya sudah puluhan tahun. Rumah itu warisan dari orangtua Pak Sartono. Saya disambut ramah oleh Pak Sartono, istrinya, dan Ibu Tiwi. Ibu Tiwi telah menyiapkan rujak dan es tape untuk saya. Saya seperti berada di tengah-tengah orang yang sudah lama saya kenal. Saya tak merasa asing. Saya mengajak Ibu Tiwi dan Ibu Damiati berbincang-bincang. Pak Sartono duduk di sebuah kursi, mendengarkan apa yang kami bicarakan. Pak Sartono selalu tersenyum, sekali-sekali ia mengangguk-angguk. Ibu Damiati sangat senang dengan kunjungan saya. Ia mengisahkan banyak cerita tentang Pak Sartono dan dirinya sendiri. Saya berada di rumah itu hampir tiga jam. Ibu Damiati dan Ibu Tiwi juga menunjukkan foto-foto keluarga Pak Sartono pada masa lalu. Beberapa penghargaan yang diterima oleh Pak Sartono, naskah asli lagu himne guru, beberapa kenangan dan cinderamata, dan beberapa foto lainnya dipajang di ruang tamu itu. Suasana siang itu di Madiun sangat menyenangkan untuk sebuah pembicaraan. Sambil menikmati rujak yang disuguhkan, saya berbincang-bincang dengan Ibu Damiati dan Ibu Tiwi. Cuaca sedang panas pada kunjungan pertama ini. Pada siang itu, berbagai peristiwa dan kenangan masa lalu dikisahkan kembali oleh Ibu Damiati kepada saya. Beberapa foto Pak Sartono dan Ibu Damiati juga ditunjukkan kepada saya. *** Pada waktu remaja dan sekolah Pak Sartono mendirikan grup musik bersama teman-temannya. Lagu-lagu yang sering mereka nyanyikan adalah keroncong. Sartono sering memainkan gitar di dalam grup keroncongnya. Masa-masa sekolah berlalu, Sartono kemudian bekerja di Lokananta, sebuah perusahaan rekaman musik, pembuat piringan hitam. Dari situ minat dan kecintaannya terhadap musik kian bertumbuh. Grup band yang ia dirikan bersama teman-temannya suatu ketika mendapat tugas dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) karena Sartono dimasukkan dalam korps musik TNI. Tugas tersebut adalah menghibur para tentara yang akan berangkat perang di Irian Barat. Tugas itu diberikan kepada Sartono dan grup musiknya pada tahun 1963. Saat itu, bangsa Indonesia tengah berjuang membebaskan Irian bagian barat yang diklaim oleh Belanda sebagai miliknya. Presiden Soekarno, dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 19 Desember 1961, mencetuskan Operasi Trikora yang bertujuan untuk merebut kembali wilayah tersebut. Selama tiga bulan Sartono ada di Irian, menghibur para tentara yang akan melaksanakan tugas negara. Ia kembali lagi ke Madiun setelah tugas itu. Saat kembali ke Madiun, harapannya untuk mendapat kesempatan bekerja sebagai TNI atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak kesampaian. Beberapa temannya yang ikut dalam korps musik di TNI diangkat menjadi TNI, namun ia tidak. “Pak Sartono tidak diangkat karena dia tidak punya koneksi, Mas. Orang yang tidak punya koneksi pada zaman dahulu susah untuk menjadi TNI atau PNS,” kata Damiati, istrinya. Sartono tetap bermain musik bersama teman-temannya untuk mencari nafkah. Ia berganti-ganti pekerjaan selama beberapa tahun. “Pak Sartono pernah kerja di bioskop, mengurusi bagian reklame bioskop. Ia juga pernah juga bekerja di PT. Mitrako di Magetan. Waktu kerja di Mitrako, kesejahteraan cukup baik. Perusahaan itu milik orang-orang Tionghoa. Di sana Pak Sartono bisa makan enak,” kata Damiati. Saat bekerja di Mitrako, Sartono juga terus menekuni musik. Ia mahir memainkan kulintang, saksofon, dan gitar. Ia sempat menciptakan beberapa lagu, memberi les musik kepada beberapa orang. Ia kadang juga menjadi juri kalau ada lomba menyanyi, paduan suara, atau musik. Saat-saat inilah ia bertemu dengan Damiati. Sartono bermain musik, Damiati bernyanyi — mereka sering tampil sepanggung. Rasa saling menyukai pun tumbuh di antara keduanya. Sartono dan Damiati menikah pada tahun 1971. Dengan modal kemampuan bermusiknya itu, Sartono berhasil mendapat pekerjaan mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang lebih dikenal dengan nama SMP Katolik Santo Bernardus. Ia mengajar tiga kali seminggu. Sartono mengajar musik, juga vokal atau paduan suara. Ia bisa bekerja di sana karena Damiati, istri Sartono yang beragama Katolik, mengenal dengan baik salah satu suster di situ. “Saya dulu waktu sekolah tinggal di asrama. Nah, kebetulan saya kenal dengan salah satu suster. Suster itulah yang meminta Pak Sartono untuk mengajar di sekolah itu. Walaupun Pak Sartono beragama Islam, tidak masalah. Sartono pun mulai resmi mengajar di sekolah itu pada tanggal 1 Januari 1978,” kata Damiati. Sambil mengajar di SMP Santo Bernardus, Sartono juga mengajar anak-anak TK Perhutani di Nganjuk bermain kulintang. Pada suatu perjalanan ke Nganjuk untuk mengajar, tahun 1980, ia membaca pengumuman lomba menciptakan himne guru di sebuah koran. Ia membaca pengumuman itu di dalam bis: ada sayembara mencipta lagu himne guru yang diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional! Ia tertarik mengikuti lomba itu. Hadiahnya amat besar di masa itu, Rp750.000. Dalam perjalanan pulang Pak Sartono menggumamkan nada-nada yang nantinya akan ia tuliskan. Di sepanjang perjalanan, bahkan sampai tiba di rumah, ia sama sekali tak mendapat ide untuk menuliskan kata demi kata dalam lagu itu. Saat menuliskan lagu itu, tenggat waktu yang ditetapkan panitia lomba tinggal dua minggu. Dengan bantuan istrinya, yang mengisahkan kehidupan seorang guru yang dikenal baik oleh mereka berdua, akhirnya lagu itu pun jadi. Penciptaan lagu itu ternyata diilhami oleh seorang rekan guru yang dikenal oleh Pak Sartono bernama Suroyo, atau kerap dipanggil Pak Royo. Pak Royo suatu ketika mengalami kesusahan ekonomi akibat sebuah musibah yang menimpa keluarganya, hartanya habis dirampok orang. Setelah ketiban sial ia pun mengamen sambil tetap mengajar. Perjuangannya mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup kemudian dituangkan pak Sartono dalam lirik lagu Pahlawan tanpa Tanda Jasa atau himne guru. Namun, persoalan lain datang. Ketika hendak mengirimkan lagu itu ke Jakarta, Pak Sartono tidak memiliki cukup uang. Pak Sartono pun pergi ke toko yang menerima lungsuran pakaian bekas, menjual pakaiannya. Uangnya dipakai untuk membeli perangko. Pahlawan tanpa Tanda Jasa akhirnya terpilih menjadi himne guru setelah melalui serangkaian seleksi yang ketat. Pak Sartono mendapat hadiah dan penghargaan. Lagu itu mulai dinyanyikan di sekolah-sekolah di tanah air — dari Sabang sampai Merauke. Himne guru terdengar di segenap penjuru negeri. Kehidupan Pak Sartono tak serta-merta berubah drastis. Ia tetap menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta di Madiun. Kisah hidup Pak Sartono sarat dengan pengabdian dan kreativitas. Banyak lagu yang ia ciptakan di sela-sela kesibukannya. Istrinya tetap menjadi guru dan seniwati yang giat berkesenian. Pak Sartono berhenti mengajar di SMP Bernardus pada tanggal 30 Juni 2002. Gaji terakhir yang diterima Sartono di situ Rp60.000 sebulan. “Pak Sartono itu orang yang penurut, tak suka menuntut. Ia nrimo. Tapi, bukan berarti pasrah begitu saja dan menyerah dengan kehidupan yang serba susah di zaman itu,” kata istrinya. Menjelang sore, rumah yang sederhana itu saya tinggalkan. Sepanjang jalan pulang saya merenung, inspirasi apakah yang akan datang di dalam benak saya saat berada di dalam bis? *** *) Guru SMA St. Petrus Pontianak, penulis buku "366 Reflections of Life"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun