Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru, Sertifikasi, dan Kompetensi Mengajarnya

3 Maret 2012   03:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:35 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174676" align="aligncenter" width="620" caption="KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN"][/caption] Sidik Nugroho*) Guru biasa memberitahukan Guru baik menjelaskan Guru ulung memeragakan Guru hebat mengilhami ~ William Arthur Ward Sertifikasi guru yang diadakan mulai tahun 2006, hingga kini masih menorehkan beberapa catatan yang perlu dicermati. Kecurangan demi kecurangan yang terjadi tiap tahun mengindikasikan bahwa guru -- yang notabene adalah pendidik dan pengajar -- di tanah air ini perlu mengedepankan kejujuran dalam proses yang ditempuhnya untuk memperoleh predikat sebagai guru bersertifikat. Pada tahun 2006 sampai 2010, saat proses sertifikasi menggunakan portofolio, guru mencari sertifikat dan penghargaan -- dari hasil seminar, workshop, pelatihan, dan lain-lain -- dengan segala cara, karena semakin banyak sertifikat dan penghargaan yang dikumpulkannya, poin portofolio-nya akan semakin tinggi. Pada 2011 dan 2012 kebijakan diubah, ada tiga jalur sertifikasi: Penilaian Portofolio (PF), Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL), dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dari tiga jalur itu, kuota dari jalur PF hanya disediakan 1% dari total kuota guru yang akan disertifikasi; kuota dari jalur PSPL diperuntukkan bagi guru yang sudah S2 dan S3, atau memiliki golongan sekurang-kurangnya IVB bagi guru PNS; dan kuota dari jalur PLPG disediakan terbanyak. Jalur PLPG bisa diketahui memiliki kuota terbanyak dengan melihat di situs www.sergur.pusbangprodik.org. Di tautan "Daftar urutan calon peserta sertifikasi guru tahun 2012" yang di dalamnya memuat Daftar Calon Peserta Sertifikasi Guru 2012, dapat dilihat, mayoritas guru mengikuti sertifikasi lewat jalur PLPG. Nah, lewat jalur PLPG inilah kecurangan-kecurangan kembali terjadi. Padahal, pada tahun 2012 ini, kuota sertifikasi guru sudah dibuat secara online -- transparan bagi publik. Bagaimana atau apa saja kecurangan-kecurangan itu? Di banyak situs berita disebutkan adanya guru yang memalsukan jumlah jam mengajar. Dalam hal ini, syarat sertifikasi jelas: seorang guru harus mengajar 24 jam seminggu. Karena tidak mengajar sebanyak itu, datanya dipalsu. Ada juga guru yang merekayasa tahun (lama) mengajar agar masuk kuota. Lagi-lagi data persyaratan sertifikasi dipalsu. Dan, pemalsuan atau rekayasa ini tentunya juga melibatkan kepala sekolah. Inilah potret pendidik dan pengajar yang menyedihkan di negeri ini. Guru, yang dulu identik dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa sekarang ingin dibayar mahal tanpa jasa. Pengabdian guru tergerus arus budaya konsumtif dan instan di masyarakat. Pahlawan tanpa tanda jasa, dulunya adalah judul asli himne guru yang diciptakan Sartono. Istilah itu juga dimuat di baris terakhir himne guru: "Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa." Namun, kata-kata "tanpa tanda jasa" diganti dengan "pembangun insan cendekia". Di harian Kompas, 24 November 2008, disebutkan bahwa perubahan tersebut diadakan sebagai hasil negosiasi antara Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, PGRI, dan pencipta lagu itu, Sartono.

Sartono, yang dulu sehari-harinya menjadi guru musik di sebuah SMP swasta pernah bercerita kepada saya bahwa lagu "Pahlawan tanpa Tanda Jasa" yang diciptakannya terilhami oleh seorang guru bernama Suroyo, atau kerap dipanggil Pak Royo, teman baik Sartono. Dalam ceritanya, Pak Royo suatu ketika mengalami kesusahan ekonomi akibat sebuah musibah yang menimpa keluarganya. Hartanya ludes. Pak Royo pernah kehabisan akal, sampai menjadi seorang pengamen sembari mengajar gara-gara kejadian itu. Perjuangannya mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup kemudian dituangkan Sartono dalam lirik lagu "Pahlawan tanpa Tanda Jasa" atau himne guru. Istilah "tanpa tanda jasa" yang diganti "pembangun insan cendekia" berkaitan dengan kesejahteraan guru yang kian baik -- jasanya kian dihargai. Namun, pertanyaannya, apakah guru-guru yang membangun insan cendekia di negeri ini -- yang memalsu data demi sertifikasi itu -- sudah lupa dengan pengabdian? Sartono yang lain, bernama lengkap Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan dan guru yang pernah mengajar anak TK hingga menguji desertasi doktoral mahasiswanya, pernah menyatakan bahwa beberapa ilmuwan yang ada di Indonesia lahir karena bagi mereka, "... hidup ini tidak ditentukan oleh nasi." Ia menceritakan beberapa orang yang hampir abai terhadap uang, mempelajari ilmu dengan ketekunan yang amat tinggi, hingga ilmu itu bagai menjadi sebuah jalan lain untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Seperti itulah bentuk pengabdian guru semestinya. Sertifikasi guru sebenarnya hal yang baik, membuat kesejahteraan guru lebih diperhatikan. Namun, kesejahteraan perlu diraih dengan cara-cara yang halal dan sesuai aturan. Dan, kesejahteraan itu pun pada akhirnya menjadi batu uji bagi kompetensi seorang guru: sudahkah ia menjadi guru yang profesional? Sudahkah kompetensi mengajarnya seimbang dengan tunjangan sertifikasi yang diterimanya? Apakah tunjangan itu pada akhirnya hanya membuat guru lupa akan pentingnya sebuah pengabdian? Hal inilah yang perlu dicermati secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Tidak sedikit laporan yang menyebutkan bahwa kinerja guru yang disertifikasi tidak mengalami peningkatan. Perlu ada pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan. Jangan sampai malah yang terjadi demikian: seorang guru yang lolos sertifikasi dengan cara tidak jujur, kemudian mendidik murid-muridnya dengan kompetensi mengajar yang tak mengalami kemajuan. Bila demikian adanya, betapa ironis bila guru menuntut anak didiknya berlaku jujur saat ulangan atau ujian. Pada akhirnya, pertanyaan inilah yang perlu direnungkan: akan jadi apa generasi muda bangsa ini kalau guru-gurunya meneladankan sikap yang tak terpuji? (*) *) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis buku 366 Reflections of Life (Bhuana Ilmu Populer, 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun