[caption id="attachment_174676" align="aligncenter" width="620" caption="KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN"][/caption] Sidik Nugroho*) Guru biasa memberitahukan Guru baik menjelaskan Guru ulung memeragakan Guru hebat mengilhami ~ William Arthur Ward Sertifikasi guru yang diadakan mulai tahun 2006, hingga kini masih menorehkan beberapa catatan yang perlu dicermati. Kecurangan demi kecurangan yang terjadi tiap tahun mengindikasikan bahwa guru -- yang notabene adalah pendidik dan pengajar -- di tanah air ini perlu mengedepankan kejujuran dalam proses yang ditempuhnya untuk memperoleh predikat sebagai guru bersertifikat. Pada tahun 2006 sampai 2010, saat proses sertifikasi menggunakan portofolio, guru mencari sertifikat dan penghargaan -- dari hasil seminar, workshop, pelatihan, dan lain-lain -- dengan segala cara, karena semakin banyak sertifikat dan penghargaan yang dikumpulkannya, poin portofolio-nya akan semakin tinggi. Pada 2011 dan 2012 kebijakan diubah, ada tiga jalur sertifikasi: Penilaian Portofolio (PF), Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL), dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dari tiga jalur itu, kuota dari jalur PF hanya disediakan 1% dari total kuota guru yang akan disertifikasi; kuota dari jalur PSPL diperuntukkan bagi guru yang sudah S2 dan S3, atau memiliki golongan sekurang-kurangnya IVB bagi guru PNS; dan kuota dari jalur PLPG disediakan terbanyak. Jalur PLPG bisa diketahui memiliki kuota terbanyak dengan melihat di situs www.sergur.pusbangprodik.org. Di tautan "Daftar urutan calon peserta sertifikasi guru tahun 2012" yang di dalamnya memuat Daftar Calon Peserta Sertifikasi Guru 2012, dapat dilihat, mayoritas guru mengikuti sertifikasi lewat jalur PLPG. Nah, lewat jalur PLPG inilah kecurangan-kecurangan kembali terjadi. Padahal, pada tahun 2012 ini, kuota sertifikasi guru sudah dibuat secara online -- transparan bagi publik. Bagaimana atau apa saja kecurangan-kecurangan itu? Di banyak situs berita disebutkan adanya guru yang memalsukan jumlah jam mengajar. Dalam hal ini, syarat sertifikasi jelas: seorang guru harus mengajar 24 jam seminggu. Karena tidak mengajar sebanyak itu, datanya dipalsu. Ada juga guru yang merekayasa tahun (lama) mengajar agar masuk kuota. Lagi-lagi data persyaratan sertifikasi dipalsu. Dan, pemalsuan atau rekayasa ini tentunya juga melibatkan kepala sekolah. Inilah potret pendidik dan pengajar yang menyedihkan di negeri ini. Guru, yang dulu identik dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa sekarang ingin dibayar mahal tanpa jasa. Pengabdian guru tergerus arus budaya konsumtif dan instan di masyarakat. Pahlawan tanpa tanda jasa, dulunya adalah judul asli himne guru yang diciptakan Sartono. Istilah itu juga dimuat di baris terakhir himne guru: "Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa." Namun, kata-kata "tanpa tanda jasa" diganti dengan "pembangun insan cendekia". Di harian Kompas, 24 November 2008, disebutkan bahwa perubahan tersebut diadakan sebagai hasil negosiasi antara Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, PGRI, dan pencipta lagu itu, Sartono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H