Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Makassar terhadap sebuah restoran cepat saji beberapa waktu lalu -- begitu mengenaskan. Gara-gara tidak setuju dengan film Innocence of Muslims, mereka melakukan aksi yang anrkis. Mahasiswa, kaum cerdik dan cendekia, semestinya lebih terampil mengangkat wacana, tulisan, atau pemikiran, daripada batu-batu yang menghancurkan kaca restoran.
Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, tengah memulai sebuah program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak bisa menjadi sekadar program, tapi sebuah langkah yang disambut dengan antusias. Lewat pendidikan karakter, para pelajar dapat mempelajari lagi nilai-nilai penting yang dulu pernah digariskan oleh Soekarno, bapak bangsa ini. Dalam pidatonya yang terkenal tentang Pancasila, Soekarno pernah menyatakan, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia... tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!"
Apa yang dinyatakan Soekarno itu sejalan dengan pemikiran Gus Dur. Semangat keberagaman, toleransi, dan cinta damai tampaknya masih dan akan terus menjadi PR terbesar bagi para guru untuk ditanamkan kepada murid-muridnya -- lewat pelajaran Budi Pekerti, Sosiologi, atau Kewarganegaraan -- bertahun-tahun ke depan.
Sepanjang hidupnya, tidak semua orang setuju dengan pemikiran dan kiprah Gus Dur. Beberapa kiai menuding Gus Dur sebagai orang yang terlalu liberal. Kecurigaan pun sempat muncul di beberapa kalangan bahwa Gus Dur lebih peduli pada pihak minoritas. Gus Dur mungkin menyadari bahwa toleransi akan menjadi persoalan yang besar di bangsa ini sehingga suatu ketika Gus Dur menimpali, "Mari kita lihat mana yang benar dalam sejarah." Nah, apa yang kita saksikan selama ini, entah itu berbagai aksi terorisme, atau radikalisme dan kekerasan atas nama agama, Â menegaskan bahwa kita masih memerlukan pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang keberagaman, demokrasi, dan toleransi.
Memperingati atau mengadakan selamatan 1000 hari meninggalnya seseorang adalah tradisi di kalangan masyakat Jawa. Peringatan 1000 hari adalah peringatan terakhir, setelah hari ke-3, 7, 40, 100, dan setahun. Sudah 1000 hari Gus Dur meninggalkan bangsa ini, namun apa yang telah diwariskannya mungkin akan terus dipelajari tidak hanya sampai 1000 hari lagi. Selama perdamaian dan toleransi masih menjadi persoalan krusial di negara ini, maka selama itu pula kita masih membutuhkan Gus Dur.
*) Guru PKn SMA Santu Petrus Pontianak, penulis buku 366 Reflections of Life
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H