Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dedikasi Guru-guru bagi Anak-anak Cacat

15 Agustus 2012   14:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 5 November 2011 saya berkunjung ke SLB (Sekolah Luar Biasa) Bhakti Luhur. Istilah SLB ternyata sudah diganti dengan SABK (Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus). Hari masih pagi, sekitar pukul delapan. Di hari ini kegiatan pembelajaran tidak sepadat pada hari Senin hingga Jumat, sehingga saya berkesempatan berbincang-bincang dengan beberapa guru dan melihat-lihat kegiatan pembelajaran di SABK ini. Seminggu yang lalu, 29 Oktober 2011, sebenarnya saya sudah berkunjung ke sini, namun hanya sebentar. Suster Merry, asisten Kepala Sekolah di SABK ini, menemani saya berkeliling ke kelas-kelas, melihat kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Sambil berkeliling dia bercerita kalau pendiri sekolah ini, Romo Yansen, mendirikan sekolah ini karena terilhami perjuangan dan bakti Santo Vincentius, salah satu orang kudus yang dijunjung orang Katolik. Sekolah Bhakti Luhur yang ada di depan Plasa Dieng di Malang ini luas sekali. Di sini ada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB atau SABK. *** Guru SABK Bhakti Luhur yang saya ajak bicara pertama kali adalah Ibu Claudia Merry, yang biasa dipanggil Ibu Merry. Ibu Merry berusia 51 tahun. Saat ini dia menjadi guru kelas di kelas tunarungu (bisu-tuli) tingkat TK B. Dia sudah mengajar sejak tahun 1984. “Saya ingin menjadi guru sejak kecil. Bapak saya seorang guru,” katanya kepada saya. Dia bercerita bahwa mendidik anak-anak bisu-tuli memerlukan kecakapan khusus. Anak-anak tunarungu harus dihadapi lebih sabar dan lebih teliti. Konsentrasi yang diperlukan untuk mendidik seorang anak tunarungu juga tinggi. Belum lagi kalau ada anak yang mogok belajar, dan kadang bertingkah semaunya. Selama mendidik anak tunarungu, Ibu Merry memiliki banyak pengalaman yang mengesankan. Salah satunya adalah ketika ia mendapat seorang murid bernama Jorei. Waktu pertama kali Jorei masuk sekolah, dia sama sekali tidak mau belajar. Hampir setiap hari dia hanya tidur pagi sampai siang. Susah untuk membangkitkan semangat belajarnya. Namun, Ibu Merry pantang menyerah. Salah satu cara yang ditempuh Ibu Merry adalah dengan menyalakan lampu seterang-terangnya saat belajar. Karena, dalam keadaan gelap, si Jorei akan mudah mengantuk. Cara lain adalah dengan membuat banyak alat peraga yang merangsang anak untuk belajar. Karena anak-anak di sini konsentrasi belajarnya tidak seperti anak normal. Jorei yang bisu, tuli, dan low vision (berkemampuan melihat rendah) pada akhirnya berhasil digerakkan motivasi belajarnya. Jorei sangat menyayangi Ibu Merry. Suatu ketika Ibu Merry sakit, dan harus dioperasi kista-nya di rumah sakit. Hampir sebulan Jorei tidak bertemu dengan guru kesayangannya itu. Begitu mereka bertemu, Jorei memeluk Ibu Merry. “Menjadi guru di sini adalah bentuk pengabdian dan pelayanan saya, Mas,” katanya kepada saya. Ibu Merry bercerita kalau murid-murid yang ada di SABK ini tidak sedikit yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. “Bahkan ada yang dulunya di jalanan, kemudian dibawa ke sini, Mas. Dengan latar belakang seperti itu, saya otomatis tidak terlalu memikirkan gaji. Menjadi pengajar sudah menjadi semacam panggilan.” *** Guru kedua yang saya temui adalah Ibu Yustina Rini, yang sering dipanggil Ibu Yustina. Ia sudah berusia 39 tahun, mengajar di sini sejak 1993. Ibu Yustina menjadi wali kelas D3 (Dasar tingkat 3). Hal yang membuat Ibu Yustina tergerak menjadi guru SLB sungguh menarik. Keluarga Ibu Yustina tidak ada seorang pun yang menjadi guru. Suatu hari — saat itu ia masih SMA — ia tertarik dengan kehidupan seorang anak di desanya, desa Gampang Lor, Ambar Ketawang, Yogyakarta. Anak ini tunarungu, dan ia tidak bisa belajar seperti anak-anak lainnya. Orang tua anak itu bekerja sebagai tukang bengkel. Ibu Yustina mencoba mengajari anak ini semampunya, lalu anak itu masuk ke sebuah SLB. Setelah tamat SMA, Ibu Yustina bertekad mengajari anak-anak tunarungu sebanyak-banyaknya. Orang tua dan keluarganya sempat menyarankan ia mengambil pendidikan yang umum saja, untuk anak-anak normal. Namun, Ibu Yustina bersikeras. “Saya rasa sudah banyak orang yang mendidik anak normal,” katanya, “dan masih sedikit yang mau mendidik anak-anak tunarungu.” Ia pun masuk ke SPGLB (Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa) di Wates, Yogyakarta. Mejelang lulus, ada tawaran untuk mengajar di Malang. Di sinilah ia sekarang berada, bersama dengan anak-anak didiknya. Ia bercerita kalau anak-anak muridnya digolongkan bukan berdasarkan usia, namun kemampuan yang mereka miliki. Ada anak yang sudah berusia 15 tahun, tapi masih di kelas D3. Hal ini terjadi karena orang tuanya terlambat memasukkan anaknya ke sekolah. “Sekarang, tetangga saya yang tunarungu itu sudah punya suami, Mas,” katanya kepada saya. “Tiap kali saya pulang ke Yogya, ia selalu menemui dan menyalami saya. Dia sekarang menjadi tukang jahit, dan anaknya sudah dua orang.” Salah satu pengalaman Ibu Yustina yang amat menggugah adalah ketika ia mendapat seorang murid bernama Diar. Diar memiliki sakit jantung sejak lahir. Berdasarkan pemeriksaan dokter, jantungnya harus dioperasi. Orang tua Diar membawanya ke rumah sakit Harapan Kita, Jakarta. Ibu Yustina terkesan dengan semangat belajar Diar. Di rumah sakit pun, Diar tetap bersemangat belajar. Ibu Yustina sampai pergi ke Jakarta juga untuk menemani dan membimbing Diar belajar. Operasi Diar berjalan dengan baik, sekarang ia sudah duduk di kelas D6 (Dasar tingkat 6). “Salah satu tantangan yang terbesar mendidik anak-anak di sini adalah membiasakan mereka berbahasa oral (lewat mulut). Oleh karena itu saya membatasi penggunaan bahasa isyarat,” kata Bu Yustina. Ia memperkenalkan huruf-huruf kepada mereka, dan mengajak mereka melihat gerakan bibirnya saat mengucapkan huruf-huruf itu. *** Setelah berbincang-bincang dengan dua guru di kelas tunarungu tadi, saya diajak Suster Merry bertemu dengan Ibu Lusiana (Ibu Lusi) dan Ibu Ana Tri Astuti (Ibu Ana). Ibu Lusi berusia 43 tahun, sudah menjadi guru sejak tahun 1992. Ibu Ana berusia 38 tahun dan sudah menjadi guru sejak 1995. Mereka berdua adalah guru di kelas tunagrahita.

13450438392075935555
13450438392075935555
“Pada intinya, anak-anak tunagrahita adalah anak-anak yang slow learner,” kata Ibu Lusi. “IQ mereka umumnya di bawah 80.” Anak-anak tunagrahita ada yang menggunakan kursi roda sepanjang waktu. Ada yang berjalan lambat dan tertatih-tatih. Ada juga yang raut wajahnya unik. Beberapa anak di sini juga ada yang tergolong down syndrome. Tak sedikit anak-anak tunagrahita yang susah diatur, sangat nakal. “Mengajari mereka sangat memerlukan ketelatenan. Apa yang diajarkan harus sering diulang-ulang,” kata Ibu Ana. Ibu Lusi dan Ibu Ana sama-sama menegaskan kalau mengajari anak-anak tunagrahita harus kreatif dan inovatif. Anak-anak normal mungkin betah bila diberi ceramah 15-20 menit, namun tidak demikian dengan anak-anak ini. “Tantangannya terutama dalam menciptakan alat peraga yang menarik sehingga anak-anak ini bisa diajak berpikir,” kata Ibu Ana. Sama seperti Ibu Lusi, Ibu Ana juga menyatakan dia selalu memikirkan cara agar target pembelajaran tercapai. “Kadang, bila suatu materi susah dipahami, saya selalu memikirkan alat peraga apa yang pas dipakai untuk anak-anak. Kadang, sampai rumah pun masih terus saya pikirkan.” *** Hari semakin siang. Saya sangat senang dengan apa yang saya temui dan alami hari ini. Suster Merry yang menemani saya akan pergi ke Blitar, ke sebuah desa kecil untuk melakukan tugas-tugas pelayanan edukasi dan gerejawi. Saya menyempatkan diri mengambil foto-foto di SABK Bhakti Luhur. Kira-kira jam sebelas siang, saya meninggalkan sekolah ini. Selalu ada sisi menarik dari dunia pendidikan, selalu ada suka-duka di dalamnya. Para guru selalu memiliki kisah yang inspiratif saat mendidik dan mengajar para muridnya. Begitu pula para murid dalam menempuh pendidikan — selalu ada murid yang semangat hidup dan kegigihannya menginspirasi banyak orang. Para guru dan murid ini hidup melampaui batas-batas penghalang, berupaya menempuh pendidikan karena keyakinan akan adanya hari depan yang lebih baik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun