Beberapa hari silam saya sempatkan jalan-jalan ke kota Magelang, kebetulan disana terdapat acara konser virtual "Sound of Borobudur" yang digawangi oleh Trie Utami, Purwacaraka, dan Dewa Bujana. Turut hadir juga Gubernur Jawa tengah, Ganjar Pranowo, saya sempat bicara dengan teman saya dari Magelang, "Jujur saya bosan sama tampilan yang ada di Candi Borobudur" dia langsung tertawa, "Lho, kenapa?" Tanyanya ke saya. Saya ceritakanlah, saya sebetulnya sudah berkali-kali berkunjung ke Candi Borobudur dan tidak ada kesan yang membekas selain hanya melihat Candinya saja.Â
Sesudah melihat Candi, memegang Stupa, kemudian saya langsung pulang. Tidak ada niat untuk berlama-lama liburan disana, dari Magelang biasanya saya langsung pergi ke Jogja, disana banyak hal yang bisa saya lakukan. Mulai dari berbelanja, melihat-lihat Keraton Jawa dan sebagainya. Sehingga saya akhirnya memiliki persepsi sendiri, Candi Borobudur adalah salah satu destinasi wisata kalau sedang berlibur ke Jogja. Padahal Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berbeda daerah dengan Jogja.Â
Teman saya dari Magelang pun bercerita, "Bukan kamu saja yang berkata begitu, turis asing pun sama" makannya lebih banyak turis asing yang memilih berlama-lama wisata ke Jogja daripada berwisata di sekitar Candi Borobudur. Yang dijual Jogja itu budayanya, sehingga kalau turis asing datang kesana mereka sangat merasakan budaya jawanya dan menjadikan Jogja menjadi lebih hidup. Sedangkan Candi Borobudur benda mati, kehidupan budaya disekitarnya tidak hidup, akhirnya Borobudur hanya sepintas wisata numpang lewat saja.Â
"Hal ini yang mau kita rubah" ucap pemandu wisata Borobudur kepada para pengunjung, saya lalu ikut Tour keliling disekitar wilayah Candi Borobudur, ternyata memang mereka sedang berbenah. Rumah-rumah penduduk di desain supaya bisa menjadi homestay yang menyenangkan dan nyaman, balai-balai desa dibangun supaya bisa menjadi tempat kongkow turis asing dan merasakan kultur budaya jawa yang terasa kental. Ini jelas sebuah pekerjaan yang besar, butuh waktu tahunan supaya wajah Candi Borobudur bisa berubah. Bisa dikatakan berhasil, bisa juga dikatakan gagal, mental warga sekitarlah yang juga harus ikut serta merubahnya.Â
Penduduk sekitar Borobudur harus sadar bahwa wisata budaya itu lebih menarik bagi turis asing maupun lokal daripada sekedar wisata mata. Contohnya Bali, kalau kita pergi ke Bali bukan karena pantai Kutanya atau karena tari kecaknya yang kita cari. Tetapi ke-khasan masyarakatnya yang tetap mempertahankan budaya mereka sehingga menjadi kuat ditengah terpaan arus modernisasi yang hebat. Bali itu merupakan wisata budaya, bukan wisata yang memanjakan mata saja.Â
Disana kita seperti masuk ke dalam kehidupan lain, yang berbeda jauh dengan tempat yang biasa kita tinggali. Mulai dari cara berpakaian mereka, bangunan rumah-rumah mereka, musik-musik daerahnya, tempat ibadah mereka, bahkan sampai aroma bau dupanya selalu terngiang bagi setiap pengunjung baru. Ditambah lagi tempat makanan yang berbeda serta kaya rasa. Hal ini yang membuat turis asing selalu ingin kembali kesana, karena Bali meninggalkan kesan yang mendalam di dalam pikirannya. Â Â
Bali hanyalah pulau kecil yang memiliki destinasi wisata segalanya, mulai dari A sampai Z sehingga menjadi Bali sebagai destinasi wisata internasional yang terkenal. Sedangkan Candi Borobudur hanya punya C doang, yaitu Candi, turis asing pun bosan jadinya karena tidak bisa mengeksplor lebih dalam mengenai budayanya. Bisakah Pak Ganjar mengubah Candi Borobudur menjadi wisata budaya? tidak akan bisa, sebelum semua masyarakat Magelang sepakat untuk ikut berubah dan mengedepankan budaya Jawa mereka, sehingga ketika turis local dan asing datang ke Borobudur merasa terkesan dengan kulturnya, bukan hanya jualan view Candinya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H