Berkunjung ke Jogyakarta, kita disuguhi berbagai macam media komunikasi luar ruang (poster, coretan dinding, spanduk) bertuliskan Anti-Premanisme, I Love Kopassus, Jogja Berhati Nyaman, dll. Tidak ada yang salah dengan segala materi komunikasi tersebut. Kita memang harus mendukung pemberantasan preman dan premanisme sesuai dengan ketentuan hukum, mendukung kinerja Kopassus dalam segala tindakan mengawal demokrasi dan mewujudkan kedamaian hingga berujung pada kenyamanan hidup di Jogyakarta. Kejanggalan muncul ketika menyadari bahwa komunikasi ini dipublikasikan setelah kontroversi penyerangan lapas Cebongan oleh oknum Kopassus.
Secara kontekstual, materi-materi komunikasi tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap kekuatan militer. Terlepas dari pembuat materi komunikasi tersebut, warga atau para pendukung Kopassus tentu sudah merasa tidak nyaman lagi dengan kondisi Jogyakarta. Keamanan di Jogyakarta dianggap tidak lagi kondusif. Mencuatnya isu premanisme yang diusung oleh media disertai dengan pengagung-agungan jiwa korsa Kopassus menjadi sebuah alasan permisif untuk potong jalur. Jalur cepat dalam mewujudkan keamanan adalah dengan pemberantasan preman, bukan premanisme.
Dukungan terhadap jalur cepat ini mungkin saja menimbulkan simplifikasi di kemudian hari. Kalau ada preman, undang Kopassus, bunuh saja. Ini hanya kemungkinan. Simplifikasi ini muncul karena kita tidak mau memahami preman dan premanisme. Padahal, preman dan premanisme adalah dua terminology yang berbeda. Preman merujuk pada subjek yang kebanyakan adalah warga sipil yang punya hak asasi dan sebaiknya dilindungi oleh hukum, KBBI juga mengartikan preman sebagai bukan militer. Premanisme merujuk pada sebuah paham (-isme), sehingga semua orang yang punya paham untuk berbuat jahat termasuk orang dengan paham premanisme. Istilah preman dan premanisme menjadi popular sejak orde baru, sejak keamanan Negara dijamin oleh kemunculan penembak misterius (Petrus). Hak untuk hidup dan proses hokum menjadi tidak popular saat itu.
Sekarang, pertanyaan terbesar adalah mengapa tidak ada materi komunikasi yang menuliskan I Love Warga Sipil? Bukankah dengan reformasi kita berbicara tentang hak-hak warga sipil? Bukannya kita sekarang terlepas dari belenggu otoritas kekuasaan dan berusaha mewujudkan dan menanamkan keadilan di mata hukum? Atau, reformasi hanya sebuah gerakan liberalisasi yang berujung pada kebebasan mengomersialisasikan ruang-ruang public, bukan pada penjaminan hak asasi?
Pertanyaan tersebut penting untuk merefleksikan kembali reformasi. Reformasi adalah sebuah upaya pencapaian demokrasi, melepaskan warga sipil dari kekuasaan otoriter. Basis dari demokrasi adalah penegakkan hukum dan HAM. Kembali pada preman dan premanisme. Komunikasi anti-premanisme bisa dibelokkan menjadi simplifikasi terhadap pemberantasan preman. Setelah mengetahui arti dua istilah tersebut, mana yang harus diberantas lebih dahulu: Premanisme warisan orde baru atau preman yang adalah subjek hukum? Mana yang merupakan semangat reformasi: memberantas preman/premanisme dengan upaya dialogis sesuai ketentuan hukum atau membunuh orang yang dianggap preman dengan senjata?
Pemahaman upaya dialogis yang menjadi pertanyaan harus diawali dengan mengetahui kondisi kebudayaan dan social di Jogyakarta saat ini. Jogyakarta dan warganya masih dalam euphoria keistimewaan, ini adalah sebuah gerakan kultur regional. Di lain sisi, Jogyakarta merupakan miniature Indonesia. Pemberian predikat sebagai Kota Pelajar membuat Jogyakarta menjadi tujuan pendidikan (hingga pascapendidikan atau kerja) orang dari seluruh Indonesia. Orang-orang ini membawa kultur masing-masing di tengah euphoria gerakan kultur regional. Potensi benturan nilai tentu bisa terjadi dan pemikiran emosional yang mengacu pada keistimewaan yang harus dijaga bisa menjadi alasan permisif segala bentuk tindakan represif terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai masyarakat Jogyakarta.
Kasus cebongan dan pascacebongan (publikasi materi komunkasi anti-premanisme, dsb) merupakan salah satu bukti benturan tersebut. Labelisasi preman terhadap etnis tertentu mungkin saja terjadi, Pemberitaan santer terhadap kasus cebongan dan pra-cebongan (penusukan Sertu Santosa oleh beberapa warga NTT) yang muncul sebelum aksi Anti-Premanisme bisa membawa warga pada pemahaman bahwa premanisme (yang diartikan sebagai preman) adalah warga NTT. Konsekuensi-konsekuensi multicultural muncul, mulai dari pengasingan, pelabelan dan penuduhan. Isu terbaru yang muncul adalah tersebarnya broadcast message penyerangan anggota TNI AD oleh empat orang warga timur di Babarsari awal Mei lalu. Kabar yang ternyata bohong ini sempat memanas pula di beberapa kanal jejaring social.
Sesuai basis demokrasi: penegakkan HAM, tentu penghilangan hak atas rasa aman dan hak untuk bersosialisasi dan hak untuk hidup adalah tindakan yang tidak bisa diterima. Mendukung tindakan oknum Kopassus di lapas Cebongan sama dengan mendukung penghapusan demokrasi yang digalang saat reformasi. Oleh karena itu, upaya dialogis dan penegakkan hukum dalam masalah-masalah multikultur semacam itu perlu diwujudkan. Misal, DIY dan Pemda daerah melakukan sosialisasi dan inisiasi cultural, bukan dalam rangka menghilangkan kebudayaan tetapi memudahkan adaptasi warga non-Jawa yang akan tinggal di Jogyakarta. Upaya dialogis dengan pertemuan-pertemuan multikultur macam FPUB (forum umat beragama) perlu menjadi perhatian dalam mewujudkan ruang-ruang komunikasi dan toleransi. Keistimewaan Jogyakarta bisa terwujud dengan mengawal demokrasi berbasis multikultur semacam ini.
Dengan mengesampingkan konteks, kita perlu mendukung materi komunikasi yang muncul di Jogyakarta. Mendukung anti-premanisme bukan sebagai dukungan atas penghilangan nyawa orang lain, tapi sebagai semangat untuk menumbuhkan semangat kemanusiaan, menghilangkan warisan kekerasan di masa lampau. Mencintai Kopassus bukan sebagai subjek pelaku pelanggaran HAM dan hukum, tapi menghargai jiwa korsa mereka dalam perwujudan kedamaian di dalam dan luar negeri sesuai ketentuan hukum. Mendukung Jogja yang berhati nyaman bukan karena terusirnya orang non-Jawa tapi karena terwujudnya saling pengertian. Di 15 tahun reformasi ini kita juga perlu menambah satu materi komunikasi: I Love Warga Sipil, karena kita adalah subjek demokrasi, kita yang mewujudkan, mengawal dan mengevaluasi jalannya demokrasi. Kita yang juga mewujudkan basis-basis demokrasi (penegakkan hukum dan HAM) sebagai landasan hidup berdemokrasi. Kita dukung demokrasi sebagai semangat awal para pejuang reformasi. I Love Warga Sipil!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H