Mohon tunggu...
Sidhi Vhisatya
Sidhi Vhisatya Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Berjalan dalam Gelap dan Hujan

29 November 2012   05:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:30 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diambil dari vopus.org

[caption id="" align="alignnone" width="301" caption="diambil dari vopus.org"][/caption] Sajak Sang Gelap sayup bergemericik di sebuah desa yang tak pernah lepas dari kegelisahan. Layaknya seorang kawan, gelap itu turun merangkul terang. Perlahan, dijatuhkannya butiran, dihujamkannya bertubi-tubi, menghasut surya untuk segera pergi. Dia mulai melagu bersama laju seorang ibu.

Keriput di wajahnya tak lagi tersamarkan. Kerudungnya hanya menutup sebagian resah, tidak menghapuskan segala sesak. Perempuan itu dipanggil ibu, oleh siapa saja yang merindukan sosok ibu. Dia mulai berlagu bersama gemericik tetes hujan. Menemani gelap menghabiskan sisa malam.

Dihampirinya relung-relung kegelisahan, menghembuskan bisikan-bisikan. Dari jauh dia datang, hadir setiap surya menghilang. Berjalan sendirian, dia akan berhenti di depan daun pintu rumah seseorang. Membisikkan lembut nafas wangi. Pelan, semerbak melewati tubuh lawan bicaranya. Hanya daun pintu yang menangkap getar suaranya, telinga tak bisa.

Ujarnya, “Biar saja malam mengambil siang, air membasahi tanah panas,” pada orang-orang yang mulai tak tenang. Tidak lewat telinga, bukan juga membaca gerak pada katup bibir, hanya sorot matanya yang berbicara. Mulutnya menabur semerbak wangi jiwa.

“Biar gelap hadir di jiwa kita,” selalu berucap demikian sebelum meninggalkan yang empunya rumah. Dia pergi, menghampiri rumah satu dan lainnya meninggalkan jejak tanya atas sorot rahasia di matanya.

Begitu pula malam ini, saat surya pergi sebelum waktunya. Di balik hujan muncul sosok dengan kerudung putih dengan garis biru. Muka keriput dan sorot mata penuh rahasia. Dia tersenyum melihatku sudah di depan pintu, seolah berusaha memaksanya mengungkapkan sesuatu yang selalu dia bawa.

“Mampir dulu, Bu. Ibu terlihat sangat basah,” aku sudah menyiapkan teh hangat, sengaja menyambut kedatangannya yang selalu tiba-tiba.

“Tidak usah, seperti biasa aku hanya ingin berkata jangan gelisah,” tolaknya halus.

“Ibu tidak kedinginan? Kasihan kulit ibu yang sudah mengerut disentuh hujan.”

“Semakin banyak istirahat, semakin malam saya selesai memberi tahu orang-orang untuk tidak gelisah. Hujan ini tidak sebentar, orang-orang akan tidur lebih cepat. Mereka menyimpan bimbang dalam tidur yang mendengkur.”

“Baiklah Ibu, silahkan bawa bekal ini agar tidak lagi menggigil,” sambil menyodorkan botol hangat berisi teh aku mencoba memperhatikannya dengan seksama, “Salam untuk kegelapan yang selama ini menyentuh hati Ibu,” aku sedikit berteriak karena dia sudah berjalan menjauh setelah menerima botol aluminiumku dengan senyum.

Aku masuk kembali ke dalam rumah. Hawa dingin ini membuatku ingin segera merangkul mimpi. Kubaringkan diriku dalam sehelai kehangatan, membayangkan betapa kasihan gigi-gigi sang Ibu yang bergertak terus menerus. Lelah? Tidakkah dia lelah?

Aku teringat kisah sang Ibu, ketika suatu malam gelapnya malam justru membuat seisi jalanan gerah. Bercerita bahwa tak sedikit orang menolaknya. Caci dan makian adalah pakaian yang dikenakan mereka agar terlihat mewah, tidak gelisah. Dari luar, bagi orang-orang dengan mata dunia, mereka akan terlihat anggun. Perhiasan melekat anyep, meredakan gerah karena pakaian yang terlalu mewah.

“Bukankah itu bukti jika mereka gelisah?” ujar Ibu saat itu, “Tapi mereka memang tampak tak gelisah, kecuali saat mereka mengeluarkan makian.”

“Mungkin, mereka merasa tersindir dengan ucapan Ibu: Biarkan gelap hadir di jiwa kita,” bimbang, tapi kadang aku juga bingung mengapa kata itu yang selalu dioucapkannya.

Diam. Dia tidak memberi jawab, hanya tersenyum dan mengucapkan kalimat itu sekali lagi, kepadaku. Aku tertunduk. Gila! Ibu ini gila! Begitu pikirku.

Daun pintuku tersentuh hembus angin. Aku tidak mnedengar, tapi ada bagian dari diriku yang melihat. Aku segera menuju keluar, menghentikan sebentar pertemuan lalu dengan Ibu.

“Nak, masih kau punya teh hangat? Anak ini kedinginan dan basah!” seru Ibu dengan mata sayu, kelelahan.

“Masih, Bu,” suaraku tertelan deru hujan, aku menghampiri Ibu.

“Mengapa kau bawa anak ini padamu? Padahal kau belum menjawab pertanyaanku?” Aku baru sadar ketika aku sampai di teras rumah, kalau suaraku tak sejelas bisikan bibirnya saat deru hujan menjadi lebih mayor.

“Masih, Bu. Masih ada satu gelas tersisa,” aku mengulangi sekali lagi ucapanku sambil mengambilkan sisa teh hangat untuk sang anak.

“Kalau begitu aku harus mencari rumah lain untuk anak-anak yang lain,” Ibu itu mengecup kening sang Anak lalu pergi berlalu. Di tengah jalan dia membalikkan badan, berseru dengan lantang, “Akan kuambil anak itu setelah aku selesai, akan kubayar semua teh yang kauberikan termasuk yang sebotol tadi.”

Aku ambil sehelai kehangatan untuk anak yang dititipkan Ibu. Dia tampak senang, walaupun badan kurus keringnya sama sekali kontras dengan perasaanya.

“Tidakkah kau kedinginan, nak?” tanyaku saat dia tak juga mengambil kehangatan yang kutawarkan.

“Tidak, aku merasa hangat dalam gelap,” jawabnya.

“Kau ini siapa? Malam ini hujan disertai angin, aku pun tak kuasa menahan dinginnya hari,” aku benar-benar merasa aneh dengan jawaban si Anak.

“Aku tadi tersesat, aku merasa semua gelap. Aku pergi dari keramaian,” dia menitikkan sedikit air mata, tapi bibirnya tetap menyungging senyum, “lalu aku bertemu Ibu, dia yang selalu berkata: Biarkan gelap tinggal di jiwa kita!

Dia menceritakan perjumpaannya dengan ibu. Sekitar tiga hari yang lalu. Perjumpaan itu membuatnya menyadari betapa gelap yang tinggal di jiwanya selama ini telah berdamai dengan pikirannya. Hari ini dia dan kesepuluh temannya merasa mengetahui misteri dibalik ucapan Ibu, dia bersorak gembira dan berlari mengitari desa untuk mencari Ibu. Di setiap rumah yang mereka lewati, mereka berteriak Biar gelap hidup di jiwa kita! Sebelum akhirnya ada keluarga yang melempari mereka dengan buah-buah busuk, setiap buah tersebut sudah digigit oleh yang empunya.

Sudah tiga jam lamanya mereka belum juga menemukan Ibu, hingga mereka kelelahan dan turunlah hujan. Dingin dan gelap tak menyurutkan niat mereka, justru membuat semangat mereka makin membara. Akibatnya, mereka terlalu lelah dan tertidur pulas di bawah atap sang malam. Kuyup.

Ibu kebetulan hadir dan dengan tergesa-gesa membangunkan mereka dengan bisikan lembut. Ada yang menggigil, ada yang bibirnya sudah membiru dan ada pula yang tak mampu lagi bergerak. Digendongnya mereka menuju teras rumah paling kecil dan jorok di desa, “Ibu memberi mereka, yang tak kuasa menahan dingin, minuman dari botol aluminium. Ibu mengambil botol itu dari sela-sela jantungnya, menyimpannya agar tetap hangat.” Anak itu dibawa kemari karena rumah kecil tersebut tak mampu menampung lebih dari lima orang.

“Lalu, apa yang kau ketahui tentang ucapan sang Ibu?” tanyaku masih terheran-heran dengan kepercayaan diri sang Anak yang mengaku mengerti itu.

“Gelap sebenarnya berkawan dengan terang. Habis terang, akan ada malam. Begitu pula habis malam akan ada terang,” jawabnya sambil menatapku penuh yakin, “Semakin aku menolak gelap, semakin banyak hal yang membuatku gelisah karena toh aku harus berhadapan dengan gelap ketika surya sudah lelah.”

“Aku tak mengerti, apa yang membuatmu tetap hangat di malam dengan badai seperti ini?”

“Karena aku telah berdamai dengan gelap dan membiarkannya berangkulan dengan diriku. Saat itulah, ada yang menyentuh tubuhku dengan kehangatan,” anak itu mengucapkan hal yang membuatku semakin bingung.

Belum juga bingungku reda, hujan mulai rintik-rintik semakin pelan. Ibu tampak dari kejauhan dengan pakaian basah kuyup.

“Untunglah, hari ini banyak gelap yang datang. Bersyukurlah kita tak lagi menggerutu saat mereka datang, begitulah kalau kau sudah terbiasa, nak,” ujarnya mendekati si anak, “Terima kasih sudah membantu, ini uang yang saya punya, kekurangannya akan kuberikan besok, bagaimana?”

“Tak perlu, ambil saja uangnya untuk mereka makan,” tolakku.

“Terimalah! Tidak baik menolak apa yang diberikan orang,” Ibu diam sejenak seolah mencari alasan agar aku mau menerima beberapa sen uang yang digenggamnya, “Ini adalah hadiah untuk keikhlasanmu membantu mereka lepas dari dingin.”

“Mereka sudah hangat tanpa kuberi pelukan, Ibu. Ibu yang memberikannya,” aku berpikir sejenak. Wajahnya berubah jadi tidak ceria dan memohon padaku agar menerima uang itu,”Baiklah, aku terima. Tapi, ijinkan saya membantu Ibu berkeliling desa mencari kehangatan.”

“Besok aku akan datang lagi kemari. Seperti biasa, setelah surya menghilang.”

“Di manakah rumah Ibu?”

“Setelah aku mengantarkan anak ini dan teman-temannya ke rumah cukup teduh, tak ada yang akan tahu dimana rumahku.” Mereka berlalu, basah kuyup. Senyum mereka melebar, Ibu merangkul si Anak dengan cinta.

Begitulah, setiap hari setelahnya aku membantu membawakan kehangatan untuk orang-orang yang gelisah di malam gelap. Makin banyak anak tersesat masuk ke desa, semakin banyak pula orang yang membantu menyingsingkan lengan dan menenteng bisikan harum sang Ibu.

Ketika banyak orang tahu tentang kabar Ibu, maka desaku pun menjadi terkenal. Ada Ibu di desa itu! Ujar para pengembara yang kebetulan lewat, atau orang tersesat yang butuh penghiburan.

Seisi desa sekarang sadar. Mereka menanggalkan baju gelisah mereka, menyisihkan untuk anak-anak tersesat. Mereka berdamai dengan gelap dan berangkulan hangat. Hingga suatu hari terjadilah hal yang mengejutkan.

Waktu sudah menunjukkan waktu yang malam. Surya tak juga mau turun. Kami seisi desa menantikan kedatangan sang Ibu. Dia tak akan datang kalau surya belum mau menghilang. Jengkerik pun tampak gelisah.

“Tugasku sudah selesai,” ada bisikan lembut, harum, entah dari mana datangnya.

Kami mencari Ibu ke seluruh penjuru desa. Tak ada yang tahu di mana dia tinggal. Hingga kami menemukannya sedang tersungkur di sudut rumah yang dia bangun untuk anak-anak tersesat. Tak ada lagi gerak, bisikan tadi adalah bisikan terharum. Bisikan itu terdengar ke seluruh penjuru dunia.

Esoknya desa kami ramai oleh orang-orang yang ingin mengintip jasad sang Ibu. Aku mendengar bisikannya semalam, dan aku harus datang kemari! Ujar para pendatang satu dengan yang lainnya. Aku hanya bisa tersungkur, menangis. Ibu ini tak pernah kenal lelah, tak pernah mengeluh, walaupun banyak orang mengoles kotoran di wajahnya. Dia tetap harum. Semerbaknya meluas hingga seluruh penjuru dunia.

Biar gelap hadir di jiwa kita, maka kita akan tahu bahwa cinta yang sesungguhnya mampu merangkul sang malam, menghadirkan terang yang harum. Menghalau segala kegelisahan yang kamu takutkan. Aku berbisik sendiri dalam hatiku, aku melihat sosoknya dalam mata batinku. Aku melihatnya. Ibu Theresa, perempuan yang berjalan dalam gelap dan hujan.

[caption id="" align="alignnone" width="320" caption="diambil dari: kuatabuasmi.files.wordpress.com"]

diambil dari: kuatabuasmi.files.wordpress.com
diambil dari: kuatabuasmi.files.wordpress.com
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun