Mohon tunggu...
Sidhi Vhisatya
Sidhi Vhisatya Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pabelan: Peradaban di Sungai Dua Gunung

30 Juni 2012   00:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:24 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_191580" align="alignleft" width="448" caption="sungai Pabelan"][/caption]

Desember 2010, salah satu jembatan yang menghubungkan Provinsi DIY dan Jawa Tengah rubuh. Lalu lintas padat merayap. Jalur-jalur alternatif, melalui Kulon Progo, Borobudur maupun jalur-jalur tikus, banyak dicari untuk menghindar dari kemacetan.

Ketika lahar dingin mengalir lewat sungai Pabelan, getaran hebat mengguncang daerah-daerah sekitarnya. Sungai pabelan banjir, begitu orang-orang berteriak panic. Tidak heran, beberapa jembatan yang melintas di atas sungai, salah satunya adalah ruas jembatan timur jalan raya Jogja-Semarang di Muntilan, runtuh. Transportasi lumpuh sementara waktu. Sekolah-sekolah di desa, antara lain di Kecamatan Sawangan dan Dukun, libur karena siswanya kesulitan menyeberang. Pasar Talun di Kecamatan Dukun pun sepi pengunjung. Hanya terlihat truk-truk penambang pasir, yang dilengkai dengan handietalkie untuk menilai keamanan sungai, yang hilir mudik di sekitar sungai.

Kini, hamper dua tahun bencana Merapi 2010 terlewati. Masyarakat mulai berbenah. Jembatan-jembatan yang dulunya rusak, dengan bantuan dana pemerintah, mulai dibangun kembali walaupun di beber

apa titik masih dibuat versi sementaranya. Salah satu situs candi dipindah karena lahan yang tergerus banjir. Masyarakat desa yang sawahnya terseret banjir mulai mencari lahan pekerjaan baru, mengeruk pasir.

Sungai Pabelan masih menyimpan misteri. Tim Pelesir melakukan pelesir ke beberapa bagian dari sungai Pabelan untuk mengetahui cerita di baliknya. Sungai Pabelan adalah tujuan yang sekaligus mengiringi perjalanan menyusuri beberapa tempat wisata alam dan situs sejarah di wilayah Taman Wisata Gunung Merapi. Kedung kayang, salah satu tempat wisata yang sudah dikenal luas, hingga situs-situs candi di sekitar sungai menjadi jawaban atas misteri sungai Pabelan.

Sungai Pabelan: Mitos di Kedung Kayang

13410168711382908285
13410168711382908285

Konon, monyet-monyet berkumpul di atas air terjun saat Kamis wage malam. Malam Jumat Kliwon, bunyi gamelan mengiringi gemericik air terjun. Sungai Pabelan dianggap sebagai berkah karena menyediakan air bagi warga sekitar. Berhulu di sungai Merbabu dan merupakan pertemuan beberapa sungai Merapi. Kedung Kayang, yang merupakan salah satu ruas sungai Pabelan, dianggap sebagai berkah.

Kedung kayang berada di dusun Wonolelo. Sekitar 1o menit perjalanan dari Ketep Pass kea rah Boyolali. Kedung Kayang adalah nama untuk air terjun. Aliran sungai Pabelan di sepanjang tempat wisata ini menjadi batas antara Kabupaten Magelang dan Boyolali.

Dahulu terdapat tiga empu yang beradu kesaktian: empu Panggung, Putut dan Khalik. Mereka percaya pada Kyai Gadung Melati dan Nyai Widari Widari Welas Asih sebagai pelindung Kedung. Kedung adalah diksi Jawa untuk ceruk atau relung, Kayang diberikan sebagai gambaran tegaknya asal air terjun.

Diceritakan ketiga empu ini melempar telur ke arah kedung, melewati sambaran air terjun, Barangsiapa yang telurnya berhasil sampai kedung tanpa pecah, dialah yang menang. Tidak da satupun yang berhasil, cangkang telur hilang dan berubah menjadi mata air yang kini sering digunakan untuk bertapa.

Airnya jernih, dingin dengan udara sejuk. Warganya ramah dan masih erat persaudaraannya. Wilayahnya hijau, rimbun tembakau tumbuh di sepanjang jalan menurun. Kira-kira 10 menit, melewati turunan curam, kita dibawa ke aliran tenang sungai Pabelan yang berasal dari Merbabu. Aliran ini turun menuju ke timur (daerah dusun Tumpang-Talun) dan bergabung dengan air Sungai Apu, Senawa dan Trising yang merupakan sungai-sungai Merapi. Bebatuan besar dan pasir yang melimpah menjadi ciri khas aliran sungai ini. Kedung Kayang cocok menjadi tempat wisata alam yang menenangkan pikiran.

Mitos tentang sumber mata air baru di Kedung Kayang semakin menguatkan barokah sungai Pabelan. Sekalipun begitu, Kedung Kayang punya rekaman menyeret beberpa mahasiswa Semarang yang sedang berlibur. Sungai Pabelan, masih menyimpan misteri.

“Ya senang tinggal di sini. Alami, walaupun hidupnya prihatin. Pabelan itu berkah buat kami,” ujar Tarto Kliwon (60), penjual makanan di kawasan wisata.

Bukti Peradaban

Berangkat dari SDK Kanisius, Sawangan (sekarang SD Santa Maria), para siswa berseragam olahraga biru berjalan beriringan. Mereka punya satu agenda sendiri setiap tahun, hiking. Para siswa berasal dari daerah dengan kontur gunung, mereka terbiasa berjalan kaki melewati bebatuan. Tujuan mereka saat itu adalah situs-situs candi di Sengi, Dukun.

“Kami dahulu sangat senang hiking. Tidak ada kegiatan belajar mengajar, kami berpetualang,” ujar Budi Hartanto (42), lulusan SDK Kanisius, Sawangan.

Jembatan Mbeli yang menghubungkan dusun Tlatar dan Sengi masih terbuat dari bamboo saat itu. Anak-anak ini berjalan kaki melewati jembatan dan menghindari alang-alang. Candi Asu, di depan SD Negeri Sengi menjadi tujuan pertama. Candi ini terletak di tepi jalan, tidak terlalu sulit ditemukan.

Candi Asu punya ukiran yang khas. Asu atau anjing yang dirangkai sebagai simbol tertentu dilengkapi dengan beberapa ukiran lumbung. Ada undak-undakan yang bisa dilalui. Puncak Candi Asu memiliki sebuah lubang, dikenali sebagai sumur.

Setelah Candi Asu, situs berikutnya adalah Candi

[caption id="attachment_191581" align="alignleft" width="299" caption="candi asu dari depan"]

1341017007475840022
1341017007475840022
[/caption] Lumbung. Tipenya terlihat mirip Candi Prambanan. Tinggi menjulang. Dahulu, candi hindu ini terletak tepat di tepi sungai Pabelan. Saat banjir hebat yang merobohka beberapa jembatan, area candi ini pun ikut longsor. Candi Lumbung terpaksa di pindahkan di dusun Tlatar tujuh bulan lalu. Berbeda dengan Candi Asu yang terbuka, puncak Candi Lumbung mirip dengan Candi Ganjuran, hamper semuanya tertutup kecuali bagian tengah atapnya yang memantulkan cahaya. Agar tidak banjir saat hujan, atap berlubang ini ditutupi dengan plastic padat berwarna biru bening oleh pemerintah.

Sesuai dengan namanya, Candi Lumbung mempunyai ukiran lumbung (seperti kendi). Tidak ditemukan lubang seperti sumur. Warga sekitar percaya bahwa candi ini dulunya digunakan sebagai tempat penyembahan dan pemberian sesaji berupa bahan-bahan makanan. Ruang yang hamper tertutup semua memungkinkan sesaji ini tidak basah oleh hujan dan bisa digunakan kembali ketika pancaroba tiba.

Candi Pendem adalah situs sejarah ketiga yang ada di sekitar sungai Pabelan. Untuk mencapai situs ini, motor harus dititipkan di pelataran warga. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak, melewati area persawahan warga juga rumpun ilalang tajam. Trepencil dan sedikit jauh dari jalanan.

Tipe candi ini mirip dengan candi Asu. Letaknya pun hanya berkisar 100 meter di belakang Candi Asu. Terdapat sumur di tengahnya. Ukirannya mirip dengan andi lumbung, hanya ditambah ukiran Gupala. Di Candi ini rombongan SDK Kanisisu beristirahat dan menyantap bekal mereka.

Ketiga situs ini menjadi penanda peradaban yang muncul di sungai Pabelan. Sungai Pabelan adalah berkah tersendiri. Mengisi sumur-sumur yang ada di Candi Asu dan Pendem, membawa kemakmuran yang bisa disimpan di Candi Lumbung.

[caption id="attachment_191582" align="alignleft" width="448" caption="Candi Pendhem"]

1341017050800649304
1341017050800649304
[/caption]

Sungai Pabelan Dahulu dan Sekarang

Lir-ilir,

Lir-ilir,

Tandure wong sumilir,

Tak ijo royo-royo……

Lagu tersebut mengiringi langkah anak-anak ingusan menyari jagung jali. Sambil mencari jagung jali, mereka sesekali merapikan jembak, salah satu jenis sayuran yang ditanam di tengah-tengah sungai. Air di sungai Pabelan, ruas dusun Krogowanan, masih jernih dan lumayan dalam. Sambil beristirahat, anak-anak kecil ini membuka pakaian, telanjang, dan melompat ke arah sungai. Tidak ada ketakutan saat berenang, kecuali takut dimarahi orang tua karena basah-basahan.

Selesai membasahi tubuh dan melampiaskan bakat melompat, mereka merangkai jagung jali. Jagung jali hitam keras dilubangi tengahnya. Menggunakan batang rumput teki yang sudah disiapkan, mereka menelusur lubang jali-jali yang ingin dirangkai. Jadilah gelang atau kalung. Mereka pulang dan siap dimarahi orang tua masing-masing.

Sejak 10 tahun lalu sungai Pabelan berubah. Truk-truk liar banyak berdatangan, bahkan beberapa pernah terjerumus di sungai. Aktivitas masa kecil tersebut sulit dilakukan. Malu, begitu anak-anak sekarang mengungkapkan keengannannya bermain di sungai Pabelan.

“Mbelan (Pabelan, red) sudah tidak bisa dijadikan tempat main. Anak kecil yang kesana pasti hanya membantu orang tua menambang pasir, kalau tidak ya tidak akan ke sana. Sudah jelek,” ujar Lidwina Dyah (23), Mahasiswa UNY yang berasal dari Dusun Krogowanan.

Setelah banjir lahar dingin, lebar sungai bertambah. Sawah-sawah di tepi longsor dan mengikis sekitar dua puluh meter tanah di masing-masing sisi. Aliran yang terlihat pun kecil, cethek (tidak dalam), penuh dengan pasir. Aktivitas enambang pasir tampak mayor. Tanaman jagung jali jarang ditemui. Tak lagi bisa digunakan untuk melampiaskan nafsu nakal anak-anak jaman dahulu.

Pabelan, sungai yang mengandung banyak misteri. Pabelan sekaligus menjadi sumber lahirnya berkah peradaban masa Hindu. Kini, sudah banyak berubah. Hamparan pasir tampak indah. Sayang limbah-limbah penambang kadang tak bersahabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun