Belakangan, pemerhati sejarah Malang-Raya dihebohkan dengan rencana POLRESTA Malang memproduksi film sejarah  perjuangan Katjoeng Permadi , pejuang polisi asal Pujon. Warga Malang raya, khususnya kecamatan Pujon, sudah selayaknya bangga. Jika ide ini terealisasi, Katjoeng akan menjadi tokoh pertama di Malang-Raya, yang kisah perjuanganya diangkat ke layar lebar. Film ini, pastinya akan memperkaya khazanah sejarah lokal Malang Raya.
Dibalik suka-cita , terdapat kekhawatiran juga. Apakah film ini nanti jadi diproduksi, atau hanya menjadi wacana yang tidak terealisasi. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, sejak digagas oleh POLRES Batu pada 2017, upaya mengangkat pejuang polisi Katjoeng Permadi,walaupun tidak semuanya gagal, tapi seringkali berakhir zonk, tidak sesuai harapan.
Pada tahun 2017 lalu, publik juga sempat heboh, dengan pengusulan AP III Katjoeng Permadi sebagai Pahlawan Nasional, namun gagal. Katjoeng Permadi tidak memenuhi persyaratan untuk ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Berikutnya, dalam sebuah wawancara dengan media lokal, KAPOLRES Batu Budi Hermanto pernah menyebutkan bahwa perjuangan Katjoeng Permadi akan dibukukan. Â Buku pertama tentang Katjoeng Permadi berupa Novel, Â buku kedua bergenre non-fiksi, dan rencananya akan digunakan sebagai referensi untuk materi pengayaan sejarah lokal di sekolah-sekolah. Namun sampai saat ini, dua buku tersebut tidak tentu rimbanya. Entah sudah terbit, atau masih berupa draft
Lalu bagaimana sebenarnya perjuangan Katjoeng Permadi, hingga Kepolisian merasa perlu untuk mengangkat kisahnya ?. Berdasarkan penelusuran penulis, Katjoeng Permadi merupakan personil Polisi Keamanan yang gugur pada saat mempertahankan wilayah Pujon pada saat Agresi Militer II. Pada peristiwa serangan tersebut, selain Katjoeng, terdapat AP II Soejadi dan Kopral Kastawi yang gugur mempertahankan wilayah Pujon. Yang menjadi pertanyaan, kenapa hanya Katjoeng yang diangkat ? bukan Kastawi atau Soedjadi ? bukan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran lebih besar dalam revolusi fisik di Pujon ?
Jika kita menelusuri sejarah Revolusi Fisik di wilayah Pujon, kita akan menemukan tokoh-tokoh yang memiliki peran lebih besar dan dampak perjuanganya dirasakan  lebih luas. Nama yang terlintas pertama tentu Brigjend Abdul Manan, pemimpin pejuang di wilayah Kawedanan Pujon, adapula Jendral Soemitro wakil komandan Batalion, yang kiprahnya dalam perang geriliya tidak perlu diragukan, ada Moeljosoewito perwira TNI yang memimpin Pertempuran Pandesari Pujon, Ada Kapten Ibnu komandan sektor, yang gugur saat bergeriliya di Pujon. Mengapa bukan mereka yang kisahnya diangkat ? mengapa harus Katjoeng Permadi ?
Mungkin anda akan menjawab, karena yang punya 'hajat' polisi, tentu yang dipilih Katjoeng Permadi bukan tokoh-tokoh TNI yang disebutkan sebelumnya . Jika yang menjadi parameter adalah korps, tanpa mengecilkan peran Katjoeng Permadi, masih banyak pejuang polisi di Malang-raya yang kiprahnya lebih mentereng. Ada Bapak Sjamsoeri Martojoso, salah satu komandan Mobile Brigade, ada Mohammad Jasin Bapak Brimob, yang pernah berjuang di wilayah lereng Kawi Kabupaten Malang, jangan lupakan pula polisi-polisi yang gugur pada pertempuran di Tlogowaru Kabupaten Malang. Sekali lagi, kenapa bukan mereka yang diangkat kisah perjuanganya, kenapa harus Katjoeng  ?
Klaim sebagai film sejarah juga patut dipertanyakan. Sejarah apa yang akan diangkat ? sejarah peristiwa peperangan di Pujon, atau sejarah tokoh Katjoeng Permadi. Jika yang diangkat adalah kisah Katjoeng Permadi sebagai tokoh, tentu film ini tidak layak dianggap sebagai film sejarah. Karena referensi tentang biografi Katjoeng Permadi masih sangat minim. Bahkan Informasi tentang biografi Katjoeng Permadi yang ditampilkan pada hasil penelitian Tim POKJA Polres Batu, hanya sebanyak dua lembar.Pertanyaan nya, apakah layak sebuah karya disebut  sebagai film sejarah, jika sumber sejarahnya  minim ? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H