Mohon tunggu...
Sicilia Wijaya
Sicilia Wijaya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang ibu rumah tangga biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Pemuka Agama yang Benar dalam Pemilu

9 Juli 2014   06:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:55 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam setiap pemilihan umum di Indonesia, salah satu pendekatan yang selalu dilakukan calon yang bertarung adalah berusaha memenangkan pendapat dari para pemuka agama, terutama tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah. Dalam pilpres kali ini pendekatan itu juga terlihat. Bahkan, kali ini pemuka agama selain Islam seperti Kristen dan Katolik pun juga dilibatkan. Hal ini tidak aneh karena selama ini pemuka agama dianggap sebagai perwakilan Tuhan, orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk mendengar dari Tuhan dan menyampaikan pesan-Nya kepada umat-Nya. Memenangkan pemimpinnya bisa diartikan memenangkan pengikutnya karena kebanyakan umat menganggap suara  pemuka yang dihormatinya adalah kepanjangan dari suara Tuhan sendiri yang tidak mungkin salah. Akibat dari aksi "melobi" inilah kita melihat perpecahan baik antar kelompok Islam maupun di dalam gereja Kristen dan Katolik, dan mungkin juga di pura dan wihara yang tidak terlalu terekspos. Bukan berarti bahwa seorang pemimpin agama tidak boleh menyuarakan pilihannya, tetapi jangan di atas mimbar yang suci dengan membawa nama Tuhan sebab kampanye di tempat ibadah telah menodai kesucian tempat ibadah itu sendiri. Saya sangat prihatin setiap mendengar berita tentang khatib dan ustad yang berkotbah menjelek-jelekkan salah satu capres. Di dalam suatu gereja Kristen pun baru-baru ini diadakan Kebaktian Kebangunan Rohani di mana waktu ibadah hanya 1 jam dan dilanjutkan dengan kampanye selama 2 jam!

Peran pemuka agama seharusnya bukanlah memberi arahan siapa yang harus dipilih karena hal ini akan mengakibatkan umat yang memiliki pemikiran berbeda tidak terakomodasi dan dikucilkan. Mungkin oleh karena itu sekelompok anak-anak muda yang tergabung dalam CAMEO membuat video 'Ketika Harus Memilih'. Terus terang saya kurang setuju dengan isi video itu karena tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Misalnya, Prabowo yang digambarkan sebagai seorang yang bertindak benar dalam kasus 98. Ini adalah suatu pandangan yang naif karena tidak seorang pun yang mengetahui kebenarannya hingga Bapak Prabowo menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan ini belum dilakukannya hingga sekarang. Terlibat ataupun tidak, secara langsung maupun tidak, tidak adanya penjelasan secara langsung dari beliaulah yang membuat tuduhan-tuduhan tersebut tetap ada. Kalau memang tidak bersalah, mengapa tidak maju saja ke Komnas HAM dan membersihkan nama baiknya? Kesimpulan saya, Bapak Prabowo bagaimanapun  juga tetap terlibat dan apabila dia memilih bungkam tentunya karena suatu alasan yang kuat, seperti melindungi anggota keluarganya atau nama baiknya sendiri. Dalam video yang diunggah di youtube itu juga digambarkan Jokowi sebagai seorang yang menuruti Ibu Megawati menjual aset-aset negara dan cenderung mengambil keputusan yang lamban di saat-saat kritis. Ini adalah suatu persepsi yang menyesatkan. Pertama, Bapak Jokowi sudah menyatakan dan membuktikan bahwa dia bertindak sesuai konstitusi dan bukan arahan partai. Kedua, saya percaya seorang puteri Soekarno walaupun bukan seorang pemimpin ulung seperti ayahnya pastilah mewarisi prinsip-prinsip cinta bangsa dan tanah air. Apabila ada keputusan-keputusan di masa pemerintahannya yang merugikan kemungkinan besar itu adalah karena karena kurang bijaksananya dia secara pribadi, mungkin karena tekanan keadaan atau emosi. Ketiga, dari testimoni-testimoni  yang saya dengar selama ini, Bapak Jokowi memang sangat demokratis dalam menyelesaikan masalah tetapi belum tentu demokratis artinya lamban. Bagaimanapun juga, saya akan tetap menghargai alasan membuat video tersebut seperti yang dituturkan pembuatnya.

"thank you ya masih suka sama karya cameo walaupun keputusan kami mengecewakan.. kami juga sudah mempelajari kedua nya dengan seksama, dan kami punya previledge untuk kenal kedua nya melalui team sukses nya dan kami pernah bertemu mereka berdua secara langsung. kesimpulan nya adalah, masyarakat terlalu berharap kepada jokowi dan terlalu takut terhadap prabowo. hal ini terjadi karena sudah memutuskan akan memilih atau menolak yang mana tanpa mau mempelajarinya, sehingga tidak membuka pikiran terhadap yang lainnya. yang pasti, bila no2 menang, saya akan tetap mendukung pemerintahan mereka. karena yang paling utama bukan 1 atau 2, tapi sila ke 3: Persatuan Indonesia."

Lalu apakah itu artinya pemimpin agama harus netral? Walaupun saya menghormati institusi beragama dan pemukanya yang menyatakan netral, tetapi tetap terasa ada sesuatu yang kurang. Apabila mereka netral lalu apa yang harus dilakukan pengikutnya? Memang dalam posisi netral artinya umatnya boleh memiliki pandangan politik dengan bebas.  Tetapi karena tidak ada arahan yang jelas, pada akhirnya umat yang berbeda pendapat akan saling bertengkar tanpa ada penengah yang bijak. Kenetralan itu mungkin bisa juga disalahartikan bahwa netral artinya suci. Alangkah bahayanya apabila karena itu, umat pengikutnya menjadi golput dan apatis. Seperti disampaikan di atas peran pemuka agama adalah mendengar dan menyampaikan pesan dari Tuhan. Hal ini tidak berubah dalam kondisi pemilu. Sudah seharusnya pemuka agama memberikan arahan kepada umatnya perintah Tuhan tentang cara memilih pemimpin yang benar sesuai ajaran agamanya masing-masing. Di dalam agama Kristen, agama yang saya peluk, ada beberapa ayat dalam Alkitab yang bisa dijadikan acuan, salah satunya seperti di bawah ini.j8

Keluaran 18:21  Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang.

Saya yakin dalam kitab suci agama Islam dan yang lain pun pastilah ada ayat-ayat acuan yang bisa dijadikan pedoman dalam memilih seorang pemimpin. Alangkah bijaksananya pemimpin agama yang mengajarkan ayat-ayat acuan ini kepada umatnya dan menyerahkan kepada pribadi masing-masing untuk menilai apakah no 1 atau no 2 yang menurut mereka sesuai dengan kriteria pemimpin dalam kitab suci. Alangkah bijaksananya pemuka agama yang mengajarkan bahwa Allah adalah Allah dari capres no 1 dan no 2 dan Dialah yang berdaulat atas negeri kita ini. Jangan lupa bahwa ayat pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang maha esa. Doa saya adalah supaya setiap rakyat Indonesia memilih sesuai dengan hati nurani dan penilaian yang telah didewasakan oleh 16 tahun reformasi. Biarlah siapapun yang terpilih adalah yang terbaik untuk Indonesia baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun