[caption id="attachment_104653" align="aligncenter" width="432" caption="media seni, bagian dari jurnalisme"][/caption]
Orang jenius melihat apa yang dilihat setiap orang, dan berpikir apa yang tidak dipikirkan orang lain -Albert Sent, Gyorgi. Penemu Vitamin C-
"Cara terbaik untuk memiliki gagasan yang baik adalah dengan memiliki banyak gagasan". Itu benar.
Media seni. Ada film, musik, sastra, panggung drama, tarian, dan masih banyak lagi. Semuanya itu adalah media seni. Sebuah tempat untuk menyalurkan aliran seni yang bersumber dari sebuah jiwa, pikiran, ide, dan hasil dari pencerapan kehidupan. Seni adalah media menggambarkan ketajaman dari representasi hidup.
Dari segala jenis media seni yang paling populer adalah media seni dengan film. Selain rekayasa visual (pengelihatan), sound (pendengaran), feel (merasakan), dan makna berupa estetika film itu sendiri. Â Film benar-benar mengadaptasi lingkungan tentang sebuah kehidupan.
Walaupun banyak film yang dibuat dengan imajinasi. Film sumbernya tetaplah dari kehidupan paling dekat dengan kita, karena sebuah imajinasi terbentuk dari apa yang kita rasakan kemudian dicerap lalu digambarkan melalui film yang sudah diberi bumbu sana-sini.
Namun, semakin bergesernya pemikiran-pemikiran orang-orang yang bekerja di "seni kreatif" bisa mempengaruhi media jurnalisme.
Media seni film, kadang suka tak berbanding lurus dengan kehidupan kita. Suka kebablasan menampilkan film-film yang tak mendidik bagi publik. Film-film yang seperti ini membuat banyak sekali hal-hal negatif yang berdampak buruk bagi jiwa-jiwa yang menontonnya. Terutama jiwa-jiwa labil dan masih 'tolol'. Mereka belum bisa mencerap mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus diserap dan bagian mana yang harus dibiarkan.
Dengan perkataan lain. Film adalah sebuah media seni yang menguntungkan bagi jurnalisme. Ya, benang merahnya adalah "Bukankah seorang jurnalisme adalah bagian dari publik juga?!"
Alasan yang begitu sederhana mengapa film sangat mempengaruhi jiwa-jiwa publik yang menontonnya. Karena media seni ini dikemas secara lengkap. Seluruh panca indra penonton diikutsertakan. Mulai dari mata yang memvisualisasikan gambar, pendengaran yang mengirim sinyal ke otak untuk merasakan feeling atau sebuah perasaan utuh tentang sebuah film yang sedang ditonton.
Selain dari unsur komersialisme, film berperan penting bagi jiwa-jiwa penontonnya. Jika filmnya berbobot, contohnya saja seperti film "Laskar Pelangi" yang pada saat itu banyak sekali menginspirasi dari sudut pandang pendidikan kita, Indonesia terutama pendidikan di wilayah-wilayah yang cukup terpencil dari Ibu Kota. Bahwa pendidikan itu sangat penting dan patut diperjuangkan.
Di lain sisi ketika kehadiran film yang diangkat dari kisah nyata ini mencuat ke permukaan, melambung bak 'artis' muda yang cantik dan anggun ada sebagian pihak yang 'tertampar' secara diam-diam. Itulah film.