[caption id="attachment_185104" align="aligncenter" width="600" caption="http://www.digitalpicturezone.com"][/caption]
Aku menjadi ceruk, terbang, senyap, bergembira serupa cawan, menantang angin, kadang melembut seperti perdu, diam dalam kelindan, lalu berdiri lagi di atas pualam. Itu dinamika.
Perjalananmu adalah perjalananku juga. Matamu serupa mataku.
Beberapa hari lagi sebelum kehadiranmu secara nyata. Banyak yang ingin aku ucapkan, tapi sepertinya Dia sudah tahu. Orang di sekitar yang mengintip kita tahu. Beberapa momen kebersamaan menulis kita bernapas bersama, saling berdialog hangat, bergerak bersama, mempunyai gagasan yang saling menyahut, merasa bersama. Satu visi. Kau begitu dekat dan lekat. Bahkan dalam napasku.
Imaji kita dalam sebuah puisi. Tentang perkebunan luas, anak-anak lucu dan gendut, juga tungkai yang menjuntai selepas sore sambil menghirup teh panas sederhana. Momen yang paling kita inginkan. Momen hangat kebersamaan di masa telah selesai berjuang.
Saat kau tiba, perempuan tak lagi menjadi manusia yang sama. Pria sederhana adalah harta bagi perempuan ini. Termasuk aku. Mengingatkan tentang visi untuk generasi yang hilang kemudian membentuk generasi bergradasi. Berwarna dengan keunikan warna masing-masing. Indah. Kau bilang warna berbeda adalah hal sederhana yang indah dan membuat perasaan lebih hangat di sini.
Entah bagaimana aku mengucapkan ini padamu. Saat bertemu atau terpisah nanti. Kita tetap kekasih. Selamanya kekasih dalam Pancasila. Kita tak akan terpisah meski keyakinan bukan milik kita.
Menerobos tradisi bukan ide yang buruk tapi tidak untuk dilakukan. Inovasi menjadi lebih penting untuk Negeri bukan kita. Bukan untuk kita. Tapi keluarga. Tapi rakyat. Sungguh, aku ingin mengucapkan ini padamu.
Aku merasa nyaman sampai ingin menangis saja rasanya. Seperti Perempuan. Aku ingin menangis ketika aku tahu, kau tak ingin bersamaku untuk menerobos waktu. Kau menginginkan satu sama. Tapi aku tak bisa. Keyakinanku teguh untuk membiarkanmu bersama rakyat dan calon-calon pemimpin baru. Tentunya bersama perempuan terbaik buatmu. Â Meski unggul itu belum cukup untukmu. Bukan aku. Bukan aku yang terbaik. Melepaskan segala keterkukungan kita. Baiknya pelan-pelan. Semakin pelan.
Satu tahun lima bulan aku menghitungnya. Kita bertatap muka dalam kebingungan. Entah cinta yang telah membawamu ke tanahku atau memang kau sedang membandingkan tanah perempuan untuk ditanami. Mana yang berpotensi untuk benihmu. Menuai generasi kandung yang agung. Lalu menyapihmu ketika tua.
Bukankah cinta atau semata perantara perasaan yang menggiring langkah kita? Mendengarkan lagu dan berbagi mata bersama di tengah kolam atau lampu berpijar dari lantai bersinar yang menyembul menjadi saksi yang berpura-pura bisu. Seandainya aku tak menuliskan puisi-puisi itu untukmu. Semuanya menjadi benar-benar bisu.
Momen yang selalu ingin aku ingat adalah ketika menatap matamu dan pipiku memerah. Mukaku hangat, sekejap ingin menenggelamkan diri di dadamu.
[caption id="attachment_185105" align="aligncenter" width="600" caption="http://www.digitalpicturezone.com"]
Kau berharga. Dan aku belajar mencintaimu dari nol. Seolah kita baru bertemu pada pandangan pertama. Aku menginginkan waktu melambat bahkan berhenti saat bersamamu. Aku mengenali urat wajahmu ketika tertawa, membaca raut bibirmu ketika berbicara. Bulu halus di kulitmu masih terasa nyata dalam penglihatanku. Aku tak menginginkan menjadi buta untuk melupakan momen-momen itu.
Katamu, hari ini adalah masa lalu bagi masa depan.
Kau lebih seperti Bintang dibanding Grace, kataku. Ada jarak diantara kita yang sebenarnya tak terjamah waktu. Kita berloncat-loncatan ingin merubah pukulan nasib. Memburu peluru yang melesat jauh. Dan belum memungkinkan kita menangkap tembakan tanpa menahan tangan yang mengenggam seutuhnya.
Hati yang kemudian mengemudikan semua ini. Berbicara dengan lebih jujur. Apa yang ingin aku ucapkan padamu nanti. Saat kita berdua masih sama-sama berusaha melawan keyakinan yang bermuara dalam sisi-sisi koin kehidupan. Puzzle yang kita kumpulkan satu per satu. Air bening yang kita pungut satu-satu. Karung kecampang kita luruh dan lembab. Membiarkan semuanya menjadi lebih bias dan samar.
Kau adalah mutiara hitam dari Timur dan aku teluk belangga dari Melayu. Kita tetap kekasih dalam pelukan garuda. Dalam cengkeram tata karma. Aku dan kau akan mengingat hari ini.
Terimakasih pada pertemuan yang memisahkan. Pertemuan terakhir. Pertemuan yang akhirnya mengukuhkan bahwa kita disadarkan untuk menjaga jarak lebih jauh soal prinsip dan tradisi. Ini dinamika. Kita harus pelan-pelan menerima bahwa hidup tak selamanya indah, tapi berharga. Begitulah pula pertemuan kita. Dalam diam inilah yang ingin aku ucapkan. Aku tak sabar untuk mengenalmu lagi. Lagi dan lagi. Di lain waktu dalam konteks yang berbeda. Karena aku percaya hati tak kan pernah salah.
Anugerah. Namamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H