Berbeda dengan situasi dan kondisi di negara lain, kalau bicara soal penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, ia punya problem tersendiri. Apa itu? ya, problem trust atau  kepercayaan.  Ini mengenai apa yang dipercaya masyarakat dan apa yang tidak dipercaya masyarakat berkenaan dengan semua hal berkaitan dengan informasi yang disampaikan pemerintah menyangkut pandemi COVID-19, baik hal tentang bagaimana penanganannya maupun hal berkenaan eksistensi virus itu sendiri. Â
Yang kini menggejala, tampaknya masyarakat bukan hanya tidak percaya dengan kesungguhan pemerintah dalam menangani COVID-19 tapi juga bahkan tidak percaya kalau COVID-19 itu benar-benar ada dan membahayakan. Itulah mengapa setiap kebijakan pemerintah dalam rangka menanggulangi COVID-19 ini menjadi sulit terlaksana, tidak dengan mudah bisa berjalan secara optimal dan cenderung hasilnya mengecewakan atau gagal dikarenakan tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat tadi, di mana semua itu mestilah melibatkan pastisipasi masyarakat sebagai faktor pendukung kesuksesan sebuah program pemerintah terutama menyangkut program penanganan COVID-19 ini.Â
Tak bisa ditampik bahwa pada kenyatannya tidak semua informasi yang disampaikan pemerintah itu bisa diterima masyarakat, baik dalam hal penyampain informasi tentang fakta dan angka korban COVID-19 maupun data dan angka mengenai pembiayaan pandemi yang digelontorkan pemerintah dalam rangka menanggulangi COVID-19. Â
Ada tudingan bahwa korban-korban COVID-19 itu hanyalah rekayasa semata dengan terungkapnya kelakuan nakal oknum tenaga kesehatan yang sengaja "mengcovidkan" pasien yang kemudian meninggal di rumah sakit padahal yang bersangkutan tidak terbukti positif COVID-19.
Demikian pula menyangkut kegiatan tes rapid atau swab dan vaksinasi yang ternyata turut dicurigai karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan adanya "ketidakberesan" di dalam pelaksanaannya.Â
Belum lagi persoalan ketidakpercayaan menyangkut pendanaan yang berhubungan penanggulangan pandemi ini, termasuk soal Bansos di dalamnya.
Adanya ketidakpercayaan yang demikian itu jelas berseberangan dengan opini yang selama ini dikembangkan pemerintah dengan semua perangkatnya yang berusaha meyakinkan agar masyarakat percaya kalau COVID-19 itu berbahaya dan membunuh sehingga kemudian pemerintah dengan segala aturan kebijakannya menghendaki agar masyarakat mau mematuhi semua protokol yang telah ditetapkan pemerintah seperti prokol kesehatan ataupun mematuhi kewajiban-kewajiban lainnya semacam kewajiban melakukan vaksinasi.Â
Itu hanyalah sebahagian kecil persoalan menyangkut "problem trust" tadi. Belum lagi adanya kecurigaan atau tudingan kalau sesungguhnya COVID-19 ini hanyalah berlatar belakang konspirasi dari mereka yang ingin berkuasa atau setidak-tidaknya dimanfaatkan oleh mereka yang ingin terus berkuasa yang kemudian menjadikan pandemi ini sebagai momentum yang memberikan kesempatan bagi mereka untuk bisa  dengan bebas tanpa perlawanan dapat "mendikte" masyarakat agar tunduk pada keinginan penguasa dengan bertameng pada adagium "keselamatan rakyat adalah hukum yang tertingi" sehingga dalam situasi kedaruratan seperti ini penguasa seakan menjadi halal untuk  berbuat apa saja membuat suatu aturan kebijakan yang dipandang pantas meskipun kebijakan yang dikeluarkan itu cenderung  otoritarian atau tidak demokratis karena dalam prosesnya menyimpang dari system hukum nasional yang sudah ada (the rule of law). Â
Ya, adanya fenomena sebahagian masyarakat yang tidak percaya dengan pandemi COVID-19, tidak percaya kalau COVID-19 itu benar-benar ada meskipun berkali-kali telah ditampilkan informasi atau berita yang mengabarkan peristiwa-peristiwa yang berlatar belakang COVID-19, tidak percaya dengan segala macam kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan COVID-19.
Sebetulnya ini merupakan  sesuatu yang tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi ada latar belakang "trauma" pada diri masyarakat yang sudah sering mendapatkan tontonan perilaku pejabat penguasa yang tidak bisa dipercaya, yang selama ini banyak terbukti melakukan korupsi dan melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan jabatan lainnya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya yang langsung atau tidak langsung akibat dari lakunya yang tidak jujur  itu telah menurunkan wibawa pemerintah sendiri. Â
Adanya janji-janji dari mereka yang berkuasa yang kemudian tidak ditepati, adanya praktek peradilan yang dirasa tidak adil dan penegakkan hukum yang sewenang-wenang dan cenderung hanya memojokkan pihak tertentu saja yang lemah ataupun terhadap mereka yang berlatar belakang politik tidak sejalan dengan pemerintah, ini sedikit banyak telah melunturkan "trust" tadi.Â
Fatalnya, terkait "problem trust" ini, pemerintah bukannya introspeksi, tetapi justru terkesan berusaha membungkam  setiap munculnya pemikiran yang berbeda dari masyarakat yang dinilai  akan membuyarkan opini umum yang telah dibingkai (framing) dengan susah payah oleh pemerintah. Â
Setiap terlontar pandangan individu masyarakat yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dan ditanamkan oleh pemerintah berkenaan masalah COVID-19 ini, maka yang demikian selalu dianggap sebagai sinyal yang dapat mengancam kekuasaaan  atau  akan mengganggu kebijakan pemerintah. Â
Dalam kasus seorang pria bernama Asep sebagaimana beredar dan viral di media sosial  yang menyatakan tidak percaya dengan bahayanya COVID-19 misalnya. Pemuda asal Kuningan itu  seketika ditangkap (dan bahkan diborgol) oleh pihak kepolisian.  Lalu dalam kasus dr. Lois Owen, ternyata beliau juga disikapi oleh penguasa dengan cara yang sama, juga ditangkap. Â
Meskipun secara hukum pidana mereka ini diperiksa berdasarkan anasir tertentu yang entah terpenuhi atau tidak pembuktiannya, namun pada dasarnya kesemuanya itu hanya bermula dari pernyataan  yang tidak percaya dengan COVID-19 tadi. Pernyataan mana sudah tentu berseberangan dengan sikap dan aturan kebijakan pemerintah saat ini. Â
Jikalau setiap muncul opini yang berbeda  dari masyarakat, terutama yang dianggap liar karena  tidak di bawah koordinasi pemerintah,  selalu dianggap sebagai sinyal permusuhan yang dapat mengancam atau mengganggu "keleluasaan" pemerintah dalam menangani COVID-19,  maka sensitivitas pada diri pemerintah yang demikian itu akan menjadi kontraproduktif di mana pemerintah telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan-pengatahuan baru yang boleh jadi akan dibutuhkan dan sangat berguna bagi penanggulangan COVID-19 ini, yang harus diakui bahwa hingga hari ini pemerintah terbukti belum  mampu menanganinya secara baik dan benar.Â
Kesimpulannya, selagi  "problem trust" ini masih menjadi kendala yang tidak segera disikapi secara tepat oleh pemerintah, maka apapun kebijakan pemerintah soal penanganan COVID-19 ini akan sulit untuk mendapat dukungan penuh dari masyarakat.  Efeknya, tanpa dukungan masyarakat, kita semua sepakat bahwa  penyebaran COVID-19 ini tidak akan pernah bisa ditanggulangi dan masalah yang ditimbulkannya tak akan pernah selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H