Apakah berbohong dilarang oleh hukum? Apakah setiap kebohongan itu bisa dipidana dan dapat dilaporkan ke polisi?
Sebagaimana banyak diberitakan, belakangan ini memang semakin marak orang yang dilaporkan ke polisi dari sebab berbohong atau dituduh berbohong. Kejadian belum lama yang masih bisa diingat semisal kasus Ratna Sarumpaet yang telah berbohong hingga akhirnya diperiksa polisi dan bahkan sempat dihukum oleh pengadilan. Lalu yang baru-baru ini terjadi adalah kasus yang menimpa Ustadz Haikal Hasan. Beliau diangggap telah berbohong sehingga pihak yang tidak senang terhadapnya melaporkan beliau ke polisi. Ya, masih ada kasus-kasus lainnya yang dilaporkan ke polisi dari sebab "kebohongan" yang tidak semuanya perlu disebutkan di sini.
KEBOHONGAN DAN PERISTIWA PIDANA
Ada dua hal yang menarik dan perlu digaris bawahi dari fenomena banyaknya laporan yang berhubungan dengan perbuatan bohong tadi, yakni semakin entengnya orang berbohong dan semakin entengnya pula orang melapor ke polisi. Boleh jadi, ini semua disebabkan "euforia kebebasan" yang mulai terasa sejak awal reformasi.
Orang merasa bebas untuk berkata apa saja dan juga merasa bebas untuk melaporkan apa saja. 'Kebebasan' tadi ternyata didukung pula oleh kemajuan teknologi komunikasi yang melahirkan media penyebaran informasi yang lebih cepat dan sangat luas (medsos) semacam facebook, twitter atau instragram yang makin familiar digunakan oleh hampir semua orang. Kini, setiap orang memiliki kesempatan yang lebih bebas untuk berkata atau bercerita, menjadi lebih mudah untuk menulis atau bicara apa saja. Ya, bicara apa saja!. Bahkan untuk berbicara bohong sekalipun, orang-orang tak lagi mengalami banyak hambatan.
Sekali lagi pertanyaannya, apakah setiap kebohongan itu bisa dilaporkan ke polisi? Apakah berbohong itu merupakan peristiwa pidana atau merupakan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dan karenanya dapat dituntut secara pidana?
Pertanyaan tadi penting untuk dijadikan pokok bahasan karena nyatanya sering terjadi salah kaprah pada diri kebanyakan masyarakat, di mana seseorang yang merasa telah dibohongi menganggap dirinya juga telah tertipu. Padahal tidak setiap kebohongan itu merupakan penipuan. Meskipun misalnya orang itu benar-benar terbukti berbohong.
Ya, kebohongan tidak identik dengan penipuan. Boleh saja seseorang merasa telah dibohongi, namun tidak berarti orang itu telah ditipu. Bisa saja terjadi seseorang itu berbohong, namun tidak lantas kemudian ia (su pelaku) menjadi pantas untuk dilaporkan ke polisi. Untuk dipahami, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penipuan maka hukum pidana telah menetapkan syarat keadaan atau kejadian tertentu yang harus terpenuhi dalam satu rangkaian peristiwa sebagaimana ketentuannya yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Ada rumusan dan unsur-unsur tertentu sehingga suatu perbuatan itu bisa dikualifikasikan sebagai "penipuan". Tak cukup hanya karena adanya perbuatan bohong maka dikatakan telah terjadi tindak pidana penipuan , tetapi mestilah pula ada kejadian tertentu yang timbul dari sebab kebohongan tadi.
Kejadian tertentu (yang merugikan) yang mesti secara tegas telah disebutkan di dalam undang-undang. Dari sebab kebohongan itu mestilah ada suatu akibat tertentu yang diatur oleh pasal pidana tertentu, maka barulah peristiwa kebohongan itu bisa dikategorikan sebagai peristiwa pidana (yang dapat dituntut secara pidana).
Dalam tindak pidana penipuan misalnya, mestilah seseorang itu (si korban) "menyerahkan sesuatu", misalnya berupa barang yang berharga kepada si pembohong itu (pelaku). Bila si pelaku sekedar berbohong saja lalu kemudian tidak terjadi peristiwa pemberian sesuatu barang atau jasa oleh korban maka si pelaku yang berbohong tadi tidak dapat seketika dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana penipuan.