ANTARA STATISTIK, EGOISTIK, KARAKTERISTIK , DAYA TARIK DAN KRITIK
Menjadi penulis yang ditujukan buat komsumsi public memang mengelitik, lebih dari itu bahkan mengusik. Mengusik 'ke-istiqomah-an' seorang penulis.  Istiqomah seperti apa? (Koq lebay banget sampe pake istilah istiqomah segala?). Maksud saya begini, masing-masing orang tentunya punya karakteristik tersendiri dalam tulisannya. Gaya pengungkapannya, gaya bahasa, juga penggunaan tanda baca dan istilah,  maupun topik tertentu yang suka menjadi perhatiannya, termasuk kandungan pesannya. Bawaan lahirlah kira-kira. (Ini kadang yang tak dimengerti oleh mereka Tim Editor/Mediator yang kadang seringkali suka-suka ajah 'meng-korek-korek' utak-atik mengulik tulisan seseorang, punya saya utamanya, sering. Hiks!).   Â
Naahh... kadang demi statistik, seorang penulis bisa saja menjadi tergoda imannya untuk 'murtad' dari aliran atau paham atau madzhab yang selama ini dianutnya. (glekk!. Dramatis banget Yai. Pake istilah yang ringan-ringan sajalah!).  Bagaimana ceritanya koq bisa begitu?. Jadi, saat melihat kenyataan  statistik yang cilik, cuma sekian gelintir pembaca,  maka  mau tidak mau seorang penulis melakukan oto-kritik. Kenapa yaaa?(!),  koq sepi? Apa tulisan saya kurang menarik?.  Naahhh (lagi)..... setan mulai membisik......  "Obrak-abrik saja!  Bikinlah tulisan yang burak-barik ajah asal jangan burik, bila perlu yang sedikit jijik", begitu kata setan sok baik.  Intinya, karena  kondisi yang (tak cukup)  ada,  sang penulis jadi 'terpaksa' (baca;dipaksa)  ikhlas bin ridho untuk menyeretkan dirinya ke dalam arus globalisasi... eeehh.... arus informasi... eeehh salah lagi.....  arus politisi!  Tulisan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya laah kira-kira maksudnya begitu. Tulisannya jadi tidak memiliki karakteristik lagi. Motivasi penulisan hanya demi mendulang pembaca. Tidak lagi demi bangsa, negara dan agama. (Uuppsss! Belemaaannn!). Demi kepuasan batin dan integritas pribadi, itu tepatnya. So?  Misi dan visi religi atau manusiawi  seorang penulis akhirnya jadinya terkorbankan. Tergadaikan! (Bussyeeett Yai!) . Ngerti kan maksud saya?.   Yaaa...  Idealisme maksud saya.  Idealisme jadi terkikis... lama-lama bisa habis.... bis!.    Â
Begitulah. Seorang penulis, utamanya spesialisasi puisi, tidak tertutup kategori tulisan lainnya, umumnya punya kecenderungan egoistik (sekedar mengukur baju di badan). Maksudnya, ia hanya ingin didengar, masa bodoh orang mengerti apa kagak! Taunya asyik sendiri. (Begitulah watak puisi, selayaknya jeritan hati). Â Sialnya, seorang penulis yang egoistik ini berbanding lurus dengan daya kritik. Penjelasannya finalnya, bahwa ia-nya susah dikritik dan bersamaan itu hoby meng-kritik!. (Laa ballaaa dallaaa ? Apa pula? Makin sadis nih!). Â Â Udaaah aaah! Nanti ajah dilanjutin. Ntar ada yang marah. Yai Baelah utamanya. Karena percayalah, ini kritik buat dia. Kalau toh ada kesamaan dengan anda, itu memang disengaja.. eeehh... kebetulan saja. Â Hhaahh!
Catatan; Tulisan ini bukanlah berdasarkan hasil survey, bukan pula hasil penelitian yang akademik. Anggap ajah sekedar curhatan!. Jadi  mohon untuk tidak ditanggapi secara serius. Hhaahh!. Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.....Â
Ingat, Â Penulis Juga Manusia
https://www.kompasiana.com/sibawaihi/5c639004c112fe5bcf00edf9/penulis-juga-manusia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI