Mohon tunggu...
Fakih Latief
Fakih Latief Mohon Tunggu... -

MIND Master\r\nFounder and Chairman GEMILANG Indonesia Group.\r\nMaster Trainer Gemilang Training Center (G-TraCe).\r\nOwner Private Biographer Indonesia.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Presensi Min. 75%: Merasakan Aturan Semanis Susu

8 September 2014   15:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:19 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aturan tentang kewajiban hadir minimal 75 % dalam suatu mata kuliah merupakan aturan umum yang sudah diketahui bersama. Spanduk himbauan tentang peraturan ini sering kita lihat di sekitar kita. Ini menandakan bahwa aturan tersebut sering tidak diindahkan sehingga pihak kampus harus berkali – kali mengingatkan. Sebagian mahasiswa menyatakan bahwa aturan tersebut merupakan merupakan tekanan bagi mahasiswa dalam berekspresi terutama bagi kalangan mahasiswa aktifis. Namun benarkah aturan tersebut merupakan tekanan pada mahasiswa ? Tulisan ini bukan dimaksud untuk menjadi tulisan pro kontra namun hanya sedikit kiat untuk memandang aturan tersebut dari perspektif yang berbeda agar semua pihak mampu merasakan aturan ini semanis susu.

Peraturan kewajiban presensi 75 % dalam praktiknya, dapat diartikan bahwa bila dalam 1 periode mata kuliah ada 16 kali pertemuan, maka mahasiswa wajib hadir minimal pada 12 kali pertemuan (75% dari 16). Dalam arti lain, 4 kali pertemuan yang lain, kehadiran mahasiswa bersifat “mubah”. Masuk dapat ilmu, tidak masuk juga tidak masalah.

Bagaimana cara menggunakan hak “membolos” tersebut dengan benar ? Di Indonesia sangat terkenal dengan kode SIA (Sakit, Ijin, Absen) yang pelaksanaannya tidak pernah ada aturan yang benar – benar baku tentang hal tersebut. Oleh karena itu mari kita belajar dari pendidikan luar negeri, dimana hanya dikenal 2 istilah dalam menilai suatu ketidakhadiran, “excused absence” dan “unexcused absence”. Terjemahan bebasnya ialah bolos yang “direstui” dan “tidak direstui”. Yang tidak direstui, apabila ketidakhadiran tersebut dengan alasan yang tidak jelas dan tanpa ijin. Adapun ijin, sakit dan beberapa hal dengan pertimbangan khusus, masuk dalam klasifikasi direstui. Namanya juga direstui, berarti tercatat dalam hitungan sebagai “masuk” meski yang bersangkutan tidak berada di tempat.

Harus dipahami bersama, aturan tersebut jika ditegakkan dengan benar, merupakan proteksi terhadap civitas akademika. Mahasiswa mendapat kepastian bahwa biaya kuliah yang dibayarkan akan mendapat fasilitas pengajaran yang semestinya. Maka sangat disayangkan apabila mahasiswa membolos dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang tua mereka susah payah dalam mencari nafkah untuk membayar biaya kuliah yang tidak sedikit jumlahnya.

Bagi dosen, aturan tersebut mempunyai makna yang sangat dalam terutama terhadap silabus yang dirancang oleh dosen. Sebelum mulai kuliah, dosen seyogyanya menyampaikan rancangan pertemuan selama satu semester sehingga jelas berapa kali pertemuan diselenggarakan, dan berapa kali mahasiswa wajib hadir. Jika dosen tidak menyampaikan rancangan tersebut diawal, hal itu akan sangat menyulitkan mahasiswa karena ketidakjelasan gambaran mata kuliah tersebut. Sehingga boleh dikatakan, jika dosen tidak menyampaikan jumlah pertemuan diawal, maka aturan tersebut tidak bisa diberlakukan. Mari kita ingat sekali lagi, aturan tersebut bukan cuma untuk mendisiplinkan mahasiswa, namun juga dosen.

Sekarang, apakah benar aturan tersebut membatasi gerak aktifis ? Jika menggunakan konsep “excused” dan “unexcused absence” maka sebenarnya aturan tersebut sama sekali tidak membatasi gerak langkah seorang aktifis, hanya jika aturan tersebut dijalankan sebagaimana mestinya. Kenapa ? Karena aktifis lah yang mengharumkan nama kampus dengan prestasinya. Dan sangat tidak bijak jika kampus mempersulit mahasiswa dalam akademiknya hanya karena mahasiswa tersebut tidak masuk, ijin untuk kegiatan kemahasiswaan yang sangat penting dan bermanfaat, dimana alih member ijin malah mengklasifikasikan hal tersebut sebagai “tidak dapat diterima”.

Nah, lalu bagaimana kiat merasakan aturan tersebut semanis susu ? Sebagai mahasiswa dengan pola pendidikan student center, tentu hal utama yang menjadi kunci adalah manajemen diri. Manajemen diri merupakan pondasi dasar dimana mahasiswa merupakan subjek yang menentukan setiap langkah dalam hidupnya. Dengan demikian setiap keputusan yang diambil oleh pribadi akan menjadi tanggung jawab masing – masing individu. Termasuk dalam hal ini, manajemen waktu. Mahasiswa yang baik adalah dia yang bisa membagi waktu dan menyeimbangkan agenda sehari – harinya. Dengan hanya diwajibkan untuk masuk dalam 75% dari total waktu kuliah, mahasiswa dapat membuat jadwal kehadiran yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadinya. Bukan menganjurkan untuk membolos memang, karena boleh dikata setiap waktu kuliah itu sangat berharga. Namun jika ingin mengunakan waktu tersebut untuk hal lain yang juga sama pentingnya baik untuk diri maupun kampus, maka itu menjadi suatu pengecualian. Dan tidak perlu lagi mengkambinghitamkan organisasi untuk menjadikan sebagai alasan membolos.

Hal ini juga berlaku untuk kearifan dosen pengajar untuk menepati jadwal sesuai dengan silabus yang telah disampaikan. Karena perubahan jadwal apalagi yang mendadak sedikit banyak akan berpengaruh pada mahasiswa yang telah memuat jadwal hariannya. Kuliah tetap menjadi prioritas utama, tapi jangan sampai secara sengaja atau tidak seorang dosen mendzolimi mahasiswa. Mungkin di Indonesia belum ada yang bisa seperti seorang profesor dari Wisconsin, AS yang memohon maaf pada mahasiswanya karena terpaksa harus me-reschedule satu jadwal pertemuan mereka dan membebaskan mahasiswanya untuk masuk atau tidak dengan tetap mengisi penuh presensi mereka pada hari itu. Hasilnya, kelas terisi penuh seperti biasanya, entah karena mahasiswa ingin menghormati dosennya karena dosen telah menghormati hak mereka, atau karena memang cara mengajar dosen tersebut yang “ngangeni” sehingga mahasiswanya merasa “penting” untuk ikut, bukan karena merasa “wajib”.

Bagaimana hubungannya dengan pihak administrasi kampus ? Sudah seharusnya bila ada mahasiswa pada hari itu tidak masuk, konfirmasi ketidakhadiran sangat penting dilakukan. Sebagai bentuk pendataan administratif, pendekatan akademi-psikologis, maupun sebagai pengingat akan jatah membolos mereka yang berkurang. Memang akan terasa berat bagi pihak kampus untuk melakukan hal tersebut, namun jika kemudian jumlah mahasiswa menjadikan alasan yang memberatkan untuk melakukan hal tersebut, maka solusinya sebenarnya mudah bukan, jangan cari mahasiswa banyak – banyak !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun