Walaupun saya aktif dalam berbagai organisasi sosial, pendidikan, maupun komersial, saya tidak bisa dikatakan seorang aktivis. Saya tidak akan menyatakan bahwa saya berpengalaman dan mahir dalam membangun barisan organisasi yang kuat dan efektif.
Akan tetapi, pengalaman dalam berbagai kegiatan tersebut, mendorong saya untuk menuaikan logika bagaimana para penggiat, terutama mereka yang masuk dalam kategori pemimpin, seharusnya bersikap dalam menggalang dukungan. Ini hanya sebagai bahan pertimbangan. Saya sama sekali tidak “qualified” untuk menggurui.
Apa yang terjadi dengan Bang Ade Armando pada 11 April yang lalu membangkitkan kemarahan dan kekecewaan.
Kelompok yang melakukan tindakan keji dan tidak berprikemanusiaan, apalagi dengan menggunakan dalih-dalih agama, harus dituntut dan dihukum. Mereka telah melanggar dasar kasih sayang ke-agama-an dan sekaligus melanggar hukum.
Kelompok tersebut dan para penggerak intelektualnya melakukan tindakan teror. Mereka menganggap ini jalan ampuh untuk memperingati dan mengancam para teman sealiran Bang Ade Armando dan para pendukungnya, untuk menghentikan gerakan mereka. Respons Bang Ade di rumah sakit, yang menyatakan tidak akan berhenti berjuang demi kebaikan Indonesia, pasti mengecewakan para penggerak intelektual tindakan ini.
Saya mendukung aneka pendapat dan analisis yang diuraikan oleh Bang Ade, Bang Denny, Bang Eko dkk di dalam berbagai acara Cokro TV maupun berbagai tulisannya.
Mereka mendorong berkembangnya akal sehat dan logika positif dalam mempertahankan NKRI dan dalam mengembangkan pluralisme-–sesuai dengan cita-cita para pejuang kemerdekaan kita.
Barusan saya menerima program Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) dari sekjen-nya, ibu Nong Darol Mahmada. Isinya luar biasa dan penuh dengan sikap politik dan kebijakan yang membangun.
PIS dengan jitu dan akurat menguraikan dasar kebangsaan Indonesia–-Nasion Indonesia--yang berdasarkan pluralisme.
Kebangsaan Indonesia tidak mengenal istilah Indonesia Asli atau pribumi. PIS menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika--kesatuan yang berdasarkan keaneka-ragaman etnisitas, kebudayaan dan aliran agama.
Salah satu program PIS mengetengahkan konsepsi bahwa suku Tionghoa--dengan latar belakang etnisitas dan kebudayaannya--merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Sebagai seorang Indonesia Tionghoa yang mendukung paham multikulturalisme dan pluralisme, dengan sendirinya saya menerima dasar dan program kerja PIS dan mengajak sebanyak mungkin orang yang mencintai Indonesia untuk mendukungnya pula.
Kejadian yang menimpa Bang Ade pada 11 April yang lalu dan pembicaraan saya dengan beberapa teman baik, mendorong saya untuk menulis berbagai ajakan untuk dipertimbangkan:
1. Hendaknya para penggiat yang bergabung dalam kelompok PIS dan Cokro TV lebih bersikap hati-hati dan waspada ketika berada di lokasi-lokasi di mana berada kelompok-kelompok yang menentang pandangan mereka.
Saya yakin para tokoh yang merasa dimusuhi kalian akan terus menerus mencari jalan untuk menghancurkan gerakan kalian, baik dengan cara halus maupun kasar.
2. Timbul pertanyaan dalam benak saya dan terus terang ini cukup lama mengganggu saya: Apakah bijaksana meneruskan penggunaan istilah “kadrun”?
Pertanyaan ini bukan membenarkan tindakan keji kelompok orang yang menganiaya bang Ade. Sikap saya terhadap mereka jelas.
Akan tetapi para pendukung Bang Ade segera meng-kategorikan kelompok orang tersebut sebagai “kadrun” yang jelas mengandung definisi tertentu.
Saya menganggap istilah “kadrun” mengandung konotasi rasis – karena secara langsung berhubungan dengan Arab.
Saya mengerti bahwa istilah ini lahir karena adanya berbagai kelompok orang yang mengagungkan kebudayaan Arab, berjubah putih dan menganggap kemurnian Islam sinonim dengan konsepsi Islam yang dipatuhi oleh gerakan Islam radikal/ekstrim di Timur Tengah, yang kerap dihubungkan dengan ISIS.
Kalau memang istilah “kadrun” mengandung konotasi rasisme (seperti misalnya istilah Cina Loleng), menurut saya, sebaiknya penggunaannya dihentikan. Kalau tidak, barisan yang ingin dibangun oleh kelompok Bang Ade dkk akan mendorong banyak orang merasa dirinya pengikut Islam murni, apapun definisinya, termasuk mereka yang moderat, untuk bukan saja tidak mendukung, tetapi ikut memusuhinya. Banyak istilah lain yang bisa dipergunakan.
3. Ada sebuah pembentukan opini yang mengkhawatirkan saya. Ada kecendrungan yang menganggap semua orang Islam yang menentang Jokowi, apapun alasannya, sebagai “kadrun”.
Saya yakin PIS menjunjung tinggi prinsip demokrasi. Tidak semua yang menentang Jokowi mendukung perwujudan khilafah di Indonesia atau mendukung kehadiran ISIS.
Banyak dari mereka merupakan Islam moderat bahkan dalam batas-batas tertentu mendukung konsepsi yang diusung oleh PIS. Mereka masuk dalam kelompok besar yang mencintai Indonesia dan menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Jokowi adalah seorang presiden yang memiliki kekuatan dan kelemahan. Jokowi tidak sinonim dengan Indonesia. Ia merupakan simbol sebuah aliran, yang dalam alam demokrasi bisa saja ditentang oleh banyak orang yang mencintai Indonesia dari aliran yang berbeda.
Tidak semua yang menentang Jokowi merupakan musuh PIS. Mereka bisa diajak masuk dalam barisan PIS demi membangun Indonesia maju dan kuat.
4. Radikalisme Islam. Menurut saya kelompok Bang Ade dkk. perlu berhati-hati dalam menelurkan definisi “radikalisme”, sehingga tidak mendorong rakyat jelata untuk memusuhinya.
Kita pernah mengenal istilah radikalisme di zaman-zaman sebelumnya. Ada misalnya “radikalisme kiri” yang menyandang paham komunisme dan sosialisme. Pada 50-an hingga 60-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat tumbuh sebagai salah satu partai politik terbesar di Indonesia.
Ini terjadi karena paham yang ditawarkan mereka didukung oleh rakyat jelata – para buruh dan petani, yang meng-idam-idami kemakmuran hidup.
Kini, tanpa komunisme dan sosialisme dalam dunia politik praktis, kemana rakyat jelata harus menumpukan harapannya?
Kelompok-kelompok yang ingin membentuk khilafah, apapun bentuknya, menawarkan hal serupa: kemakmuran di masa hidup dengan tambahan, “Kebahagiaan” setelah orang meninggal.
Pimpinan PIS dan para pendukungnya tentu menginginkan sebagian besar rakyat jelata sebagai basis pergerakan membangun Indonesia. Untuk mencapai ini, PIS perlu menelurkan sebuah tawaran realistik yang membuahkan dukungan luas.
Bila mana butir-butir di atas diterima, ada baiknya para penggiat yang bergabung dalam PIS dan Cokro TV mengubah cara berkomunikasi sehingga lebih mendorong dukungan dan mencegah berkembangnya sikap “hantam kromo”, yaitu memusuhi siapa saja yang dianggap tidak mendukung program dan dasar pergerakan.
Banyak yang kini menentang karena kurang penjelasan atau pengaruh orang lain. Tidak semuanya merupakan musuh yang harus dienyahkan.
Pembangunan barisan sebuah pergerakan yang kuat dan efektif dalam mencapai tujuan utama, merupakan sebuah perjuangan jangka panjang. Ia memerlukan kesabaran, sikap demokratis dan kebijaksanaan yang mengundang dukungan.
Sekali lagi, di atas merupakan sebuah bahan pertimbangan, bukan “kuliah” tentang cara berorganisasi. Saya yakin Bang Ade dkk. jauh lebih mahir dan berpengalaman dalam bidang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H