Mohon tunggu...
Nyoto Setianto
Nyoto Setianto Mohon Tunggu... -

Rakyat Jelata yang mencoba peduli dengan negerinya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Pancasila Punya Kesaktian

2 Oktober 2013   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meskipun telat sehari untuk menulis tentang kesaktian pancasila, tapi gak apalah daripada Cuma ada dipikiran. Apa yang ada dalam benak saya begitu mendengar kata “SAKTI”. Ketika saya masih menjadi bocah, pengertian “SAKTI” berarti digdaya, berkekuatan super, seperti di film dragon ball, gaban, satria baja hitam yang mampu membasmi kejahatan dengan kekuatan supernya. saya membayangkan “PANCASILA SAKTI” sebagai burung garuda terbang dengan tamengnya membantu membasmi penjajah alias penjahat yang harus di enyahkan dari negeri ini. Namun ketika di bangku sekolah saya dicekoki sejarah, Penataran P4 sampai P7 kalau gak salah, tentang kesaktian Pancasila.Wah saat itu saya bangga sekali dengan Pancasila yang kelihatannya “Sakti” itu. Ideologi Pancasila senantiasa menang melawan ideologi “Komunis” yang menyerang. Pancasila tetap berdiri kokoh. Namun perjalanan waktu kebanggaan saya luntur dan mempertanyakan kesaktian pancasila itu sendiri, begitu melihat kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini.

Malam tanggal 1 Oktober yang sangat panas dan gerah saya bermimpi ketemu sang “Pancasila” itu sendiri berwujud “Seseorang lelaki berwajah cakap, berwibawa, berpeci Hitam berjas Putih dan bertongkat komando”. Dia menuturkan kepada saya “Pancasila” adalah lima dasar dari karakter dan cara pandang bangsa ini dalam berbangsa dan bernegara dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kemudian sang “Pancasila” bertanya kepadaku tanpa minta di jawab. “Apakah bangsa ini masih percaya dengan Tuhan, dan menjalankan aturan Tuhan?” , lalu dia menjawab sendiri pertanyaannya, “Mungkin saja masih percaya namun sepertinya kian tidak peduli dengan Tuhan. Karena jaman ini mereka mencari Tuhan baru, yang lebih nyaman namanya “Uang”, sehingga sila pertama walaupun secara teks belum diubah namun secara konteks berubah menjadi “Keuangan Yang Maha Kuasa”.

Apakah “Keuangan Yang Maha Kuasa”. Mereka yang punya uang memiliki kesaktian mengatur hukum, sehingga hukuman “maling ayam” dengan “koruptor alias rampok triliun rupiah”, jauuuuuh lebih ringan dibanding hukuman maling ayam yang kadang kadang digebuki dan dibakar oleh massa, karena dengan uang mereka bisa bancakan dengan aparat hukum demi kenyamanan dan kemapanan hidup bersama. Penjara hanya jadi persinggahan yang di desain mewah seperti hotel bintang lima. Sehingga berlomba lombalah anak anak bangsa mencari kedudukan dan posisi strategis agar bisa masuk kedalam mesin politik dan mengenggam kekuasaan agar berkesempatan “Korupsi” moga moga bisa “Korupsi sekakap kakapnya dengan strategi dan tekhnik seaman amannya”.Untuk bisa duduk sebagai pejabat dan pemimpin harus bermodal besar, kalau perlu hutang sana sini dengan para pemodal pengusaha berkepentingan. Maka jika sudah duduk, tidak mungkinlah tidak menjalankan sila pertama “Keuangan Yang Maha Kuasa”. Maaf beribu ribu maaf tulisan saya di atas hanyalah imajinasi liar dari mimpi ketemu sang “Pancasila” itu sendiri, tanpa bermaksud memvonis siapapun ataupun menghujat siapapun.

Lalu saya bertanya, dalam mimpi saya tentunya kepada sosok sang “Pancasila” itu, yang tampak tersenyum arif, “Wahai.... Mr. Pancasila lalu bagaimana dengan sila - sila selanjutnya, sila kedua sampai kelima”. Sang sosok “Pancasila” berujar, “Jika sila pertama sudah bergeser maka sila sila selanjutnya juga bergeser dengan sendirinya, pengertian UUD ‘undang undang dasar’ kinipun telah bergeser menjadi ‘Ujung Ujungnya Duit’, sehingga sila ke 2 sampai ke 5 pun kini telah tergadai oleh bangsa kita sendiri”.

Sang “Pancasila” menatap keatas dan berkata“Saat ini, jika kita tidak mengembalikan jiwa hakikat sebenarnya “Sila Pertama hingga Sila Kelima” dan “UUD 45” yang sejati, maka kita tetaplah terjajah walaupun tidak secara fisik, namun secara ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi, kita dijajah bukan sekedar oleh bangsa asing tapi juga bisa oleh bangsa sendiri yang berkuasa.”

Sang “Pancasila” menatap kepadaku dengan tajam dan melanjutkan “ironisnya yang membuat kita dijajah secara ekonomi oleh bangsa asing adalah bangsa kita sendiri. Saat berkuasa mereka yang dipercaya rakyat justru berkhianat dengan menggadaikan negeri ini dengan harga sangat murah demi “uang receh” bagi kepentingan politiknya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, karena kekuasaan itu identik dengan “Keuangan Yang Maha Kuasa”.

Sosok “Pancasila” itu berujar kembali “Tiap Satu Oktober saya diperingati, dengan dalih agar rakyat paham tentang bahaya laten ideologi “Komunisme” yang sebenarnya sudah basi, karena “Komunisme” sudah sekarat, tidak perlu ditakutkan lagi, yang perlu ditakutkan adalah bangsa ini meninggalkan “Sila Pertama” alias meninggalkan “Tuhan”, bahkan menjual nama “Tuhan” demi menzalimi mereka yang berbeda, demi ambisi pribadi dan partai. Meninggalkan jiwa keadilan dan adab sopan santun, ramah tamah. Sehingga kita lupa dikenal sebagai bangsa yang toleran dan ramah tamah.Kita lupa untuk berlaku adil dan berbagi dengan mereka yang lemah dan tidak mampu”.

“Kita harus takut meninggalkan semangat persatuan dan cinta terhadap negeri ini, betapa kita bangga dengan berbagai hal dari luar, kita tidak lagi mencintai budaya, nilai nilai dan produk negeri sendiri. Kita harus takut kehilangan nilai musyawarah atas dasar kasih sayang dan kekeluargaan. Kita harus takut kehilangan semangat gotong royong, semangat kesederhanaan bukan bermewah mewah, materialistis dan hedonis,semangat membangun kemajuan bersama tiap anak anak negeri, semangat menghargai bagi yang berprestasi, semangat menghormati hak hak orang lain”.

Setelah berujar demikian panjang sang “Pancasila” itu termenung diam dan berkata “Kita harus dan wajib peduli, jika bukan kita siapa lagi yang peduli untuk menjadi bangsa besar dan berwibawa”. Tiba tiba badan saya diguncang guncang oleh tangan tangan kecil anak saya, sehingga saya terbangun dari mimpi “pa.. pa.. bangun.. sholat shubuh, anterin sekolah pa..”. Saya terbangun dari mimpi dan menyadari pagi sudah datang. Syukur yang membuat capek pikiran dan hati semalam cuma sekedar mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun