Mohon tunggu...
Khoiru Bagus
Khoiru Bagus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

berusaha selalu bermanfaat untuk lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketahanan Pangan Melalui Kebun Mandiri dari Rumah Tangga di Turi

17 Oktober 2024   14:24 Diperbarui: 17 Oktober 2024   14:27 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di sebuah desa kecil di Turi, Sleman, seorang pria tampak sibuk merawat tanaman di pekarangan belakang rumahnya, sebut saja Tujimen. Tanah yang dulunya tandus dan penuh kerikil kini berubah menjadi lahan subur yang dipenuhi sayuran dan tanaman pangan. Setiap hari, ia memastikan bahwa sistem tanamnya berjalan dengan baik, sehingga setiap hari ketersediaan bahan makanan seperti sayuran bisa terpenuhi tanpa membeli ke pasar. Dengan semangat yang tak pernah padam, Tujimen telah membuktikan bahwa setiap rumah tangga bisa berkontribusi dalam menciptakan ketahanan pangan, sebuah langkah kecil yang dapat membawa perubahan besar bagi masa depan Indonesia disektor pangan.     

Tujimen memulai perjalanannya dengan banyak tantangan. Tanah yang dimilikinya tidak subur, gagal panen pun sudah menjadi cerita biasa. Namun, ia tak menyerah. Setelah beberapa kali mencoba dan gagal, ia mengembangkan cairan FOC (Fermented Organic Compound) dari satu butir telur dan dua sendok micin (MSG). "Larutan ini harus didiamkan selama dua minggu agar hasilnya maksimal," ujarnya. Dalam waktu singkat, tanah yang tandus mulai hidup kembali.

Tanah yang subur adalah kunci dari sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan. Meski demikian, banyak dari sebagaian masyarakat yang menganggap perbaikan tanah sebagai sesuatu yang rumit. Namun, Tujimen dari Turi ini telah menunjukkan bahwa bahan-bahan sederhana yang ada di sekitar kita bisa dimanfaatkan. Campuran telur dan micin, misalnya, dapat menjadi solusi untuk menghidupkan kembali tanah yang kering dan miskin nutrisi. Setelah dua minggu penyimpanan, campuran ini dapat diencerkan dengan air dan disiramkan ke tanah. Hasilnya? Dalam waktu kurang dari satu minggu, cacing tanah mulai bermunculan hal tersebut adalah tanda bahwa tanah tersebut mulai subur kembali. Cacing-cacing ini berperan penting dalam proses aerasi alami tanah, membuat tanah menjadi lebih gembur dan siap menumbuhkan tanaman.

"Proses ini sangat efektif, bahkan saya sudah mulai memindahkan tanah yang sudah diperbaiki ke area lain. Setiap bagian tanah mendapat giliran untuk diperbaiki dan hasilnya luar biasa," kata Tujimen. Sistem ini tidak hanya efektif, tetapi juga dapat diterapkan di berbagai jenis lahan, termasuk di kota-kota besar dengan lahan terbatas menggunakan polybag.

Tujimen juga membagi sistem tanamnya ke dalam tiga fase: tanaman yang masih bibit, tanaman dalam masa pertumbuhan, dan tanaman yang siap panen. Dengan pembagian ini, setiap harinya selalu ada tanaman yang siap untuk dipanen, seperti sawi, tomat, dan sorgum. Sorgum juga menjadi salah satu tanaman yang dapat menjadi alternatif pengganti beras. "Setiap hari saya bisa memanen tanaman, sementara tanaman lain ada yang sudah berbunga " katanya dengan bangga.

Gerakan ini tidak hanya membawa manfaat bagi rumah tangganya sendiri, tetapi juga memiliki potensi untuk diadopsi secara luas oleh masyarakat Indonesia. Dengan menanam tanaman pangan sendiri, setiap rumah tangga bisa membantu mengurangi ketergantungan pada bahan pangan dari luar. Tak hanya itu, sistem ini juga ramah lingkungan dan dapat membantu menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Inisiatif kecil yang dimulai di Turi ini menyimpan pelajaran besar bagi Indonesia. Di tengah ancaman krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim, pandemi, dan ketidakpastian ekonomi, kemampuan masyarakat untuk memproduksi pangan sendiri menjadi semakin penting. Dengan dukungan dari pemerintah dan gerakan masyarakat, konsep ketahanan pangan berbasis rumah tangga ini bisa berkembang menjadi solusi strategis di masa depan.

Pemerintah diharapkan dapat mengambil peran sebagai fasilitator, memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya gerakan ini. Program-program berbasis ketahanan pangan mandiri dapat dikembangkan, tidak hanya untuk daerah pedesaan tetapi juga perkotaan. Dengan menggunakan lahan sempit di pekarangan rumah atau bahkan polybag, rumah tangga di kota pun bisa berpartisipasi dalam upaya ini.

Gerakan ini menunjukkan bahwa masa depan ketahanan pangan Indonesia tidak harus dimulai dari skala besar. Sebaliknya, perubahan kecil yang dimulai dari setiap rumah tangga dapat membawa dampak yang signifikan. Dengan menanam sendiri tanaman pangan, masyarakat dapat menjadi lebih mandiri dan siap menghadapi berbagai tantangan yang ada. Masa depan ketahanan pangan Indonesia bisa lebih cerah, jika dimulai dari rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun