Tudingan yang dialamatkan kepada Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai provokator dalam aksi damai tanggal 4 November sangat tidak logis. Apalagi sampai ada pihak yang melaporkan isi pidato SBY ke pihak kepolisian.
Ada pihak yang menyebutkan beberapa isi pidato SBY yang disampaikan pada tanggal 2 November di Cikeas, Bogor mengandung unsur untuk menghasut.
Mari kita berfikiran jernih dalam mengupas persoalan ini. Yang pertama adalah aksi damai pada tanggal 4 merupakan dampak dari tidak digubrisnya aksi damai pada tanggal 14 Oktober. Sehingga banyak ulama, tokoh masyarakat dan masyarakat akar rumput menyatakan akan melakukan aksi damai lanjutan pada tanggal 4 November. Artinya jauh sebelum pidato SBY telah ada kegelisahan ditengah masyarakat untuk turun ke jalan menyuarakan isi hati mereka. Contoh saja Aa Gym, ustad yang selama ini jauh dari hingar bingar politik ikut bersuara terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Yang kedua, terkait pernyataan SBY kalau dirinya setuju unjuk rasa bukan 100 persen, tapi 300 persen. Kata-kata ini diplintir sebagian pihak sebagai bentuk penghasutan. Padahal dalam isi pidato lengkapnya, SBY menyampaikan unjuk rasa di negeri ini, unjuk rasa di sebuah negara demokrasi yang tertib adalah ya unjuk rasa yang damai, yang tertib, sesuai aturan, dan tidak merusak. kalau unjuk rasa destruktif, menangis kita semua.
Apa yang disampaikan SBY sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28, yang menyebutkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Ketiga, kata-kata SBY yang dipersoalkan adalah ketika menyebutkan jika barangkali karena merasa yang diprotes itu dan tuntutannya itu tidak didengar. Nah kalau sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai lebaran kuda masih akan ada unjuk rasa. Maksud dari perkataan tersebut sangat jelas jika kita berfikiran positif. Karena jika kita melihat ada ketidak adilan di Negara ini, maka kita akan terus bersuara dan berjuang agar kebenaran dan keadilan ditegakkan. Pilihan menyampaikan pendapat umum itu dilindungi oleh UUD.
Lalu ada yang menuduh SBY mengatakan kata-kata mengandung unsur hasutan dan juga kebencian kepada etnis tertentu. Bagi yang telah membaca secara lengkap dan seksama tentang isi pidato, tidak ada ucapan SBY yang menyinggung etnis tertentu. Jika kata-kata SBY ini, “Jangan sampai beliau (Ahok) dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law. Itu bagian dari demokrasi, negara kita negara hukum. Kalau perlu diproses tidak perlu ada tudingan Pak Ahok tidak boleh disentuh. Bayangkan do not touch Pak Ahok, bayangkan,” dianggap sebagai kata-kata menghasut, maka diluar dari nalar. Sangat jelas apa yang disampaikan, kalau setiap orang di Indonesia sama dimata hukum. Jangan sampai ada yang dituding tidak tersentuh, kalau tidak bersalah kenapa harus takut.
Malahan dalam kalimat selanjutnya dalam pidato tersebut, SBY mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum. Jangan ada tekanan terhadap penegak hukum, Ahok harus bersalah atau Ahok tidak bersalah.
Keempat, kata-kata SBY yang dipelintir adalah “Jangan sampai saudara-saudara 200 juta rakyat Indonesia nasib dan masa depannya disandera oleh urusan satu orang,”. Apa yang salah dengan kata-kata tersebut ?. Sangat jelas dan masuk akal, kalau kepentingan Negara diatas dari kepentingan perorangan ataupun kelompok tertentu.
Apakah salah seorang mantan Presiden, atau Ketum Parpol mengucapkan sesuatu yang benar ?. Apakah dilarang seorang yang pernah memimpin Indonesia menyampaikan pemikiran, koreksi dan saran kepada kita semua. Atau kita ingin tokoh-tokoh di Indonesia mengambil sikap diam meski ketidak adilan terjadi didepan mata mereka ?.
Karena itu, mari kita menjadi warga Negara yang berfikiran sehat dan mengedepankan logika. Jangan karena faktor perbedaan pandangan politik ataupun faktor lainnya, lebih mengedepankan pikiran negatif.