[caption id="attachment_121440" align="aligncenter" width="386" caption="emak tidak pernah wafat"][/caption]
Ibu Adalah Buku Terbuka Yang Tidak Pernah Mati
By. Saniah Siana
Benar kata Emak, buku adalah halaman depan rumah Indonesia. Juga, buku adalah jendela ketika cinta memintal nalar dalam ruang yang benderang. Dari setiap halaman selalu saja kita temukan pertemanan kinasih. Tidak hanya kisah juga harapan-harapan yang hendak dikibarkan sang penulis. Bisa jadi, di sini, di halaman tertentu kita temukan lelehan airmata hangat dan di tempat lain selintas ceria dikemas dalam tawa yang panjang. Tak aneh, manakala Franz Kafka, seorang novelis Jerman, tuturkan “A Book must be an ice-axe to break the seas frozen inside our soul … “
Dari sebuah buku, juga aku temukan kasih emak hingga ke titik terjauh. Di pinggir pembaringan malam, saat aku masih kanak-kanak, sebelum mataku terpejam, emak selalu bacakan cerita yang diambil dari sebuah buku. Kadang bertutur tentang mimpi-mimpi Doraemon, kisah lucu Abu Nawas bahkan pada malam-malam tertentu emak mendongeng tentang wayang yang dipetik dari buku komik tua yang lusuh. Tak ingat judul buku itu. Tapi di sana ada tertera logo Gramedia.
Bila mataku tak jua terpejam, emakpun mendalang meniru gambar dalam buku komik wayang. Hmm, sesekali emak bergaya seperti kancil, mengaum bagai harimau, bersiul-siul bagai burung. Bahkan, emak juga suka menari ketika bercerita tentang Dewi Sri. Kadang emak kesal bila mataku tak jua terpejam. “Oalah piye kamu Cah Ayu. Kalau ndak tidak tidur juga, kasihan keong. Kalah balapan lari sama kancil.”
Aneh, setelah mataku memandang logo gramedia, kantukku berlayar ke sugai mimpi yang indah.
Entah dari mana emak dapatkan buku-buku itu. Sebagai pembantu rumah tangga tentu tidak mungkin emak mampu membeli buku. Tapi tiap sabtu sore emak selalu membawa buku. Memang tidak baru. Buku kumal yang kadang sudahpun koyak di halaman-halaman tertentu. Buku itu dibungkus koran diikat tali rapiah. Sekali tempo, sabtu diguyur hujan. Buku itu basah. Esok harinya, emak menjemur buku hingga kering, hingga pada malam harinya, emak bacakan cerita dalam buku itu.
Entah dari mana emak dapatkan buku-buku itu. Ini misteri yang sulit aku ngerti di sata itu. Sekali tempo aku diajak ke rumah majikan emak di bilangan Bandungan kota Semarang. Saat emak membersihkan perpustakaan majikannya itu, aku terkesiap. Begitu banyak buku berjejer di almari. Begitu banyak majalah, tumpukan kertas dan entah apalagi. “Ini ruang kerja juragan, San,”ucap emak” Jangan kau pindahkan apapun juga yang ada di atas meja juragan.”
Aku mengangguk. Saat itu aku pikir, emak dapatkan buku dari perpustakaan sang juragan itu. “Emak curi ya buku-buku itu untuk dibawa pulang?”tanyaku.
Emak hanya tersenyum. Ia bawakan setumpuk majalah bobo kumal kotor yang dipinggirnya banyak sekali lumpur. “Ya ndak mungkinlah, Cah Ayu. Emak bukan pencuri,”ucap emak,” Tapi hari ini Gusti Allah memberi kita rejeki majalah begini banyak,”ucap emak.
Majalah bobo itu ternyata emak dapatkan dari halaman depan Gedung Papak/Gedung Departemen Keuangan dekat pasar Johar Semarang. “Air rob laut membuat gedung papak itu kebanjiran,” ucap Emak,”Terus? Oalah banyak sekali barang-barang yang terapung. Emak Lihat ada banyak majalah bobo yang sedang mengapung-apung. Ya wis, ini rejeki. Langsung emak ambil!”
Saat itu emak tersenyum. Saat itu, tentu aku tidak pernah tahu, dari mana emak dapatkan buku-buku itu. Toh, tidak selamanya air rob membanjiri Semarang. Hingga sekali tempo, sore saptu, September 2002, emak pulang kerja terpincang-pincang. Telapak kakinya berdarah. Tapi emak tetap tersenyum. Ia bawa banyak buku. Bahkan sangat banyak. Terlalu sangat banyak. Emak bawa satu karung buku! Yang aneh, ayah marah besar. “Wis tak omongi jangan lagi jadi pemulung ke pembuangan sampah Pandurungan. Rasakan, kakimu kena paku!”
Aku tersentak! Jadi selama ini emak suka mencari buku dari tempat sampah Pandurungan. “Ndak apa-apa, cah ayu,”ucap Emak,” Buku baru buku lama yah sama saja. Sekarang kamu pilih mana yang harus emak baca.”
Tumpukan buku itu aku pilah-pilah. Yups sebuah buku mungil berwarna ungu berlogo gramedia. Logo kecil ada di sudut buku. Emak mengeja judul buku itu. “Wah, ini sih cerita Inggris,”ucap emak. Ia buka halaman dalam,”E bukankok. Di dalamnya pakek bahasa Indonesia.”
Hingga sekarang buku itu, buku bertajuk “The Notebook” karya Nicholas Sparks itu selalu menjadi teman tidurku. Suara Emak saat membaca halaman demi halaman buku yang dibuka, hingga kini masih melekat dalam diriku. Tiap malam, sebelum tidur, selalu aku baca buku itu. Halaman demi halaman menghantarkan ruh aku ke ruang ilmu yang jauh. Andai sulit tertidur, aku biarkan jemariku menelusuri logo gramedia. Dan kubuka halaman tengah. Menjadi lembaran penutup mata. Menjadi halaman pembuka jendela mimpi. Tapi dari sinilah, kutautkan cintaku pada kasih emak yang tak akan lekang hilang ditelan jaman.
Hingga kini, aku tahu pasti, saat emak membaca halaman terakhir buku itu, saat itulah kaki emak kian membengkak. Ayah bilang emak kena tetanus. Mantri kampung bilang, emak tewas juga kena tetanus. Tetangga-tetanggaku bilang emak wafat gara-gara jadi pemulung buku di gunungan sampah Pandurungan.
Aku bilang emak tidak pernah wafat! Emak adalah sebuah buku yang tiap kali aku baca selalu saja ada halaman terbaru yang tidak pernah aku temukan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H